Mengefektifkan Kenaikan Utang
Dalam lima tahun terakhir, akibat pandemi Covid-19, utang pemerintah melonjak cukup signifikan. Pemerintah berdalih kebijakan utang itu telah efektif mendorong pertumbuhan ekonomi RI di tengah berbagai guncangan.
Isu mengenai posisi utang Indonesia, yang meningkat lima tahun terakhir, belakangan marak dibicarakan. Bukan hanya oleh partai politik di luar koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, sorotan datang dari partai pendukung pemerintah.
Hal yang dapat diduga terkait itu adalah warisan utang akan jadi beban bagi partai mana pun yang kelak berkuasa. Perdebatan soal utang juga ibarat siklus lima tahunan yang kerap dimainkan di tahun politik untuk mengkritisi kinerja pemerintahan petahana.
Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan agenda pandangan fraksi-fraksi mengenai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun Anggaran 2024, Selasa (23/5/2023), kenaikan utang pemerintah dan defisit fiskal disoroti hampir semua fraksi di DPR, termasuk PDI-P selaku partai utama pengusung pemerintah saat ini.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tetap Waspadai Kenaikan Utang
Sejumlah fraksi mengkhawatirkan posisi utang pemerintah yang melonjak signifikan dalam lima tahun terakhir akibat pandemi Covid-19. Memang, akibat turunnya pendapatan dan naiknya kebutuhan belanja selama pagebluk, rasio utang membengkak hingga di atas 40 persen terhadap PDB. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga hampir semua negara di dunia.
Pada 2020, tahun pertama pandemi, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 38,68 persen. Pada 2021, rasio utang menembus angka tertinggi sejak reformasi, yakni 41 persen terhadap PDB. Adapun pada 2022, rasio utang mulai turun ke 38,65 persen, tetapi masih di atas level prapandemi.
Sebagai perbandingan, pada 2019, rasio utang terhadap PDB adalah 29,8 persen atau Rp 4.779,28 triliun. Dengan demikian, dalam lima tahun terakhir, utang pemerintah bertambah Rp 3.070,5 triliun menjadi Rp 7.849,8 triliun dengan rasio 38,15 persen terhadap PDB per April 2023.
Pemerintah pun menanggapi kekhawatiran itu dalam Rapat Paripurna DPR dan rapat pertama dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024, Selasa (30/5/2023).
Kendati terjadi kenaikan utang selama lima tahun terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebijakan utang itu efektif mendorong pertumbuhan ekonomi. RI termasuk satu dari segelintir negara G20 dan Asia Tenggara yang mampu mencapai kenaikan PDB lebih besar daripada kenaikan utang saat pandemi. Mayoritas negara lainnya justru mengalami kenaikan utang lebih tinggi daripada PDB.
Akibat turunnya pendapatan dan naiknya kebutuhan belanja selama pagebluk, rasio utang membengkak hingga di atas 40 persen terhadap PDB.
Sepanjang periode 2018-2022, meski utang pemerintah bertambah 206,5 miliar dollar AS, pertumbuhan PDB Indonesia meningkat lebih tinggi, yakni 276,1 miliar dollar AS. Selain Indonesia, negara lain yang mampu mengefektifkan kenaikan utangnya selama pandemi adalah Vietnam dengan kenaikan utang sebesar 18,2 miliar dollar AS dan peningkatan PDB sebesar 102 miliar dollar AS.
Vietnam termasuk negara dengan kinerja paling baik karena tingginya arus investasi langsung dan tidak langsung yang masuk ke Vietnam dalam beberapa tahun terakhir.
”Semua negara berutang saat pandemi, tetapi efektivitas dari penggunaan utang itu berbeda-beda. Vietnam bisa efektif karena kemampuannya menarik investasi dan memanfaatkan fenomena keluarnya investor dari China. Sementara, kita bisa menaikkan nominal PDB karena mampu mendorong dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi melalui instrumen fiskal dan defisit APBN itu,” katanya.
Tingkat efektivitas utang Indonesia masih lebih baik dari beberapa negara berkembang lain di kawasan seperti India dan Thailand, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat yang saat ini dihadapkan pada risiko gagal bayar.
Sebagai perbandingan, dalam periode 2018-2022, utang Pemerintah India naik 932,4 miliar dollar AS dan PDB-nya hanya meningkat 683,5 miliar dollar AS. Demikian pula Thailand yang menambah utang sebesar 86,1 miliar dollar AS tetapi hanya mampu menaikkan PDB-nya sebesar 29,6 miliar dollar AS.
Adapun AS, yang kini menghadapi krisis mengalami kenaikan utang sebesar 8.925,8 miliar dollar AS, hanya mampu menaikkan nominal PDB-nya sebesar 4.931,4 miliar dollar AS.
Baca juga: Defisit Fiskal Kembali Ditekan, Belanja Jadi Tantangan di Tahun Politik
Target moderat
Kajian Kementerian Keuangan menunjukkan, setiap tambahan utang sebesar 1 dollar AS selama periode lima tahun terakhir dapat menaikkan nominal PDB Indonesia sebesar 1,34 dollar AS. Menurut Sri Mulyani, hal itu menunjukkan kenaikan utang Indonesia masih produktif dan efektif. Penambahan utang itu juga dibutuhkan untuk membiayai belanja yang melonjak saat pandemi.
Di sisi lain, pengelolaan utang diyakini masih terkendali. Sejak pandemi hingga sekarang, Indonesia tidak mengalami penurunan peringkat utang ketika peringkat mayoritas negara lain dipangkas dengan proyeksi yang negatif.
”Memang, kenaikan PDB tidak seharusnya hanya didukung oleh utang, itu jelas tidak sustainable. Tetapi, kita masih relatif dalam posisi cukup baik karena dalam situasi shock pascapandemi di mana hampir seluruh perekonomian kolaps, kita bisa bertahan,” tutur Sri Mulyani.
Dalam KEM-PPKF 2024, pemerintah menargetkan rasio utang diturunkan ke 38,07-38,97 persen terhadap PDB, sedangkan defisit APBN ditargetkan 2,16-2,64 persen dari PDB. Target penurunan rasio utang itu tidak terlalu ambisius mengingat posisi rasio utang terhadap PDB per 2022 adalah 38,65 persen dan per April 2023 adalah 38,15 persen.
Setiap tambahan utang sebesar 1 dollar AS selama periode lima tahun terakhir dapat menaikkan nominal PDB Indonesia sebesar 1,34 dollar AS.
Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menilai, target rasio utang yang dipasang pemerintah terlalu moderat. Target itu memang terhitung aman sehingga kecil kemungkinannya tidak tercapai.
Namun, ia mengkhawatirkan target yang terlalu aman itu tidak dapat mendorong terobosan kebijakan untuk mengakselerasi pendapatan maupun mengontrol belanja. ”Kebijakan bisa jadi kembali business as usual, sementara kita butuh terobosan untuk menaikkan penerimaan karena tahun ini pemasukan sudah tidak segencar tahun lalu, yang bisa menambah risiko kita dalam mengelola utang,” ujarnya.
Ia menilai, posisi utang pemerintah saat ini memang masih aman karena di bawah batas 60 persen terhadap PDB. Selain itu, rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) utang pemerintah juga relatif aman karena berada di kisaran delapan tahun.
Namun, konsekuensi dari pengelolaan utang dengan tenor jangka menengah-panjang itu bisa menjadi beban risiko di kemudian hari, apalagi jika tidak diiringi dengan pengelolaan utang yang kredibel oleh pemerintah sekarang dan periode berikutnya.
”Ini tetap patut diwaspadai karena meski rasio utang kita masih ’aman’, tetap saja ada kenaikan cukup besar dan risikonya baru akan terlihat untuk jangka panjang nanti,” katanya.