Kelas Menengah Indonesia Sulit Kaya, Terdampak Tumbangnya Industri Manufaktur
Industri padat karya yang bertumbangan membuat penyerapan tenaga kerja menurun. Menurun pula penyerapan sektor formal.
Oleh
REBIYYAH SALASAH, PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tumbangnya industri-industri padat karya memberikan sejumlah reaksi berantai, termasuk turut membuat kelas menengah Indonesia kian rentan dan sulit kaya. Pertumbuhan industri padat karya harus lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi agar lapangan kerja formal yang bisa dimanfaatkan kelas menengah lebih cepat tersedia.
Industri yang menyerap tenaga kerja, seperti industri tekstil, terus bertumbangan. Terbaru, dua perusahaan tekstil di Semarang, Jawa Tengah, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sekitar 5.300 pekerjanya pada pertengahan Februari 2024. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) pun mencatat, sejak 2020 hingga kini sudah ada sekitar 62.000 pekerja industri tekstil dan produk tekstil yang mengalami PHK.
Padahal, industri tekstil dan industri manufaktur lainnya merupakan andalan untuk menyerap tenaga kerja sektor formal di tengah dominasi sektor informal. Dalam laporan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, Senin (26/2/2024), pemerintah mendorong warga bekerja di sektor formal untuk menciptakan kelas menengah yang lebih baik. Dengan bekerja formal, kelas menengah mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan terlindungi jaminan sosial.
Namun, serapan tenaga kerja untuk industri tekstil terus menurun. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan, jumlahnya mendekati 3 juta orang, menurun dibandingkan 2019 yang pernah menyerap hingga 3,5 juta orang.
Politikus senior PDI-P, Hendrawan Supratikno, mengatakan, tumbangnya industri manufaktur tak hanya berkaitan permintaan ekspor dan pasar dalam negeri yang dibanjiri produk impor. Hal ini juga berkaitan dengan belum efisiennya ekosistem dunia usaha di Tanah Air yang koruptif dan kolutif.
”Ekosistem ini akhirnya menciptakan ekonomi yang berbiaya tinggi. Akhirnya, investor pindah ke negara-negara lain, seperti Vietnam, Kamboja, atau Bangladesh yang dianggap lebih memudahkan investasi,” tutur Hendrawan.
Ekosistem ini akhirnya menciptakan ekonomi yang berbiaya tinggi. Akhirnya, investor pindah ke negara-negara lain, seperti Vietnam.
Padahal, kata Hendrawan, pemerintahan yang bersih merupakan suatu keniscayaan dalam sistem ekonomi pasar. Ini akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya mendiversifikan kesempatan kerja, membuka lapangan kerja baru, dan menciptakan kebutuhan spesialiasi.
Pada ujungnya, pertumbuhan ekonomi juga akan membawa kelas menengah, yang jumlahnya 38,5 juta jiwa (20,7 persen dari penduduk Indonesia) dan pengeluaran dari Rp 1,7 juta hingga Rp 8,2 juta per orang per bulan, ke kehidupan lebih baik. Hendrawan menyebutnya sebagai prinsip ”Gelombang pasang akan menaikkan semua kapal, kapal kecil maupun besar”.
Sesuai data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012–2021 yang diolah Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, kelas menengah berada dalam posisi rentan.
Ada kesenjangan sisa gaji per bulan antara kelas menengah dan kelas kaya usia produktif (15–64 tahun) pada tahun 2021. Sisa gaji warga kelas atas Rp 1,59 juta per orang per bulan nilainya setara dengan 3,64 kali lebih besar dari warga kelas menengah.
Dengan rata-rata sisa gaji kelas menengah pada 2021 senilai Rp 435.888 per bulan, tidak banyak uang yang bisa ditabung dan diinvestasikan. Kondisi ini menyulitkan kelas menengah yang jumlahnya 38,5 juta jiwa (20,7 persen dari penduduk Indonesia) naik kelas menjadi orang kaya.
”Pekerjaan rumah sekarang adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan cara efisiensi investasi. Artinya, tidak boleh ada celah untuk birokrasi yang korup, perizinan berbelit-belit, ketidakpastian hukum, etos kerja yang lemah, dan investasi pendidikan keterampilan yang masih rendah,” ujar Hendrawan yang juga merupakan anggota DPR Komisi XI ini.
Dihubungi secara terpisah, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, untuk bisa membawa pekerja ke sektor formal, maka pekerjaan formal harus tersedia.
”Itu tugas kita sehingga lapangan kerja yang formal itu harus tersedia dulu yang cukup, baru kita bisa membawa orang yang bekerja di sektor informal ke formal,” kata Amalia.
Amalia mengungkapkan, hal itu sudah ada di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2029. Di dalamnya disebutkan bahwa salah satu tugas pemerintah adalah membawa dan meningkatkan kesempatan kerja di sektor formal.
Itu tugas kita sehingga lapangan kerja yang formal itu harus tersedia dulu yang cukup, baru kita bisa membawa orang yang bekerja di sektor informal ke formal
Amalia menegaskan, lapangan kerja formal harus disediakan. Ia menjelaskan, saat ini pertumbuhan sektor industri melambat. Pertumbuhan sektor industri manufaktur lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
Ke depan, kata Amalia, pertumbuhan industri manufaktur harus lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi supaya bisa mempercepat penyediaan lapangan pekerjaan yang lebih formal.
Selain mengembangkan sektor industri, Bappenas juga mendorong pembangunan sektor jasa yang bernilai tambah tinggi.
Sebagai contoh, ia mendorong investasi di sektor industri yang lebih banyak sehingga membuka industri baru seperti industri olahan dari gas menjadi petrokimia, dirgantara, pembangunan kapal, dan sebagainya.
Menurut Amalia, industri tersebut bisa menciptakan lapangan kerja formal. Selama ini, sektor industri ini belum bisa maksimal karena berbagai faktor, salah satunya disebabkan oleh pandemi Covid-19. Pascapandemi ini, ada kesempatan untuk meningkatkan sektor industri tersebut.
Amalia juga mendorong pembangunan lapangan kerja yang lebih berkualitas dengan mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bersifat produsen. Selain itu, ia juga mendorong ekspor yang lebih tinggi.