Sejumlah faktor membebani penghidupan nelayan, antara lain harga bahan kebutuhan pokok dan BBM yang meningkat.
Oleh
LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghidupan nelayan di Indonesia kian sulit, terutama nelayan kecil dan tradisional. Biaya kebutuhan hidup yang meningkat semakin timpang dengan pendapatan nelayan yang kian menyusut.
Data Badan Pusat Statistik memaparkan, nilai tukar nelayan (NTN) terus melandai dalam enam bulan terakhir. Pada Februari 2024, NTN tercatat sebesar 101,59 atau turun 0,15 persen dibandingkan pada Januari 2024 yang 101,74. Tren penurunan NTN mulai terlihat sejak September 2023 yang tercatat 105,64, pada Oktober 2023 sebesar 104,84, kemudian pada November turun ke 103,52, dan di Desember 2023 menjadi 102,46.
Adapun nilai tukar petani (NTP) pada subsektor perikanan juga turun 0,4 persen dibandingkan pada bulan sebelumnya, yakni dari 102,14 menjadi 101,73. Indeks harga yang diterima oleh nelayan dan pembudidaya ikan turun 0,02 persen, lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang dibayar oleh nelayan dan pembudidaya ikan yang sebesar 0,38 persen.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan NTP secara nasional yang naik 2,28 persen dibandingkan dengan NTP Januari 2024, yaitu dari 118,27 menjadi 120,97. Indeks harga yang diterima petani naik sebesar 2,89 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,59 persen.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana mengungkapkan, terdapat sejumlah faktor yang membebani penghidupan nelayan, antara lain harga bahan kebutuhan pokok yang terus meningkat serta biaya melaut yang tinggi karena sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Nelayan kecil terpaksa membeli BBM secara eceran dengan harga lebih tinggi. Sementara harga jual ikan dari hasil melaut justru menurun.
”Pengeluaran tidak sebanding dengan pemasukan. Kebutuhan biaya nelayan semakin tinggi, sedangkan pendapatan berkurang karena harga jual ikan turun. Ini membuat beban nelayan bertambah,” ujar Budi saat dihubungi, Senin (4/3/2024).
Budi menambahkan, faktor musim dan perubahan cuaca yang kian tak bisa diprediksi juga menyebabkan beberapa jenis ikan sulit dicari dan hasil tangkapan nelayan tidak menentu. Kondisi itu diperburuk dengan masih beroperasinya alat-alat tangkap ikan yang merusak, seperti dogol, yang menggerus sumber daya ikan.
Dicontohkan, ikan tenggiri yang saat ini sedang sulit dicari nelayan Cirebon, Jawa Barat, harganya justru turun dari Rp 60.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 50.000 per kg. Adapun ikan jenis rajungan semakin sulit dicari di Laut Jawa karena maraknya alat tangkap dogol—sejenis pukat harimau—sehingga nelayan mencari ikan sampai ke perairan Lampung.
”Meski beberapa jenis ikan sulit dicari, nyatanya harga jualnya juga tidak naik,” katanya.
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta, Suhana, secara terpisah, mengemukakan, biaya konsumsi rumah tangga nelayan dan biaya melaut makin naik di Februari 2024. Pemerintah dinilai sangat lamban mengantisipasi hal ini, padahal kenaikan harga BBM sudah terjadi sejak akhir 2022 lalu. Terlebih, beberapa bulan terakhir ini, serapan industri perikanan juga turun karena gudang pendingin penuh.
Beban konsumsi rumah tangga nelayan yang makin meningkat perlu disikapi secara serius oleh pemerintah agar pendapatan nelayan meningkat melalui penyerapan ikan hasil tangkapan nelayan, serta menjaga mutu hasil tangkapan agar harga ikan bisa meningkat. Ini, antara lain, meningkatkan pengadaan gudang beku (cold storage) dan kendaraan berpendingin.
Ia mengingatkan, bantuan gudang beku dan kendaraan berpendingin kerap terpusat di pelabuhan perikanan, padahal berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebagian besar ikan hasil tangkapan nelayan didaratkan di luar pelabuhan perikanan. Pemetaan distribusi bantuan itu perlu dibenahi agar lebih efektif.
”Rantai pasok pemasaran ikan hulu-hilir yang belum baik dan menghambat distribusi ikan nelayan perlu dibenahi untuk meningkatkan serapan hasil tangkapan nelayan,” kata Suhana.
Hambatan pasar
Sebelumnya, dalam tiga bulan terakhir, pelemahan pasar ekspor mendorong stok ikan menumpuk di gudang pendingin. Jumlah ikan yang masuk ke gudang pendingin penyimpanan lebih banyak dibandingkan dengan ikan yang dijual. Akibatnya, harga ikan turun. Penyewa gudang pendingin juga menahan penerimaan penitipan dan sewa tempat penyimpanan ikan (Kompas.id, 14/2/2024).
Dari data KKP pada tahun 2023, bantuan pemerintah di sektor hilir perikanan, antara lain, berupa pengadaan cool box 5.324 unit, chest freezer 300 unit, gudang beku portable 17 unit, kendaraan berpendingin 20 unit, dan unit pengolahan ikan 2 unit. Tahun 2024, bantuan pemerintah direncanakan berupa 5.170 unit coolbox, 220 unit chest freezer, dan 165 unit peralatan pengolahan ikan. Pada tahun 2024, KKP menargetkan nilai tukar nelayan 108, sedangkan nilai tukar pembudidaya ikan sebesar 105.
Asisten Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Penangkapan Ikan Terukur Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, beberapa langkah telah digulirkan pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing dan penyerapan produk hasil perikanan. Hal ini, di antaranya, kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengalirkan ikan ke pasaran, seperti meminta industri untuk menyerap ikan lokal, serta industri pengolahan-pengalengan untuk menyerap ikan domestik. Selain itu, menangguhkan impor ikan.
Tony Marta Johan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pemindangan Ikan, secara terpisah, mengemukakan, peningkatan penyerapan ikan lokal dimungkinkan. Impor ikan hanya diperuntukkan sebagai bahan baku penolong untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pemindangan jika terjadi musim paceklik ikan. Meski demikian, sejak tiga bulan terakhir omzet penjualan pindang ikan menurun hingga 60-70 persen, padahal harga ikan olahan itu tidak meningkat.
”Saya tidak tahu penyebabnya (pasar menurun), apa mungkin disebabkan daya beli masyarakat menurun,” katanya.