Di tengah harga komoditas yang mulai melandai serta tidak digulirkannya lagi program pengampunan pajak, pemerintah harus mencari strategi lain untuk menjaga target penerimaan pajak pada tahun 2023.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memasang target penerimaan pajak yang menantang di tengah melandainya harga komoditas dan absennya program pengungkapan pajak sukarela tahun depan. Setoran melalui Pajak Pertambahan Nilai atau PPN diandalkan untuk menopang penerimaan negara, konsumsi domestik perlu dijaga di tengah inflasi yang melejit.
Performa penerimaan pajak tahun ini terhitung mengesankan karena didukung oleh tren ledakan harga komoditas (commodity boom), basis yang rendah pada tahun sebelumnya, serta faktor kebijakan seperti implementasi Undang-Undang Hamonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berakhir pada 30 Juni 2022.
Pada periode Januari-Agustus 2022, penerimaan pajak mencapai Rp 1.171,8 triliun, meningkat sebesar 58,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan capaian 78,9 persen dari target. Capaian itu jauh melampaui penerimaan pajak sebelum pandemi. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun 2019, penerimaan pajak hanya tumbuh 0,2 persen.
Namun, momentum ”durian runtuh” atau windfall itu diprediksi tidak akan datang lagi tahun depan. Di tengah harga komoditas yang mulai melandai serta tidak digulirkannya lagi program pengampunan pajak (tax amnesty) seperti PPS, pemerintah harus mencari strategi lain untuk menjaga target penerimaan pajak pada tahun 2023 yang dipatok sebesar Rp 1.718 triliun.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono, Selasa (11/10/2022), mengatakan, dengan mempertimbangkan gejolak ekonomi dunia saat ini yang berada di ambang resesi serta berakhirnya fase windfall dari komoditas, basis perpajakan akan bergeser dari Pajak Penghasilan (PPh) menjadi PPN.
Hal itu juga tampak dari rincian target yang dipasang pemerintah pada 2023. Penerimaan pajak dari PPh non-migas senilai Rp 873,6 triliun serta PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) senilai Rp 743 triliun menjadi target tertinggi penerimaan pajak untuk tahun depan. Sisanya adalah penerimaan dari PPh migas (Rp 61,4 triliun), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 31,3 triliun, serta pajak lainnya Rp 8,7 triliun.
Prianto optimistis target penerimaan pajak tahun depan masih bisa dicapai. Namun, pemerintah harus bekerja keras untuk menjaga agar transaksi dalam negeri tetap kuat untuk menopang setoran dari PPN. ”Konsumsi dalam negeri harus tetap kuat supaya penerimaan dari PPN naik,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Pemerintah harus bekerja keras untuk menjaga agar transaksi dalam negeri tetap kuat untuk menopang setoran dari PPN.
Menurut dia, setoran dari PPN akan lebih terdorong dengan kehadiran Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2022 tentang pungutan pajak melalui perdagangan berbasis sistem elektronik (PMSE). Aturan turunan UU HPP itu memungkinkan pemerintah untuk lebih maksimal memungut pajak dari sektor ekonomi digital.
Menyusul peraturan itu, banyak penyelenggara PMSE yang telah ditunjuk pemerintah sebagai pemungut PPN. Sampai Agustus 2022, realisasi penerimaan PPN perdagangan melalui PMSE telah mencapai Rp 3,5 triliun. Sementara jumlah penyelenggara PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN kini sebanyak 127 pelaku usaha. ”Jadi, transaksi berapa pun bisa dipungut PPN-nya oleh penyelenggara e-commerce,” kata Prianto.
Ia menilai, kendati tren inflasi terus meningkat dan sudah mencapai 5,95 persen (year on year/tahunan) per September 2022, kenaikannya masih dalam batas wajar. ”Kalau kita lihat, memang inflasi meningkat, tapi relatif terjaga. Selama inflasinya tidak volatile (berubah drastis), kita bisa optimistis. Kalau naik pelan-pelan, budgeting masih bisa dijaga,” ujarnya.
Melesu
Adapun geliat konsumsi dalam negeri mulai menunjukkan tanda melesu. Survei Konsumen oleh Bank Indonesia pada September 2022 menunjukkan, meski masih berada di level optimistis (di atas 100), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menurun ke 117,2 dari kondisi IKK Agustus 2022, yaitu 124,7.
Melemahnya keyakinan konsumen itu disebabkan oleh menurunnya optimisme di sebagian besar komponen pembentuk Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), khususnya pada komponen indeks ekspektasi terhadap kegiatan usaha. Optimisme dan ekspektasi konsumen di komponen lain, seperti indeks penghasilan dan indeks ketersediaan lapangan kerja, juga menurun tipis.
Secara terpisah, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan, pemerintah tidak banyak berharap lagi dari windfall pajak komoditas dan program PPS. Pasalnya, belum tentu kondisi tahun depan akan kembali ”diuntungkan” dengan ledakan harga komoditas.
Pemerintah tidak banyak berharap lagi dari windfall pajak komoditas. Belum tentu kondisi tahun depan akan kembali ”diuntungkan” dengan ledakan harga komoditas.
”Kita tidak tahu, apakah nanti harga komoditas kembali stabil. Sekarang, kita lihat harganya juga mulai turun, jadi bisa saja kita nanti tidak terlalu berharap lagi dari windfall tax ini. Kita harus selalu waspada, karena tidak selamanya penerimaan pajak kita bisa bergantung dari harga komoditas dan program seperti PPS,” kata Nufransa.
Menurut dia, pemerintah akan mencari strategi baru untuk menjaga target penerimaan pajak tahun depan. Sektor-sektor usaha yang pertumbuhannya tinggi dan ekspansif akan diawasi ketat untuk meningkatkan potensi setoran pajak.
Misalnya, melalui peningkatan kerja sama dengan penyelenggara lokapasar (marketplace) untuk membantu pemungutan pajak di sektor ekonomi digital, investasi kripto, serta sektor gim daring. ”Tinggal kita lihat nanti dari mana saja potensi penerimaan pajak yang masih ada, yang selama ini mungkin tidak terlalu diperhatikan,” ujarnya.
Pemerintah juga akan mengawasi wajib pajak dengan tingkat risiko tinggi secara lebih spesifik. ”Kita awasi terus wajib pajak yang kita anggap punya potensi besar dan risiko besar sehingga saat jatuh tempo mereka belum bayar, bisa kita ingatkan. Nanti ada level-level risikonya. Dibandingkan kita mengawasi jutaan wajib pajak, kita awasi yang risikonya tinggi saja. Untuk yang tidak berisiko dan sudah patuh, mungkin edukasi dan sosialisasi yang soft saja,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah tetap mengantisipasi imbas dari ancaman resesi global terhadap pencapaian target penerimaan pajak yang tinggi. ”Kita harus hati-hati. Target pajak yang begitu tinggi ini harus dilihat sustainability-nya. Berapa lama pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah, pasti akan merembes memengaruhi penerimaan pajak kita,” ujarnya.