JAKARTA, KOMPAS — Transaksi perdagangan dan investasi bilateral antara Indonesia dan India ke depan akan bisa menggunakan mata uang lokal masing-masing negara, yakni rupiah dan rupee. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan efisiensi dunia usaha karena bisa langsung transaksi tanpa perlu menukar mata uangnya. Dari kacamata ekonomi makro, hal ini juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pemakaian mata uang dollar AS.
Inisiatif kerja sama penggunaan mata uang lokal (local currency transaction/LCT) tercantum dalam penandatanganan nota kesepahaman antara Bank Indonesia (BI) dan bank sentral India, Reserve Bank of India (RBI), di Mumbai, India, Kamis (7/3/2024). Penandatanganan itu dihadiri oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dan Gubernur RBI Shaktikanta Das.
Dalam siaran persnya, Kamis, Asisten Gubernur Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, kesepakatan itu bertujuan untuk mendorong penggunaan mata uang lokal kedua negara dalam transaksi bilateral yang mencakup transaksi berjalan (current account), transaksi modal (capital account) yang diperbolehkan, dan transaksi ekonomi dan keuangan lainnya sesuai yang disepakati kedua otoritas.
Erwin menjelaskan, kerangka kerja sama ini salah satunya memungkinkan eksportir dan importir untuk bertransaksi dalam mata uang lokal, yang pada gilirannya akan mendorong pengembangan pasar valuta asing kedua negara.
”Lebih lanjut, penggunaan mata uang lokal akan mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan efisiensi waktu penyelesaian transaksi,” ujar Erwin.
Dalam situs resmi RBI, Chief General Manager RBI Yogesh Dayal menjelaskan, kerja sama ini akan memperkuat kerja sama bilateral kedua negara dan bank sentral. Hal ini diharapkan bisa memperdalam integrasi keuangan dan memperkuat hubungan kerja sama ekonomi kedua negara yang telah berlangsung lama.
Mengutip data Kementerian Perdagangan, total perdagangan (ekspor dan impor) Indonesia dengan India pada 2023 mencapai 26,91 miliar dollar AS, menurun 17,45 persen dibandingkan dengan tahun 2022 yang sebesar 32,69 miliar dollar AS.
Ekspor Indonesia ke India pada 2023 mencapai 20,29 miliar dollar AS, setara dengan 7,84 persen dari total ekspor Indonesia tahun 2023. Ini menempatkan ekspor ke India masuk dalam jajaran lima besar mitra dagang utama Indonesia.
Adapun kerja sama antara BI dan RBI tersebut merupakan kerja sama LCT ketujuh sejak 2018 silam. Beberapa negara yang telah menjalin kerja sama dengan BI adalah Malaysia (Bank Negara Malaysia), Thailand (Bank of Thailand), Jepang (Japan Ministry of Finance), China (People Bank of China), Singapura (Monetary Authority of Singapore), serta Korea Selatan (Bank of Korea).
Pada posisi akhir 2023, skema LCT ini telah menghasilkan transaksi yang setara dengan 6,3 miliar dollar AS, meningkat 53 persen dibandingkan dengan tahun 2022 yang sebesar 4,1 miliar dollar AS.
Meski per Januari 2024 transaksi mengalami perlambatan, yakni 444 juta dollar AS, terdapat peningkatan cukup signifikan dari sisi pelaku, yakni mencapai 3.530 pelaku dibandingkan dengan rata-rata tahun 2023 sebesar 2.602 pelaku.
Sebelumnya pada jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI Februari 2024 secara hibrida, di Jakarta, Rabu (21/2/2024), Deputi Gubernur BI Destry Damayanti menjelaskan, transaksi paling besar kerja sama LCT terjadi dengan Malaysia.
”Seperti biasa, memang kita masih melihat dominasi di Malaysia. Namun, menarik juga karena (LCT) di Tiongkok mulai aktif kembali. Kan, di 2023 kemarin agak sedikit slow down,” ujar Destry.
Efisiensi
Dihubungi terpisah, Kamis, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, pihaknya sangat mendukung kerja sama LCT dengan India. Hal ini bisa meningkatkan efisiensi transaksi perdagangan dan investasi bilateral dunia usaha Indonesia dengan India.
Sebab, dengan LCT, pelaku usaha tak perlu menukar dulu uangnya ke kurs dollar AS, tetapi bisa langsung bertransaksi dengan mata uang lokal. Ini bisa membuat pelaku usaha bisa terhindar dari potensi rugi kurs.
Mekanisme transaksi alternatif seperti LCT ini bisa sangat bermanfaat dalam transaksi perdagangan dan investasi.
Selain itu, lanjut Shinta, dari kacamata ekonomi makro, kebijakan ini juga bisa menstabilkan nilai tukar rupiah karena mendiversifikasi penggunaan mata uang asing untuk perdagangan dan investasi. Cadangan devisa Indonesia juga bisa lebih dihemat sehingga mempertebal ketahanan dan stabilitas moneter keuangan Indonesia.
”Apalagi saat ini sejumlah negara di dunia mengalami tekanan terhadap dollar AS sehingga mekanisme transaksi alternatif seperti LCT ini bisa sangat bermanfaat dalam transaksi perdagangan dan investasi,” ujar Shinta.
Adapun Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, tujuan kerja sama LCT sangat baik, yakni meningkatkan efisiensi dunia usaha dan mengurangi ketergantungan akan mata uang dollar AS dalam perdagangan. Hal ini lebih bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Pemilihan untuk kerja sama dengan India juga strategis. Sebab, perekonomian India kini sedang melaju cepat. Ke depan, perekonomian India juga diperkirakan akan terus melesat dan hubungan ekonomi dengan Indonesia pun bisa terus meningkat.
Hanya saja, lanjut Faisal, masih banyak sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan LCT. Ia mengatakan, nilai transaksi LCT yang sudah berjalan masih kecil dibandingkan dengan total perdagangan bilateral Indonesia dengan Malaysia, Thailand, Jepang, China, Singapura, dan Korea Selatan.
Masih banyak pelaku usaha, baik eksportir maupun importir, yang masih memilih bertransaksi menggunakan dollar AS. Sebab, menggunakan dollar AS ini lebih sederhana dan memudahkan perdagangan karena digunakan serta diakui seluruh dunia.
Pengusaha manufaktur yang bahan bakunya dari negara non kerja sama LCT tetap harus menggunakan dollar AS dalam bertransaksi. Misalnya, ada pengusaha tekstil yang membeli bahan baku dari Bangladesh yang bukan mitra LCT Indonesia, maka mereka tetap bertransaksi dengan dollar AS. Baru kemudian bila mereka ekspor ke China atau Malaysia yang jadi mitra LCT, baru mereka bisa menggunakan mata uang lokal.
”Jadi, masih ada hambatan teknis seperti itu yang menghambat optimalisasi LCT ini,” ujar Faisal.
Ia mengatakan, diperlukan sosialisasi dan insentif yang lebih menarik lagi agar pelaku usaha bisa sepenuhnya tertarik menggunakan LCT.