Tips Diterima Kerja, Tawarkan Kualitas Diri yang Unggul
Sampai 10 tahun ke depan kebutuhan akan tenaga kerja lebih pada yang punya pendidikan tinggi dan keterampilan teknologi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Setiap tahun ada sekitar 3 juta orang yang masuk ke bursa tenaga kerja, maka tidak heran persaingan mendapatkan pekerjaan jadi kian sulit. Para pencari kerja harus terus meningkatkan kualitas diri agar bisa memenangkan persaingan. Sampai 10 tahun ke depan kebutuhan akan tenaga kerja juga berubah lebih pada yang punya keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi serta mampu mengadopsi teknologi.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Bob Azam mengatakan, agar bisa memenangkan persaingan, para pencari kerja harus bisa menawarkan kualitas yang lebih baik ketimbang pencari kerja lainnya.
“Mereka harus punya keterampilan khusus yang sulit ditandingi yang lainnya. Itu rahasia bisa diterima kerja,” ujar Bob, dihubungi Sabtu (24/2/2024).
Bob menjelaskan, sejatinya kesempatan kerja itu sangat luas tidak terbatas di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Namun, perlambatan ekonomi dunia dan dalam negeri telah membuat pasokan atau tawaran lowongan kerja menjadi lebih terbatas.
Padahal, di saat yang sama, lanjut Bob, ada sekitar 3 juta orang yang masuk ke bursa tenaga kerja. Ini belum termasuk sekitar 300.000–500.000 pekerja yang keluar ataupun diberhentikan dari tempat kerjanya. Artinya, permintaan akan lowongan kerja menjadi sangat besar.
Oleh karena itu, untuk memenangi persaingan, setiap individu pencari kerja harus mempunyai keunggulan. Bob memberi ilustrasi. Misalkan setiap tahun ada 1 juta orang lulusan SMA/SMK yang mencari kerja. Tapi jumlah lulusan SMA/SMK yang mahir berbahasa Inggris, misalnya, hanya 10 persen atau 100.000 orang. Para lulusan itu bisa menambah keahliannya lagi, seperti seperti mahir mengoperasikan komputer, maka akan terseleksi lagi jadi hanya tinggal 10 persen, atau 10.000 orang.
Jika pada saat yang sama, lulusan SMA/SMK itu aktif berorganisasi di sekolah maupun organisasi tertentu, maka dirinya akan punya nilai tambah lagi di mata pemberi kerja, yakni calon pekerja yang bisa bekerja dalam tim.
Kemampuan dasar ini pun harus ditunjang dengan kemampuan khusus sesuai bidang tujuan kerjanya. Misalkan, calon pekerja di bidang otomotif. Dia yang punya keterampilan dan mengerti dasar-dasar cara kerja mesin pasti akan lebih dicari.
”Jadi semakin Anda memupuk keterampilan dan mempunyai keterampilan khusus, Anda kian unggul dibanding lainnya. Persaingan pun makin kecil dan peluang diterima kerja pun semakin besar,” ujar Bob yang juga merupakan Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
Padat karya
Bob menambahkan, persoalan serapan tenaga kerja ini adalah pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah. Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah, lanjut Bob, adalah kembali memperhatikan investasi dan pengembangan industri padat karya. Jenis-jenis industri seperti tekstil dan alas kaki perlu kembali dapat perhatian dan revitalisasi sehingga bisa menyerap tenaga kerja.
Perlu peran pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang bisa mendorong dunia usaha menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya.
Bob berkisah, pada dekade 80 dan 90, saat itu industri tekstil dan alas kaki Indonesia berkembang pesat, para pencari kerja cukup datang ke Jakarta atau Tangerang, lalu bisa langsung bekerja di pabrik tekstil atau alas kaki. Sebab, saat itu permintaan akan tenaga kerja dari industri padat karya begitu besar.
”Saat itu kondisinya bahkan terbalik. Bukan pencari kerja yang pergi mencari, tetapi pabrik yang cari pekerja. Ini kan luar biasa. Karena padat karya saat itu berkembang pesat jadi serapan tenaga kerja itu melimpah,” ujar Bob.
Selain itu, pemerintah juga perlu terus mendorong investasi di industri pengolahan. Sebab, sektor ini tak hanya memberikan efek nilai tambah lebih bagi perekonomian, tetapi juga memberikan lapangan kerja dari hulu hingga hilir industri.
Adaptasi teknologi
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Kemaritiman, Investasi dan Luar Negeri Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, saat ini kriteria yang dicari pemberi kerja makin bertambah. Seiring dengan perkembangan zaman, pencari kerja juga mencari calon tenaga kerja yang memiliki keterampilan untuk mengadopsi teknologi yang diperlukan.
”Sampai dengan 10 tahun ke depan kebutuhan akan tenaga kerja berubah lebih pada yang punya keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi serta mengadopsi kemampuan teknologi,” ujar Shinta.
Itu tak lain karena investasi dan pengembangan industri ke depan akan lebih banyak padat teknologi. Maka para pencari kerja harus melengkapi dirinya dengan kemampuan adopsi teknologi.
Mempersiapkan diri
Antisipasi perubahan zaman seperti disampaikan Shinta, salah satunya sudah dilakukan oleh Widia (32), warga Jakarta Selatan. Ia menambah keterampilannya dengan mengikuti kursus pemrograman komputer di sebuah lembaga swasta. Sarjana sastra dari universitas negeri di Jakarta ini merasa dirinya harus menambah keahlian dan keterampilan khusus supaya bisa lebih bisa diterima di dunia kerja.
Ia melihat kebutuhan tenaga teknologi informasi (TI) saat ini sangat besar sejalan dengan banyaknya perusahaan teknologi yang bermunculan di Indonesia. ”Saya yang bukan sarjana TI mau mencoba terlibat di industri ini. Maka saya harus melengkapi diri dengan keterampilan ini,” ujar Widia, dihubungi Sabtu.
Sampai dengan 10 tahun ke depan kebutuhan akan tenaga kerja berubah lebih pada yang punya keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi serta mengadopsi kemampuan teknologi.
Saat belajar kursus pemrograman, Widia merasa kesulitan. Sebab, dia tidak memiliki dasar komputer dari studi formal. Dia hanya keranjingan mengutak-atik komputer dan berselancar di dunia maya. Namun, akhirnya dia pun berhasil lulus kursus itu dengan nilai cukup dan kini tengah mencari perusahaan yang membutuhkan jasanya.
Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2023 menunjukkan, pengangguran terbuka tercatat mencapai 7,86 juta orang atau 5,32 persen dari jumlah angkatan kerja yang sebesar 147,71 juta orang.
Adapun penduduk bekerja sebanyak 139,85 juta orang (94,68 persen), di antaranya ada yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu sebanyak 43,46 juta orang atau 31,08 persen. Jika ditotal, penganggur terbuka dan orang bekerja kurang dari 35 jam seminggu sebanyak 51,32 juta.
Peneliti bidang ketenagakerjaan dan industri dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, kebutuhan dunia dan persaingan mencari kerja makin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi, tetapi juga dibarengi dengan perlambatan ekonomi. Akhirnya, peluang yang terbuka tidak seluas sebelumnya. Namun, kriteria yang dicari meningkat.
Di sinilah perlu peran pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang bisa mendorong dunia usaha menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya.