Perubahan Iklim Menambah Kemiskinan Akut Nelayan
Dampak perubahan iklim memicu tangkapan nelayan tidak menentu. Peningkatan suhu laut telah membuat karang memutih.
JAKARTA, KOMPAS — Pemutihan terumbu karang yang dipicu kenaikan suhu muka laut mulai terjadi di sejumlah wilayah dan berpotensi mengancam sumber daya ikan. Di tengah menurunnya tangkapan laut, nelayan mengeluhkan harga jual yang merosot.
Potensi kenaikan suhu air laut pada awal tahun 2024 telah diprediksi Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional (NOAA) Coral Reef Watch. Peningkatan suhu muka permukaan laut sebagai dampak perubahan iklim akan berdampak pada pemutihan karang. Terumbu karang merupakan rumah bagi berbagai spesies laut, perlindungan pantai, dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir.
Dampak perubahan iklim telah menyebabkan tangkapan nelayan semakin tidak menentu. Sejumlah nelayan mengeluhkan tangkapan ikan yang menurun, sedangkan harga jual ikan justru merosot.
Baca juga: Beban Hidup Nelayan Semakin Berat
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah Riswanto mengemukakan, harga ikan murah dialami nelayan di Rembang, Juwana, Pati (Jawa Tengah) sampai dengan nelayan di Brondong, Jawa Timur. Harga ikan rata-rata turun sampai Rp 2.000 per kg.
”Beberapa jenis tangkapan nelayan (harganya) murah. Penyebabnya masih belum diketahui pasti,” ujar Riswanto, saat dihubungi, Rabu (6/3/2024).
Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana mengemukakan, faktor musim dan perubahan cuaca yang tak bisa diprediksi menyebabkan beberapa jenis ikan sulit dicari dan tangkapan semakin tidak menentu. Kondisi itu diperburuk dengan masih beroperasinya alat-alat tangkap ikan yang merusak, seperti dogol, yang menangkap ikan hingga ukuran terkecil dan dalam jangka panjang menggerus sumber daya ikan.
Dicontohkan, komoditas rajungan semakin sulit dicari di Laut Jawa karena maraknya operasional alat tangkap dogol dan garok—sejenis pukat harimau. Namun, harga jual rajungan justru turun dari harga normal yang sekitar Rp 120.000 per kg menjadi Rp 80.000 per kg. Selain itu, ikan tenggiri yang saat ini sedang sulit dicari nelayan Cirebon, harganya juga turun dari Rp 60.000 per kg menjadi Rp 50.000 per kg.
Baca juga: Belajar Ilmu Ikhlas dari Nelayan Talisayan
Pendapatan nelayan yang menurun berlangsung di tengah biaya hidup yang semakin berat akibat semakin mahalnya harga bahan kebutuhan pokok seperti beras, biaya perbekalan melaut, dan bahan bakar minyak. Beban hidup nelayan yang bertambah berat telah mengakibatkan semakin sedikit minat generasi muda yang mau menjadi nelayan dan anak buah kapal dan lebih memilih bekerja di kapal ikan luar negeri.
”Cuaca yang tidak menentu dan perubahan iklim membuat penangkapan ikan menjadi semakin tidak praktis. Diperlukan pendampingan teknologi nelayan untuk menghadapi musim tangkapan yang terus berubah-ubah,” ujar Budi.
Mulai memutih
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang menindaklanjuti prediksi NOAA, Amerika Serikat, yang melakukan penilaian terhadap fenomena pemutihan karang (coral bleaching) sejak Januari hingga pertengahan Februari 2024. Observasi pemutihan karang dilakukan di kawasan konservasi Pulau Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan (Gili Matra); kawasan konservasi Laut Banda; dan Taman Nasional Perairan Laut Sawu.
Diperlukan pendampingan teknologi nelayan untuk menghadapi musim tangkapan yang terus berubah-ubah,
Kepala BKKPN Kupang Imam Fauzi mengatakan, hasil penilaian cepat menunjukkan ada beberapa lokasi yang mengalami pemutihan mencapai 50-75 persen, bahkan lebih dari 75 persen, yakni Bounty Wreck yang berada di sebelah barat Pulau Gili Meno dan Sunset Reef di sisi selatan Pulau Gili Trawangan. Survei pemantauan dibagi ke dalam tiga fase, yaitu survei cepat, survei puncak pemutihan, dan survei pascapemutihan.
Pemutihan karang di kawasan konservasi Laut Banda dari penilaian di Site Lava Flow dan Miniatur Banda secara umum berkisar kurang dari 25 persen. Karang bercabang masih dalam tahap memucat sebagai dampak dari terpapar pemutihan karang. Adapun penilaian Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu yang dilakukan di Pantai Oesina, Desa Lifuleo, Kabupaten Kupang menunjukkan pemutihan karang di bawah 5 persen.
Imam menambahkan, fenomena pemutihan karang masih perlu ditindaklanjuti dengan melakukan survei detail puncak pemutihan karang dalam waktu dekat. Selain itu, mitigasi dengan cara mengurangi tekanan antropogenik agar karang dapat bertahan dan pulih secara alami. ”Salah satunya dengan meningkatkan kesadaran dan peran serta pengguna jasa ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi,” ujar Imam.
Kemiskinan akut
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, dalam Ministrial Lecture Kementerian Kelautan dan Perikanan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu, mengemukakan, tantangan ke depan perikanan laut adalah perubahan iklim. Selain itu, tekanan aktivitas manusia karena pertumbuhan penduduk yang eksponensial.
Pada tahun 2030, sebanyak 80 persen terumbu karang diprediksi mengalami pemutihan. Suhu permukaan laut akan naik hingga 2 derajat celsius pada tahun 2050 perlu mendapat perhatian dan terobosan serius untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan.
Baca juga: Dilema Subsidi Perikanan
Trenggono menambahkan, nelayan di Indonesia masih sulit lepas dari jerat kemiskinan. Selama 78 tahun, nelayan hampir tidak pernah sejahtera, serta cenderung hidup di lingkungan kumuh, kotor, dan kesejahteraan rendah. Untuk bisa mencapai taraf lepas dari kemiskinan, nilai tukar nelayan (NTN) dinilai harus di atas 130.
Dalam enam bulan terakhir, nilai tukar nelayan menunjukkan tren menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Februari 2024, nilai tukar nelayan tercatat 101,59 atau turun -0,15 persen dibandingkan Januari 2024 yakni 101,74. Tren penurunan NTN mulai terlihat sejak September 2023, yakni pada September 2023 tercatat 105,64, Oktober 2023 yakni 104,84, November turun ke 103,52, dan Desember 2023 menjadi 102,46.
Pada tahun 2024, KKP menargetkan nilai tukar nelayan 108, sedangkan nilai tukar pembudidaya ikan 105.
Menurut Trenggono, salah satu program terobosan yang digulirkan pemerintah adalah program percontohan (modeling) kampung nelayan modern yang ditunjang bantuan dan perbaikan sarana dan prasarana produksi untuk meningkatkan produktivitas nelayan, sarana pengolahan hingga akses pemasaran ikan ke industri. Kampung nelayan modern yang pertama dilakukan di Desa Samber/Binyeri, di Biak, Samfor, Papua dengan anggaran berkisar Rp 22,1 miliar. Tahun ini, rencananya akan ditambah 10 kampung nelayan modern.
Baca juga: Tahun 2024, KKP Akan Tambah 10 Kampung Nelayan Modern
”Mimpinya adalah modeling kampung nelayan modern untuk dibangun di tempat-tempat lain secara tematik. Ini bentuk intervensi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Kalau bantuan kredit usaha rakyat dan badan layanan umum tidak akan jadi apa-apa. Bantuan harus dilakukan end to end sampai mereka jadi masyarakat produktif,” ujar Trenggono.
Di sisi lain, masalah perikanan laut di Indonesia adalah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU fishing). IUU fishing tidak hanya bersumber dari kapal asing yang masuk dan mencuri ikan di perairan, tetapi juga kapal-kapal dalam negeri yang tidak memedulikan lingkungan dan mengambil ikan semaunya. Selain itu, polusi laut akibat sampah plastik.