Krisis iklim yang berimbas pada penurunan kualitas dan hasil tangkapan ikan nelayan perlu segera disikapi pemerintah.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Krisis iklim telah memperburuk ruang hidup nelayan tradisional dan pembudidaya ikan. Penurunan kualitas ekosistem di lautan, keselamatan jiwa dan hilangnya mata pencarian menjadi ancaman utama penghidupan masyarakat pesisir.
Laporan Forum Rembuk Iklim Pesisir 2023 yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), yang dirilis, Sabtu (27/1/2024), mendokumentasikan peningkatan intensitas krisis iklim diperparah dengan ketidakadilan pembangunan dan ekonomi di sektor nelayan tradisional. Nelayan tradisional, perempuan pesisir, petambak dan pembudidaya menghadapi dua persoalan sekaligus, yakni ketimpangan kesejahteraan dan krisis iklim. Rembuk Pesisir digelar pada 31 kota dan kabupaten tanggal 3-11 Desember 2023.
Ketua Umum DPP KNTI Dani Setiawan, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (27/1/2024), mengatakan, krisis iklim membawa sejumlah dampak, antara lain defisit pendapatan rumah tangga nelayan, yang diakibatkan oleh penurunan kualitas tangkapan serta penurunan daya dukung dan kerusakan ekosistem lautan. Selain itu, bencana hidrometeorologi, seperti kenaikan air muka, banjir rob, dan angin topan, yang melanda kawasan dan wilayah kampung-kampung pesisir, seperti di Aceh, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dampak lain, risiko keamanan dan keselamatan jiwa, baik karena ancaman cuaca buruk pada saat melaut maupun aspek kesehatan.
Pihaknya mencatat, di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, nelayan mengeluhkan kesulitan melaut karena ombak terlalu besar. Kondisi diperburuk dengan minimnya stok bahan bakar minyak (BBM) di tengah harga ikan semakin murah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yang tidak sebanding dengan biaya operasional melaut.
Di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, kenaikan air muka laut menyebabkan peningkatan intensitas banjir rob di banyak kampung pesisir di Kabupaten Demak dalam kurun tiga tahun terakhir. Krisis iklim juga tecermin dari gelombang tinggi dan cuaca buruk perairan yang berimbas pada penurunan kualitas dan hasil tangkapan laut.
Kondisi serupa terjadi di Pekalongan, Jawa Tengah. Krisis iklim dan pola musim yang berubah telah menekan pendapatan rumah tangga nelayan. Sebanyak 507 nelayan tradisional terpaksa beralih menjadi buruh bangunan lepas, berdagang, atau bertani.
”Peralihan nelayan tangkap mulai meningkat sejak 6 bulan lalu karena menurunnya hasil tangkapan dan biaya operasional yang semakin meningkat, Cara-cara ini tidak cukup sebagai solusi jangka panjang persoalan cuaca buruk dalam situasi krisis iklim,” ujar Dani.
Bencana hidrometeorologis juga mulai sering terjadi di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Pada pertengahan 2022, tercatat 49 bencana alam dan 5 bencana non-alam (BPBD Mamuju, 2022). Namun, Pemkab Mamuju dinilai kurang sigap terhadap mitigasi bencana dan krisis iklim yang dihadapi kawasan pesisir Mamuju. Padahal, dampak krisis iklim dinilai telah mengancam penghidupan utama nelayan tradisional dan perempuan pesisir.
Terabaikan
Hasil survei yang dikumpulkan melalui forum Rembuk Iklim Pesisir 2023 juga memperlihatkan pemenuhan aspek hak dasar oleh negara terhadap kelompok nelayan tradisional masih cenderung terabaikan. Hal itu mendorong sebagian nelayan menanggalkan profesinya untuk bekerja sebagai buruh di lapangan kerja lain. Hal itu sejalan dengan rilis Badan Pusat Statistik, yakni selama tahun 2010-2019 terjadi penurunan jumlah nelayan hingga mencapai 330.000 orang.
Dani menambahkan, peta jalan kebijakan pembangunan di sektor perikanan dan kelautan Indonesia dalam 10 tahun terakhir tidak menunjukkan dukungan dan realisasi yang berpihak terhadap pembangunan kesejahteraan nelayan tradisional, perempuan pesisir, petambak serta pembudidaya. Kebijakan publik dinilai justru menciptakan, melanggengkan, serta meluaskan ketimpangan baru antara sektor industri perikanan raksasa dan pariwisata dengan kelompok nelayan kecil.
Di tengah ancaman krisis iklim, pemerintah ke depan memiliki pekerjaan rumah besar untuk merealisasikan pemenuhan hak-hak dasar penghidupan dan kesejahteraan nelayan. Selain itu, memastikan peta jalan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta menyebarkan pengetahuan dan informasi ancaman krisis iklim kepada masyarakat pesisir, termasuk nelayan.
”Krisis iklim sudah terasa dan nyata. Pengetahuan dan informasi kepada nelayan terkait ancaman dan mitigasi risiko krisis iklim perlu disegerakan,” kata Dani.
Salah satu yang perlu didorong adalah penggunaan teknologi penangkapan ikan, serta perluasan jangkauan skema perlindungan sosial bagi nelayan yang mengalami kecelakaan akibat cuaca ekstrem dan kerusakan permukiman akibat banjir rob. Selain itu, pemulihan ekosistem pesisir secara masif dari hulu ke hilir dan perbaikan infrastruktur permukiman pesisir. Pemerintah juga perlu menginisiasi alternatif pekerjaan atau pendapatan tambahan bagi keluarga nelayan, termasuk usaha pengolahan ikan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo menyebutkan, penguatan ekosistem karbon biru dinilai menjadi bagian penting dalam mendukung adaptasi dan aksi mitigasi perubahan iklim. Penguatan ekosistem karbon biru dalam mengatasi perubahan iklim menjadi salah satu posisi penting Indonesia, termasuk dalam Konferansi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB 2023 atau Conference of the Parties (COP28) yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab, beberapa waktu lalu.
”Kita perlu mengambil tindakan nyata sebelum terlambat. Pendekatan-pendekatan, seperti solusi berbasis alam dan adaptasi berbasis ekosistem, dapat menjadi bagian dari tindakan nyata tersebut,” kata Victor, dalam keterangan resmi, beberapa waktu lalu.
Pengelolaan karbon biru dalam konteks perubahan iklim diterapkan melalui lima program prioritas, yaitu perluasan kawasan konservasi laut; perikanan tangkap terukur berbasis kuota; pembangunan perikanan budidaya laut, pesisir, dan darat yang ramah lingkungan; pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta pengelolaan sampah plastik di laut.
Dalam sejumlah kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menekankan pentingnya menciptakan laut yang sehat, aman, tangguh dan produktif bagi kesejahteraan bangsa melalui diplomasi maritim serta kerja sama dengan berbagai negara untuk strategi pembangunan ekonomi biru yang menitikberatkan pertimbangan ekologi.
KKP terus memperkuat kolaborasi tata kelola pembangunan ekonomi biru dalam kerangka Kemitraan Aksi Agenda Biru Nasional (NBAAP) yang melibatkan kementerian/lembaga terkait, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mitra pembangunan lain. NBAAP diluncurkan pada 14 November 2022 pada agenda KTT G20 di Bali.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Sesditjen PRL) Kusdiantoro, agenda kemitraan NBAAP itu memiliki empat pilar utama, yaitu kesehatan biru (blue health), pangan biru (blue food), inovasi biru (blue innovation), dan keuangan biru (blue financing) dengan pembentukan satuan tugas untuk setiap pilar.
Pertemuan Steering Committee NBAAP pada akhir Januari 2024 yang akan dipimpin oleh Menko Kemaritiman dan Investasi akan menjadi bahan masukan dalam penyusunan RPJMN 2025-2029 dan masukan arah pengembangan sektor prioritas Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia 2023-2045.