Masih Berlaku, Moratorium Penempatan Pekerja Migran Domestik ke Timur Tengah
Moratorium penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke Timur Tengah dikeluarkan pada 2015 dan belum dicabut.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencabutan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke negara kawasan Timur Tengah masih menunggu hasil evaluasi uji coba sistem penempatan satu kanal ke Arab Saudi. Sampai saat ini, proses evaluasi masih berjalan.
Moratorium yang dimaksud tertuang dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.
Pada pertengahan tahun 2023 sempat beredar kabar pemerintah akan mencabut Kepmenaker itu, tetapi dalam rapat koordinasi antarkementerian/lembaga di bawah komando Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, pada akhir semester II-2023, diputuskan bahwa moratorium baru akan dicabut setelah keluar hasil evaluasi uji coba sistem penempatan satu kanal (SPSK) pekerja migran Indonesia sektor domestik ke Arab Saudi.
Hal itu berarti penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik ke negara-negara kawasan Timur Tengah sampai sekarang masih ditutup.
Direktur Bina Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Kementerian Tenaga Kerja Rendra Setiawan, Senin (26/2/2024), di Jakarta, menjelaskan, inisiatif SPSK memiliki tujuan positif, yaitu membangun tata kelola penempatan yang melindungi hak-hak pekerja migran. Sebab, calon pekerja ataupun perusahaan penempatan harus terdaftar di sistem dan pekerja harus memiliki keterampilan. Seluruh informasi hak-hak pekerja dipastikan transparan, seperti perjanjian kerja bersama, kepastian gaji, dan hari libur.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), khususnya, berharap jika hasil evaluasi positif, SPSK bisa diterapkan ke negara-negara kawasan Timur Tengah lainnya supaya menghasilkan tata kelola penempatan yang aman.
Menjelang Lebaran hingga musim haji, kebutuhan akan pekerja migran di sana (Arab Saudi) semakin naik. Di sinilah pasar ’gelap’ tenaga kerja semakin aktif.
Uji coba SPSK ke Arab Saudi berjalan selama enam bulan, sejak 14 Juli 2023. Karena menonjolkan cara kerja sistem yang terintegrasi di antara dua negara dan kepastian perlindungan pekerja, Kemenaker tidak terlalu menonjolkan target kuantitas pekerja migran Indonesia yang bisa berangkat. Hanya 200-an pekerja yang bisa berangkat lewat SPSK.
Selama enam bulan masa uji coba itu, Kemenaker mengklaim, pengaduan terkait permasalahan penempatan nonprosedural ke Arab Saudi tidak ada. Namun, sejak uji coba ditutup, permasalahan itu muncul kembali.
Rendra mengatakan, setelah masa uji coba sistem selesai, yakni pada 14 Januari 2024, pihak Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi menyepakati proses evaluasi melalui joint task force. Pemerintah Indonesia telah mengirimkan nota diplomatik supaya proses penilaian segera bisa dijalankan. Saat ini, Pemerintah Indonesia masih menunggu balasan, tetapi secara pararel pemerintah mulai menyiapkan kuesioner yang akan dijadikan bahan pembahasan.
”Bagi calon pekerja migran baru yang ingin berangkat bekerja ke Arab Saudi, saat ini belum bisa. Sebab, evaluasi SPSK sedang berlangsung,” katanya.
Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Ayub Basalamah, secara terpisah, mengatakan, pihaknya belum bisa menyimpulkan tingkat keberhasilan ataupun kendala pelaksanaan SPSK ke Arab Saudi lantaran masih menunggu hasil evaluasi. Dia mendengar masih banyak kabar penempatan nonprosedural pekerja migran Indonesia sektor domestik ke Timur Tengah, terutama ke Arab Saudi.
Dia menduga penyebabnya adalah pemerintah dan aparat penegak hukum belum menjalankan fungsinya secara optimal dalam melindungi warga negaranya agar tidak terjerat tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, pasar ”gelap” tenaga kerja ke Timur Tengah sampai sekarang tetap berlangsung dan itu dikuasai oleh oknum. Akibatnya, penempatan resmi seperti SPSK ataupun tidak resmi menjadi tidak jelas.
”Menjelang Lebaran hingga musim haji, kebutuhan akan pekerja migran di sana (Arab Saudi) semakin naik. Di sinilah pasar ’gelap’ tenaga kerja semakin aktif,” ujarnya.
Wahyu berpendapat, Indonesia perlu mengurangi sikap memfavoritkan kawasan Timur Tengah sebagai tujuan penempatan pekerja migran Indonesia sektor domestik. Sebaliknya, Indonesia perlu memperluas jangkauan tujuan penempatan ke negara-negara yang lebih ramah pekerja migran Indonesia dan memiliki penghargaan tinggi terhadap perempuan pekerja.
Berdasarkan data pengaduan yang diterima oleh Migrant Care sepanjang 2023, yang di dalamnya ada masa uji coba SPSK ke Arab Saudi, terdapat 20 pengaduan masalah pekerja migran Indonesia yang berangkat secara nonprosedural ke Arab Saudi. Permasalahan mereka antara lain upah tidak sesuai dan pemenjaraan karena aneka kasus. Ada pula pengaduan dari keluarga pekerja terkait pekerja yang meninggal di Arab Saudi.
Salah satu contohnya adalah Alfonse, warga asal Kalimantan Tengah, yang mengadu ke Migrant Care bahwa keponakannya bernama Rusani meninggal di Arab Saudi. Rusani setelah ditelusuri berangkat secara ilegal pada Juni 2022. Alfonse tidak tahu-menahu bahwa moratorium penempatan pekerja migran Indonesia ke pengguna perorangan atau sektor domestik ke Timur Tengah masih berlaku.
Dia juga tidak tahu bahwa Pemerintah Indonesia -Arab Saudi memiliki program SPSK. Hingga sekarang, dia masih menunggu kejelasan solusi keadilan dan proses memulangkan keponakannya itu.