Siasat Dagang RI di Tahun Naga Kayu
Ketangguhan sang naga dan kelenturan kayu bisa menginspirasi RI menghadapi berbagai tantangan dan hambatan ekspor.
Tahun 2024 merupakan Tahun Naga Kayu. Naga melambangkan kekuatan, ketangguhan, kemakmuran, dan keberuntungan, sedangkan kayu menyimbolkan pertumbuhan dan kelenturan. Akankah makna tahun tersebut bakal mencerminkan kinerja perdagangan internasional Indonesia pada tahun ini?
Tak akan mudah bagi Indonesia mendongkrak kinerja ekspor pada tahun ini. Sejumlah tantangan dan hambatan tengah menanti. Hal itu tidak hanya menyangkut tren penurunan harga komoditas global, tetapi juga perlambatan ekonomi sejumlah negara mitra dagang utama RI.
China, pasar ekspor nomor satu RI, tengah melempem dan era pertumbuhan tinggi ekonominya diperkirakan bakal berakhir. Jepang, pasar ekspor urutan keempat RI, juga tengah mengalami resesi.
Baca juga: Era Keajaiban China Diperkirakan Berakhir, Bagaimana Nasib RI?
Adapun Uni Eropa (UE) yang diandalkan menjadi pasar ekspor sejumlah produk manufaktur dan energi baru terbarukan RI justru membentengi kawasannya. Hal itu dilakukan dengan melahirkan sejumlah regulasi di bawah rencana aksi Kesepakatan Hijau Eropa.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono, Rabu (21/2/2024), mengatakan, RI harus menghadapi UE dalam lima kasus sengketa dagang di Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). Sengketa itu terkait nikel, baja, biodiesel, biomassa, dan asal lemak.
”Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia kita bersengketa dengan satu negara dalam banyak kasus. Situasi kita dengan UE sangat panas. Padahal, kita juga bermaksud membuat kemitraan dagang yang lebih komprehensif dengan UE,” ujarnya dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2024 yang digelar pada 19-21 Februari 2024 secara hibrida di Semarang, Jawa Tengah.
Lalu bagaimana siasat dagang RI di tengah kondisi tersebut? Tentu saja, masih mengacu pada ”lagu lama”, yakni mengembangkan dan menumbuhkan pasar-pasar ekspor nontradisional atau baru. Namun, kali ini, siasat itu lebih terukur dan dikombinasi dengan taktik ”pedekate” negara potensial terdekat.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, Kemendag masih akan menyasar kawasan-kawasan pasar ekspor nontradisional untuk meningkatkan kinerja ekspor nonmigas RI. Kawasan-kawasan itu adalah Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin.
Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, kita bersengketa dengan satu negara dalam banyak kasus. Situasi kita dengan UE sangat panas.
Dalam tiga tahun terakhir (2021-2023), nilai ekspor RI ke sejumlah negara di Asia Selatan tumbuh 31,75 persen menjadi 26,7 miliar dollar AS. Begitu juga ke sejumlah negara di Timur Tengah, nilai ekspornya tumbuh 25,21 persen menjadi 10,34 miliar dollar AS.
”Namun, untuk kawasan Afrika dan Amerika Latin, pertumbuhan ekspornya masih stagnan. Pada 2023, nilai ekspor ke sejumlah negara di Afrika dan Amerika Latin masing-masing 5,55 miliar dollar AS dan 2,57 miliar dollar AS,” katanya.
Zulkifli menambahkan, negara utama penyumbang surplus neraca perdagangan nonmigas RI bahkan sudah berubah dari Amerika Serikat ke India. Pada 2023, surplus neraca perdagangan RI terhadap India sebesar 14,51 miliar dollar AS, sedangkan terhadap Amerika Serikat 14,01 miliar dollar AS.
Baca juga: ”Montase” Perdagangan
Untuk itu, RI masih akan melanjutkan upaya mengembangkan dan memperkuat pasar-pasar baru ekspor tersebut pada tahun ini. Beberapa langkah strategis telah disiapkan sehingga ekspor nonmigas pada tahun bisa tumbuh sesuai target, yakni 2,5-4,5 persen.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Didi Sumedi menuturkan, strategi pengembangan pasar ekspor baru tersebut juga akan melibatkan negara potensial terdekat. Jadi, tidak hanya mengandalkan sejumlah negara di kawasan itu, tetapi juga negara yang bisa dijadikan hub.
Di Afrika Selatan, Indonesia telah memiliki perwakilan dagang di Johannesburg, Afrika Selatan, dan Lagos, Nigeria. Agar bisa menjangkau banyak negara di Afrika, khususnya Afrika Barat, Indonesia akan menjadikan Maroko sebagai hub niaga. Negara tersebut memiliki kedekatan dagang dengan negara-negara di Afrika Barat.
”Pada tahun ini, kami akan menyasar Maroko melalui sejumlah pameran dan misi dagang,” ujarnya.
Baca juga: RI Makin Bergantung pada China
Di Asia Selatan, lanjut Didi, Indonesia akan menjadikan Pakistan sebagai hub niaga dan bisnis. Adapun di Timur Tengah, RI sudah menjadikan Dubai, Uni Emirat Arab, sebagai hub tersebut. Bahkan, perusahaan RI juga telah bermitra dengan perusahaan Dubai yang menjangkau lima negara di Timur Tengah, di antaranya Qatar, Kuwait, dan Bahrain.
”Selain itu, kami juga tengah mendekatkan kemitraan dagang dengan Uni Ekonomi Eurasia (UEE). Kemitraan itu diharapkan bisa meningkatkan pasar ekspor Indonesia ke sejumlah negara di Eropa Timur dan Tengah,” ujarnya.
UEE merupakan persatuan kerja sama ekonomi yang didirikan Rusia, Kazakhstan, dan Belarus pada 29 Mei 2014. Selain ketiga negara itu, anggota UEE mencakup pula Armenia dan Kirgistan. Saat ini, Indonesia dan UEE tengah merundingkan Perjanjian Perdagangan Bebas RI-UEE (IEaEU-FTA).
Upaya-upaya tersebut, lanjut Didi, akan dibarengi dengan diversifikasi produk ekspor Indonesia. Produk diversifikasi itu tidak hanya berupa produk-produk hasil hilirisasi, tetapi juga usaha kecil menengah.
Perjanjian dagang
Djatmiko menambahkan, Kemendag juga akan membuat dan merampungkan perjanjian dagang dengan sejumlah negara. Hal itu penting mengingat perjanjian dagang dengan sejumlah negara atau kawasan berdampak cukup signifikan terhadap ekspor dibandingkan dengan negara yang belum mengikat perjanjian dagang dengan RI.
Ekspor RI ke setiap negara mitra perjanjian perdagangan bebas (FTA), misalnya, mengalami perubahan berbeda-beda antara sebelum dan setelah FTA diimplementasikan. Peningkatan ekspor ke negara-negara mitra FTA terjadi pada ekspor RI ke China, India, dan ASEAN, masing-masing meningkat 4,4 kali lipat, 2,7 kali lipat, dan 2,2 kali lipat dibandingkan periode sebelum FTA diimplementasikan.
”Adapun ke negara mitra lain, seperti Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru, serta Jepang, peningkatan ekspornya masih rendah. Ekspor RI ke Korea Selatan baru tumbuh 65 persen, Australia dan Selandia Baru 29 persen, dan Jepang 12,3 persen,” kata Djatmiko.
Baca juga: Jatim Ekspor Produk UMKM Senilai Rp 3,62 Miliar
Dalam rapat kerja tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menekankan pentingnya Indonesia memperkuat perjanjian dagang dan kemitraan komprehensif dengan sejumlah negara atau kawasan. Salah satunya adalah Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP).
CPTPP beranggotakan 11 negara dan tujuh di antaranya merupakan anggota Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional. Pasar CPTPP mencakup 534 juta jiwa atau sekitar 7 persen penduduk dunia dengan total produk domestik bruto (PDB) sebesar 10,4 triliun dollar AS atau 12,6 persen dari PDB dunia dan total perdagangan 5,3 triliun dollar AS atau 15,3 persen dari perdagangan global.
”Kami tengah mempelajari dan menganalisis peluang Indonesia untuk bergabung dalam CPTPP tersebut,” kata Airlangga.
Sementara itu, Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti meminta agar kinerja ekspor Indonesia tumbuh di atas rata-rata ekspor dunia. Hal itu dalam rangka peningkatan ekspor sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Dalam RPJPN itu, total nilai ekspor Indonesia ditargetkan bisa mencapai 887,3 miliar dollar AS atau 2,2 persen dari total nilai ekspor dunia. Untuk mencapai target itu, ekspor nonmigas Indonesia perlu dijaga pada angka 400 miliar dollar AS hingga 2029 dengan pertumbuhan 5-9 persen.
”Setelah itu, ekspor Indonesia harus berekspansi hingga mendekat 900 miliar dollar AS pada 2045. Dengan demikian, share ekspor nonmigas RI terhadap total ekspor nomingas dunia akan meningkat dari 1,2 persen pada 2022 menjadi 2,2 persen pada 2045,” katanya.
Untuk mencapai target itu, ekspor nonmigas Indonesia perlu dijaga pada angka 400 miliar dollar AS hingga 2029 dengan pertumbuhan 5-9 persen.
Untuk mencapainya, lanjut Amalia, berbagai upaya perlu dilakukan. Beberapa di antaranya adalah mendiversifikasi pasar dan produk ekspor, memperbaiki daya saing logistik nasional, dan mengintegrasikan ekonomi domestik dengan rantai pasok nilai global.
Dalam lima tahun terakhir (2018-2023), Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor nonmigas Indonesia masih sekitar 154 miliar dollar AS hingga 276 miliar dollar AS. Nilai ekspor nonmigas terendah sebesar 154,94 miliar dollar AS pada 2019 dan tertinggi 275,9 miliar dollar AS pada 2022. Adapun nilai ekspor nonmigas pada 2023 baru 242,87 miliar dollar AS.
Akankah Tahun Naga Kayu ini membawa hoki bagi kinerja ekspor RI tahun ini sekaligus menapaki target ekspor Indonesia Emas 2045? Ketangguhan sang naga dan kelenturan kayu bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk menghadapi berbagai tantangan dan hambatan meningkatkan ekspor.
Baca juga: Deflasi China Turut Picu Penurunan Kinerja Ekspor RI