”Dedolarisasi” dalam Perdagangan Bilateral Tuai Sejumlah Tantangan
Setidaknya ada tiga tantangan dan hambatan untuk mewujudkan ”dedolarisasi” di sektor perdagangan bilateral. Kondisi nilai tukar mata uang lokal terhadap dollar AS juga menjadi pertimbangan penggunaan LCT.
Oleh
Hendriyo Widi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengunaan mata uang lokal dalam transaksi atau local currency transactionperdagangan bilateral untuk menggantikan dollar AS memang terus meningkat. Namun, upaya ”dedolarisasi” tersebut masih menuai sejumlah tantangan dan hambatan.
Sejak 2018 hingga Mei 2023, Bank Indonesia Indonesia menjalin kerja sama local currency transaction (LCT) dengan bank sentral lima negara. Kelima negara tersebut adalah China, Malaysia, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Di ASEAN, Indonesia memotori konektivitas pembayaran regional (RPC) dan LCT. Dari 10 negara anggota ASEAN, lima negara sudah menandatangani nota kesepahaman tersebut, yakni Indonesia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia.
Sepanjang 2018 hingga Maret 2023, total transaksi dan pelaku usaha yang memanfaatkan LCT terus bertambah. Pengguna LCT juga bertambah dari 141 pelaku usaha pada 2018 menjadi 1.249 pengusaha pada 2022. Hingga triwulan I-2023, sebanyak 2.405 pelaku usaha sudah menggunakan LCT.
Nilai transaksi LCT bertambah dari 348 juta dollar AS pada 2018 menjadi 4,1 miliar dollar AS pada 2022. Kemudian pada Januari-Maret 2023, total transaksinya sudah mencapai 1,6 miliar dollar AS. Nilai transaksi tersebut masih jauh dari nilai ekspor Indonesia. Total nilai ekspor Indonesia pada 2022 sebesar 291,98 miliar dollar AS, sedangkan pada Januari-Maret 2023 sebesar 67,2 miliar dollar AS.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, Selasa (16/5/2023), mengatakan, sudah banyak eksportir dan importir yang memanfaatkan LCT. Pasalnya, salah satu keuntungan LCT adalah pelaku usaha tidak perlu mengeluarkan tambahan biaya atau fee bagi broker di pasar keuangan New York.
Namun, masih ada beberapa tantangan dan hambatan pemanfaatan LCT. Pertama, selama ini, eksportir dan importir masih terbiasa bertransaksi perdagangan menggunakan dollar AS. Kebiasaan ini membuat transisi dollar AS ke mata uang lokal berjalan lambat.
Kedua, lanjut Benny, belum tentu mitra dagang dari negara yang telah memiliki kerja sama LCT dengan Indonesia bersedia bertransaksi menggunakan mekasnisme tersebut. Lantaran LCT sifatnya sukarela, mau tidak mau pelaku usaha di Indonesia mengikuti permintaan mitra dagang.
Ketiga, banyak pelaku usaha di dalam dan luar negeri yang masih menggunakan bahan baku impor. Bahan baku tersebut dibeli dengan dollar AS dari negara lain yang belum menjalin kerja sama LCT dengan Indonesia.
”Jika bahan baku dijual dengan dollar AS dan diproduksi dengan biaya menggunakan mata uang lokal, produk jadinya masih banyak yang dijual dengan dollar AS. Apabila produk itu diperdagangkan menggunakan mata uang lokal, perhitungan bisnisnya bisa kurang pas karena kalah kurs,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Benny menambahkan, penerapan kerja sama LCT paling mungkin diterapkan bagi sektor-sektor industri yang sumber bahan bakunya dari dalam negeri. Beberapa di antaranya adalah minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, karet, dan batubara. Kendati begitu, tetap tidak menutup kemungkinan industri berbahan baku impor memanfaatkan LCT.
Selama ini, eksportir dan importir masih terbiasa bertransaksi perdagangan menggunakan dollar AS. Kebiasaan ini membuat transisi dollar AS ke mata uang lokal berjalan lambat.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono berpendapat, penggunaan mata uang lokal sebagai pengganti dollar AS bersifat sukarela. Hal itu membuat pemanfaatannya bergantung pada kesepakatan antarpelaku usaha dua negara.
Di sisi lain, banyak pelaku usaha yang turut mempertimbangkan kondisi nilai tukar mata uang lokal terhadap dollar AS dalam pemanfaatan LCT. ”Di saat dollar AS kuat, ada kecenderungan eksportir akan memilih bertransaksi menggunakan dollar AS. Dalam situasi yang sama, importir pasti akan lebih memilih menggunakan mata uang lokal,” kata Eddy.
Di saat dollar AS kuat, ada kecenderungan eksportir akan memilih bertransaksi menggunakan dollar AS. Dalam situasi yang sama, importir pasti akan lebih memilih menggunakan mata uang lokal.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan berkomitmen melaksanakan kesepakatan-kesepakatan di sektor perdagangan yang tertuang dalam Deklarasi Para Pemimpin Negara-negara Anggota ASEAN yang dihasilkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada 9-11 Mei 2023. Salah satunya terkait dengan mempromosikan transaksi mata uang lokal di kawasan Asia Tenggara.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan, dalam KTT tersebut, para kepala negara telah menghasilkan kesepakatan untuk memperkuat perdagangan yang berkelanjutan, meningkatkan perdagangan intra-ASEAN, serta mendorong penguatan rantai pasok kawasan dan investasi. Selain itu, disepakati pula Deklarasi Bersama untuk Pembangunan Ekosistem Kendaraan Listrik serta Deklarasi Bersama untuk Mendorong Konektivitas Pembayaran Regional dan Mempromosikan Transaksi Mata Uang Lokal.
”Poin-poin kesepatakan itu merupakan capaian penting membangun pilar ekonomi yang membawa ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi,” katanya.