Mata Uang Lokal ”Menantang” Dollar AS
Mudahkah mengimplementasikan penggunaan mata uang lokal atau ”local current settlement” (LCS) dalam perdagangan internasional untuk ”menantang” dan ”menyisihkan” dollar AS?
Rupiah dan yuan atau renminbi tengah ”menantang” dollar Amerika Serikat. Tak hanya sampai di situ, ”tantangan” serupa juga diserukan rupiah bersama ringgit, baht, dan yen.
Seusai berakhirnya era ”gold standard”, zaman emas menjadi acuan perdagangan internasional dan pasar keuangan, dollar AS mulai naik daun. Tepatnya saat Perjanjian Bretton Woods pada 1944 digulirkan. Perjanjian yang diiniasi AS bersama negara-negara sekutunya dalam Perang Dunia II, yakni Inggris, Perancis, Uni Soviet, dan China, ini salah satunya menghasilkan kesepakatan penggunaan dollar AS sebagai alat ukur dan kontrol nilai tukar.
Seiring waktu berjalan, dollar AS merajai pasar valuta asing (valas) dunia. Berdasarkan survei tiga tahunan Bank for International Settlements, pada 2020, dollar AS digunakan dalam 88 persen dari seluruh perdagangan mata uang. Dana Moneter Internasional (IMF) juga menyebutkan, porsi cadangan devisa dalam bentuk dollar AS yang dimiliki bank-bank sentral di seluruh dunia pada triwulan IV-2020 sebesar 7,005 triliun dollar AS atau 59 persen dari total cadangan devisa dunia.
Angka tersebut turun dari triwulan IV-2019 yang porsinya sebesar 60,7. Angka ini juga turun jauh dari puncak dominasi dollar sebagai cadangan devisa yang mencapai 85 persen pada era 1970-an. Kendati turun, porsi dollar AS ini masih cukup besar dan mendominasi.
Ketergantungan dunia terhadap dollar AS itu kerap kali menjadi bumerang terhadap perekonomian global. Di saat dollar AS bergejolak, imbasnya turut dirasakan oleh mata uang berbagai negara. Untuk itulah otoritas moneter sejumlah negara, termasuk Indonesia, menginisiasi penggunaan mata uang lokal (local current settlement/LCS) dalam sejumlah transaksi bilateral.
Bank Indonesia (BI) mencatat, sejak 2016 hingga 2020, Indonesia telah merintis kerja sama LCS dengan sejumlah negara lain, seperti Thailand, Malaysia, Filipina, Jepang, dan China. Saat ini yang telah berjalan adalah dengan Malaysia, Jepang, dan Thailand. Khusus dengan China, BI dan bank sentral China atau Bank Rakyat China (PBOC) akan segera mengimplementasikan LCS pada triwulan III-2021.
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI Donny Hutabarat mengatakan, pemanfaatan LCS bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dollar AS untuk tranksasi perdagangan dan investasi, sekaligus untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Selain itu, penggunaan LCS akan mengefisienkan biaya transaksi valas, diversifikasi eksposur mata uang non-dollar AS, serta pengembangan dan pendalaman pasar mata uang non-dollar AS.
”Ke depan akan muncul pasar valas mata uang non-dollar AS yang bisa mendukung pembiayaan ekonomi, terutama di bidang perdagangan dan investasi,” ujar Donny dalam webinar bertema ”Local Currency Settlement” yang digelar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Kamis (5/6/2021).
Donny menambahkan, perkembangan transaksi LCS terus meningkat. Porsi LCS dalam perdagangan Indonesia-Thailand pada 2018 sebesar 0,6 persen, kemudian pada 2020 meningkat menjadi 1,3 persen. Begitu juga porsi LCS dalam perdagangan Indonesia-Malaysia yang sebesar 1,4 persen pada 2018 menjadi 4,1 persen pada 2020.
Yang cukup luar biasa adalah perkembangan porsi LCS dalam perdagangan Indonesia-Jepang. Belum setahun kerja sama itu bergulir, porsinya sudah mencapai 3,4 persen dari total perdagangan kedua negara pada petengahan 2021.
Baca juga: Bank Sentral Indonesia dan Malaysia Perkuat Kerja Sama Pemakaian Mata Uang Lokal
Tantangan
Mudahkah mengimplementasikan kebijakan LCS di sektor perdagangan internasional untuk ”menantang” dan ”menyisihkan" dollar AS? Banyak tantangan yang muncul, antara lain untuk mengubah kebergantungan eksportir dan importir terhadap dollar AS, maupun terkait risiko volatilitas dan penciptaan pasar valas LCS.
Banyak tantangan yang muncul, antara lain untuk mengubah kebergantungan eksportir dan importir terhadap dollar AS ataupun terkait risiko volatilitas dan penciptaan pasar valas LCS.
Dalam konteks penggunaan LCS RI-China, misalnya, tidak mudah mengubah kebiasan eksportir dan importir yang kerap bertransaksi menggunakan dollar AS. Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno mengatakan, dari sisi ekspor, mayoritas eksportir Indonesia ke China adalah perusahaan-perusahaan komoditas (minyak kelapa sawit mentah/CPO dan batubara), dan kertas.
”Penentuan harga atau pricing komoditas itu masih dalam mata uang dollar AS sehingga minat menggunakan LCS rupiah-yuan masih rendah,” kata Benny dalam Dialog Kebijakan Gambir Trade Talk ke-1 bertema ”Implikasi Penerapan LCS Indonesia-China” yang digelar Kementerian Perdagangan secara virtual di Jakarta, Kamis (5/8/2021).
Dari sisi impor, lanjut Benny, sebagian besar importir Indonesia adalah importir manufaktur dan teknologi. Sementara produksi di China banyak menggunakan komponen atau bahan baku impor berdasarkan kuotasi harga dalam dollar AS.
Hal ini akan menyulitkan importir Indonesia untuk membayar impor produk-produk itu dengan yuan karena sudah dibanderol dengan dollar AS. Oleh karena itu, otoritas moneter dan Pemerintah China perlu menyosialisasikan kebijakan LCS ini kepada kalangan pengusaha di China.
Baca juga: Transaksi Ekspor-Impor RI-China Bisa Pakai Rupiah dan Yuan
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, pengusaha kedua negara kemungkinan akan kesulitan mencapai kesepakatan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi dagang. Hal itu lantaran masih belum masifnya penggunaan renminbi, masih ada gap biaya transaksi antara dollar AS dan mata uang lain, serta penghitungan mayoritas komponen barang ekspor dan impor yang masih menggunakan dollar AS.
Faisal menjelaskan, pengunaan mata uang dalam perdagangan Indonesia dengan negara-negara mitra pada 2020 masih didominasi dollar AS. Untuk ekspor, sebesar 93,8 persen transaksinya masih menggunakan dollar AS, sedangkan untuk impor, 82 persen.
Sementara itu, penggunaan rupiah dalam transaksi ekspor dan impor masing-masing baru 1,3 persen dan persen. Begitu juga dengan renminbi yang porsinya terhadap ekspor baru 1 persen dan impor 3 persen.
Baca juga: Rupiah
Dollar AS, lanjut Faisal, menjadi pilihan karena biaya transaksinya rendah. Perbedaan atau gap rata-rata nilai jual dan beli yuan-rupiah sebesar 8,18 persen, sedangkan dollar AS-rupiah sebesar 2,47 persen. Hal ini menunjukkan, gab yuan-rupiah hampir empat kali lebih besar dibandingkan dengan dollar AS-rupiah.
”Gap mata uang itu terjadi lantaran tidak ada pasar mata uang langsung (direct exchange market). Untuk mengatasi gap jual dan beli yuan-rupiah itu perlu diciptakan pasar pertukaran langsung dan bank kliring kedua mata uang tersebut,” katanya.
Baca juga: Rupiah, Si Pembawa Pesan
Faisal juga menekankan, LCS hanya akan efektif jika biaya transaksi pertukaran antara satu mata uang lokal ke mata uang lainnya cukup rendah. Selain itu, perlu upaya membuat rupiah lebih menarik untuk digunakan dalam kerja sama LCS melalui kebijakan makro yang tepat dan mengurangi risiko volatilitas nilai tukar rupiah.
LCS hanya akan efektif jika biaya transaksi pertukaran antara satu mata uang lokal dan mata uang lainnya cukup rendah. Selain itu, perlu upaya membuat rupiah lebih menarik untuk digunakan dalam kerja sama LCS.
Risiko volatilitas
Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, volatilitas rupiah terhadap renminbi pasti tetap ada dalam jangka menengah dan panjang. Artinya, jika China mengalami gejolak, ada potensi risiko yang bisa ”menular” ke Indonesia, terutama di pasar keuangan pertukaran rupiah-renminbi.
Selama ini, China memang selalu menjaga stabilitas nilai tukar renminbi, pergerakan arus modal, dan kebijakan moneter. Namun, tetap ada masa-masa ketiganya tidak bisa dijaga bersamaan dan berimbas ke negara-negara yang bergantung pada China.
”Ke depan, volatilitas itu pasti akan muncul. Kendati begitu, volatilitas itu pasti bisa diredam. RI-China bisa mengantisipasi dan berkolaborasi meminimalisasi risiko gejolak tersebut,” ujar Fithra.
Faisal juga berpendapat serupa. Jika LCS RI-China diterapkan dan terus berkembang masif, maka integrasi ekonomi antara China dan Indonesia melalui perdagangan dan investasi akan semakin dalam. Hal ini berpotensi membuat Indonesia bergantung pada perekonomian China.
”Jika China mengalami krisis keuangan, akan menyebar dengan cepat ke Indonesia. Kekhawatiran yang sama terjadi saat Korea dan negara ASEAN+3 ingin melakukan LCS. Oleh karena itu, kedua negara yang akan menerapkan kebijakan itu mesti memperkuat mitigasi risikonya,” kata Faisal.
Baca juga: Geliat Kurs Rupiah di Masa Pandemi