Beban Bunga Utang Pemerintah Membesar Lampaui Belanja Lain
Beban pembayaran bunga utang pemerintah meningkat hingga nyaris menembus Rp 500 triliun pada RAPBN 2024. Belanja bunga utang menduduki porsi belanja tertinggi dalam komponen belanja pemerintah pusat.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Porsi pembayaran bunga utang pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 meningkat signifikan hingga dua kali lipat melampaui belanja modal serta menduduki posisi tertinggi di atas jenis belanja lainnya. Kenaikan beban biaya utang yang nyaris menembus Rp 500 triliun itu dapat mempersempit ruang fiskal di tengah target belanja pemerintah yang ambisius di tahun terakhir menjabat.
Sudah lima tahun terakhir ini, porsi pembayaran bunga utang dalam komponen belanja pemerintah pusat di APBN terus melonjak signifikan. Di satu sisi, kenaikan itu sulit dihindari karena akumulasi utang pemerintah yang meroket untuk menutupi pembiayaan pandemi Covid-19 selama tahun 2020-2022.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2019, porsi pembayaran bunga utang pemerintah masih Rp 275,5 triliun. Jumlah itu meningkat menjadi Rp 314 triliun pada 2020, naik menjadi Rp 343,4 triliun pada 2021, meningkat ke Rp 386,3 triliun pada 2022, melonjak ke Rp 437,4 triliun pada outlook 2023, dan kini ditargetkan mencapai Rp 497,3 triliun pada RAPBN 2024.
Belanja bunga utang tahun depan itu terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 456,8 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri Rp 40,4 triliun. Besaran itu mencakup 20,3 persen dari total belanja pemerintah pusat senilai Rp 2.446,5 triliun, serta menduduki porsi belanja tertinggi di antara jenis belanja lainnya seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja subsidi, belanja hibah, dan belanja bantuan sosial.
Sebelum ini, pembayaran bunga utang biasanya tidak menduduki porsi terbesar dalam komponen belanja pemerintah pusat. Posisi tertinggi itu biasanya dialokasikan untuk belanja pegawai dan belanja barang. Namun, mulai tahun 2023, kebutuhan membayar bunga utang melonjak hingga menduduki porsi belanja tertinggi.
Tahun depan, porsi pembayaran bunga utang bahkan membesar hingga dua kali lipat di atas alokasi belanja modal yang bersifat produktif. Sebagai perbandingan, nilai belanja modal pada RAPBN 2024 adalah Rp 244,4 triliun. Pada tahun-tahun sebelumnya, selisih pembayaran bunga utang dengan belanja modal biasanya tidak terlalu jauh.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, Senin (28/8/2023), mengatakan, kenaikan beban bunga utang yang signifikan tidak bisa dihindari sebagai konsekuensi dari pembiayaan utang yang membengkak selama pandemi. Namun, dari sisi produktivitas utang, ia menilai bertambahnya beban biaya utang itu masih wajar.
”Wajar tidaknya kenaikan biaya utang ini bergantung pada produktivitas utang. Itu masih cukup baik karena utang kita untuk kebutuhan pemulihan ekonomi pascapandemi, yang hasilnya mulai terlihat sekarang lewat mobilitas masyarakat yang kembali normal dan ekonomi kita yang kembali ke status upper middle income,” kata Josua.
Mulai tahun 2023, kebutuhan membayar bunga utang melonjak hingga menduduki porsi belanja tertinggi.
Di sisi lain, ia menilai pemerintah sebenarnya sudah cukup berhati-hati dengan pengelolaan utang. Hal itu terlihat dari defisit fiskal yang berhasil ditekan lebih awal hingga 2,38 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2022, padahal saat itu sebenarnya masih ada kelonggaran untuk memperlebar defisit di atas 3 persen dari PDB.
Sejalan dengan kehati-hatian itu, target defisit pada outlook APBN 2023 tetap terjaga rendah di kisaran 2,28 persen dari PDB serta 2,29 persen dari PDB untuk RAPBN 2024. ”Pemerintah tidak terlena dan cukup disiplin dengan kebijakan utang meski tahun lalu kita diuntungkan dengan angin commodity boom yang membuat pendapatan kita meningkat signifikan,” ujarnya.
Ia memperkirakan, puncak beban pembayaran bunga utang itu akan berakhir pada tahun 2025-2026 dengan mempertimbangkan tenggat jatuh tempo dari penerbitan sebagian besar Surat Berharga Negara (SBN). Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mengatur strategi untuk mempercepat pembayaran bunga utang sembari mengeksekusi belanja secara selektif.
Meskipun ada opsi renegosiasi utang, ia menilai itu bukan pilihan terbaik karena bisa memengaruhi kredibilitas pengelolaan utang pemerintah.
”Kalau kita nego, indikasinya berarti ada yang tidak beres. Investor bisa hilang rasa percaya. Lebih baik kita konsisten dengan pengelolaan utang yang prudent sejauh ini. Harapannya setelah 2025, dengan defisit fiskal kita yang disiplin dan kebijakan utang yang konsisten prudent, arah beban biaya utang kita akan terus membaik dan kembali lagi seperti dulu,” kata Josua.
Meski sulit dihindari, membengkaknya beban biaya utang dalam belanja APBN itu akan mempersempit ruang fiskal untuk jangka pendek. Padahal, tahun depan, pemerintah memasang target belanja yang cukup ambisius untuk mengejar kualitas pertumbuhan ekonomi di tengah target angka pertumbuhan ekonomi yang moderat.
Oleh karena itu, menurut Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, pemerintah perlu benar-benar selektif dalam mengeksekusi realisasi belanja. Apalagi, ketidakpastian ekonomi tahun depan masih cukup tinggi dan bisa memengaruhi laju penerimaan negara. Itu membuat ruang fiskal pemerintah semakin sempit di tengah beban biaya utang yang memakan porsi APBN cukup besar.
Bukan hanya ruang gerak fiskal yang terbatas, pemerintah juga menghadapi keterbatasan dari sisi waktu eksekusi belanja. Masa efektif untuk mengeksekusi APBN tahun depan di era pemerintahan Joko Widodo hanya sepuluh bulan, mengingat masa jabatan pemerintah akan berakhir pada Oktober 2024. ”Jadi, pemerintah betul-betul harus memitigasi kondisi fiskal yang terbatas dan memastikan efisiensi belanja,” kata Eko.
Menurut dia, postur belanja di RAPBN 2024 masih bisa dibuat lebih efektif. Belanja-belanja sosial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif perlu lebih diprioritaskan. ”Membangun infrastruktur memang penting, tetapi tantangan yang lebih besar adalah menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat. Lagi pula, infrastruktur selama sembilan tahun terakhir ini sebenarnya sudah cukup di-gas oleh pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah betul-betul harus memitigasi kondisi fiskal yang terbatas dan memastikan efisiensi belanja.
Pemerintah berargumen, meski porsi pembayaran bunga utang membesar secara nominal, laju pertumbuhannya mulai melambat. Pada tahun 2024, alokasi pembayaran bunga utang di RAPBN tumbuh 12,7 persen, lebih rendah dari outlook APBN 2023 sebesar 14,3 persen. Hal itu dipengaruhi oleh kebijakan pengurangan pembiayaan utang pada tahun 2022 dan 2023. Selain itu, kinerja APBN tahun 2023 lebih terjaga karena ditopang oleh dana cadangan atau saldo anggaran lebih (SAL) yang cukup signifikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sejalan dengan upaya mengendalikan utang dan menjaga APBN tetap sehat, pemerintah mematok defisit fiskal yang rendah pada RAPBN 2024. Arah kebijakan pembiayaan utang pun dilakukan secara fleksibel tetapi tetap hati-hati dengan rasio utang yang terukur. ”Pembiayaan kita lakukan lebih hati-hati agar kita mampu mengantisipasi situasi global yang semakin tidak pasti,” katanya dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan 2024, pekan lalu.