Menakar Warisan Utang Rezim Jokowi
Utang yang membengkak akan semakin mempersempit ruang fiskal. Ini beban warisan yang perlu diwaspadai rezim mendatang.
Setiap lima atau sepuluh tahun sekali pemerintahan berganti. Bukan hanya kebijakan dan program pembangunan yang diturunkan lintas rezim, utang pun diwariskan. Pemerintahan Joko Widodo yang akan purnatugas pada Oktober mendatang diperkirakan bakal meninggalkan beban utang besar kepada rezim baru melebihi para presiden sebelumnya.
Menurut catatan Kementerian Keuangan, jumlah utang pemerintah per 31 Desember 2023 mencapai Rp 8.144,6 triliun dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 38,59 persen. Dalam dua periode kepemimpinan Jokowi, selama sembilan tahun terakhir, utang pemerintah bertambah Rp 5.535,6 triliun atau naik tiga kali lipat (212 persen).
Sebagai gambaran, Jokowi memulai masa jabatannya di tahun 2014 dengan warisan utang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebesar Rp 2.608 triliun.
Baca juga: Risiko Ganda Pengelolaan Utang Negara
Pandemi Covid-19 adalah faktor penting yang membuat utang di era Jokowi melonjak tinggi. Pada akhir 2020, hanya dalam waktu satu tahun, utang pemerintah naik Rp 1.295,9 triliun (27 persen) dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pagebluk membuat besaran utang pada akhir 2020 telah menyentuh Rp 6.074,5 triliun.
Akan tetapi, jika ditelusuri, sebelum pandemi pun utang yang dicetak pemerintahan Jokowi sudah terhitung besar. Selama periode pertama (2014-2019), dalam lima tahun, utang pemerintah bertambah Rp 2.170,5 triliun atau naik 83 persen. Jokowi memulai periode kedua kepemimpinannya pada 2019 dengan utang sebanyak Rp 4.779,2 triliun.
Rasio utang juga tercatat meningkat di era pemerintahan Jokowi. Meskipun baru melonjak tinggi saat pandemi (dari 30,23 persen pada 2019 menjadi 39,43 persen pada 2020), kenaikan rasio utang sudah terjadi sejak periode pertama era Jokowi (dari 24,68 persen pada 2014 menjadi 30,23 persen pada 2019).
Meski meningkat, kenaikan rasio utang itu masih dalam ”batas aman” yang diatur dalam undang-undang. Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, utang pemerintah hanya diperbolehkan maksimal 60 persen dari PDB. Jika melewati batas itu, Indonesia berpotensi bangkrut karena tidak lagi sanggup membayar utang.
Mendekati akhir masa jabatannya, kendati utang masih terus naik, pemerintahan Jokowi mulai lebih berhati-hati mengelola utang pascapandemi.
Utang rezim sebelumnya
Dengan posisi utang pemerintah saat ini, Jokowi akan menjadi presiden yang meninggalkan warisan utang terbanyak dalam sejarah Indonesia pascareformasi.
Sebagai perbandingan, saat transisi pemerintahan dari SBY ke Jokowi pada tahun 2014, utang pemerintah yang diwariskan sebesar Rp 2.608 triliun. Di bawah kepemimpinan SBY, kenaikan utang relatif lebih kecil, yaitu meningkat sebanyak Rp 1.310 triliun atau naik 100 persen. Seperti Jokowi, SBY juga menjabat untuk dua periode dari 2004-2014.
Rezim SBY juga menurunkan rasio utang secara tajam dari 56,60 persen pada 2004 menjadi hanya 24,68 persen pada 2014. Di masa pemerintahan SBY, Indonesia juga melunasi utang ”jumbo” kepada Dana Moneter Internasional (IMF) yang menjerat RI sejak krisis 1997-1998.
Sebelum SBY, Megawati Soekarnoputri mewariskan utang Rp 1.299 triliun. Di masa kepemimpinannya selama tiga tahun, utang pemerintah naik sangat tipis, yakni 2 persen, dari Rp 1.273 triliun saat ia mulai menjabat pada 2001. Di era Megawati, rasio utang juga diturunkan dari 77,32 persen (2001) menjadi 56,60 persen (2004).
Utang di awal tahun
Mendekati akhir masa jabatannya, meski utang masih terus naik, pemerintahan Jokowi mulai lebih berhati-hati mengelola utang pascapandemi. Hal itu terlihat dari penarikan utang baru pada tahun 2023 yang dipangkas dari target pembiayaan utang Rp 696,3 triliun dalam APBN 2023 menjadi hanya Rp 407 triliun per akhir 2023.
Per 31 Januari 2024, pemerintah kembali menarik utang baru sebesar Rp 107,6 triliun. Angka ini 16,6 persen dari target utang di APBN 2024 yang sebesar Rp 648,1 triliun.
Baca juga: APBN 2023, Pemerintah Tidak Lagi Berutang untuk Bayar Utang
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (22/2/2024), mengatakan, strategi pembiayaan di tahun terakhir pemerintahan Jokowi akan dilakukan secara fleksibel, terukur, dan oportunistik. Menurut dia, sejauh ini profil utang Indonesia masih sesuai jalur.
”Kami akan memantau dinamika pasar keuangan agar dalam penerbitan surat berharga negara (SBN) bisa betul-betul efisien dan mengantisipasi berbagai risiko di tingkat global. Kami akan oportunistik, artinya mencari kesempatan yang tepat dan secara terukur sesuai target di APBN,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Suminto mengatakan, pengelolaan utang negara tetap dalam kondisi aman meskipun secara total outstanding utang pemerintah telah menembus Rp 8.000 triliun.
Menurut dia, rasio utang masih dalam batas aman. Persentasenya pun terus menurun setelah pandemi. Selain itu, APBN juga berhasil membukukan keseimbangan primer positif pada tahun 2023, yang menandakan pemerintah tidak lagi ”gali lubang tutup lubang” atau berutang untuk bayar utang.
”Kita tidak bisa hanya melihat nominal outstanding utang yang semakin besar, karena di saat yang sama ekonomi kita juga tumbuh, PDB kita semakin besar, penerimaan juga semakin tinggi. Secara umum, indikator portofolio utang pemerintah semakin baik dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Pemerintahan baru harus lebih berhati-hati mengingat rasio utang kita sudah sekitar 39 persen.
Ruang fiskal menyempit
Namun, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Esther Sri Astuti mengingatkan, utang yang terus membengkak itu perlu diwaspadai rezim selanjutnya karena berpotensi semakin mempersempit ruang fiskal untuk mengeksekusi berbagai kebijakan yang diusung pemerintahan baru.
Rezim berikutnya memiliki pekerjaan rumah berat untuk mengerek laju penerimaan negara dan PDB, serta berhati-hati dalam menyusun program belanja prioritas agar tidak semakin menambah total outstanding utang dan rasio utang melewati batas aman.
Apalagi, beban pembayaran bunga utang di APBN 2024 telah mencapai Rp 497,3 triliun. Alokasi anggaran untuk membayar bunga utang itu meningkat signifikan hingga dua kali lipat melampaui belanja modal serta kini menduduki posisi tertinggi di atas jenis belanja lainnya dalam komponen belanja pemerintah pusat.
”Pemerintahan baru harus lebih berhati-hati mengingat rasio utang kita sudah sekitar 39 persen. Pemerintah baru harus kreatif meningkatkan penerimaan, bukan hanya dari pajak dan cukai, melainkan juga penerimaan bukan pajak. Apalagi, kalau ke depan mau ada anggaran untuk program-program yang ’wow’ seperti makan siang gratis dan pembangunan IKN,” kata Esther.
Baca juga: Beban Bunga Utang Pemerintah Membesar Lampaui Belanja Lain
Senada, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, mengatakan, di setiap transisi pemerintahan, ada pola peningkatan belanja pemerintah akibat munculnya program prioritas tambahan oleh rezim baru. Di tengah ruang fiskal yang menyempit akibat utang yang bertambah, hal ini perlu diwaspadai.
”Masalahnya adalah bagaimana belanja-belanja itu bisa dibiayai oleh APBN tanpa memperlebar defisit fiskal kita. Selama ini kita sudah menjaga disiplin fiskal dengan cukup baik. Ke depan perlu dipikirkan bagaimana menyeimbangkan berbagai kebutuhan belanja itu dari sisi fiskal,” kata Riefky.