Deflasi China Turut Picu Penurunan Kinerja Ekspor RI
Era pertumbuhan ekonomi tinggi China diperkirakan mulai berakhir. Indonesia perlu segera mengantisipasinya.
JAKARTA, KOMPAS — China tengah mengalami deflasi dan diperkirakan akan mengakhiri era pertumbuhan ekonomi tinggi. Kondisi itu turut memicu penurunan kinerja ekspor Indonesia lantaran China merupakan pasar utama ekspor Indonesia.
Pada Januari 2024, China mengalami deflasi sebesar 0,8 persen secara tahunan. Penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) itu merupakan penurunan terbesar dalam 14 tahun terakhir. Deflasi itu juga lebih buruk dari perkiraan pasar yang sebesar 0,5 persen.
Tak hanya itu, harga barang dan jasa di tingkat produsen juga deflasi sebesar 2,5 persen secara tahunan. Meskipun sedikit membaik dari Desember 2023 yang sebesar 2,7 persen, Indeks Harga Produsen (IHP) tersebut masih melanjutkan tren deflasi selama 16 bulan berturut-turut atau sejak Oktober 2022.
Hal itu turut memicu penurunan kinerja ekspor Indonesia pada Januari 2024. Badan Pusat Statistik (BPS), Kamis (15/2/2024), merilis, total ekspor migas dan nonmigas Indonesia pada Januari 2024 senilai 20,52 miliar dollar AS, turun 8,34 persen secara bulanan dan 8,06 secara tahunan.
Ekspor nonmigas turun paling dalam, yakni sebesar 8,54 persen secara bulanan, menjadi 19,13 miliar dollar AS. Komoditas penyumbang penurunan nilai ekspor tersebut adalah bahan bakar mineral, termasuk batubara, sebesar 3,85 persen, serta bijih logam, terak, dan abu 2,21 persen.
Baca juga: Rakyat Enggan Berbelanja, China Deflasi
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, pada Januari 2024, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke tiga pasar utama, yakni China, Amerika Serikat, dan India, menurun. Porsi ketiga negara itu terhadap total ekspor nonmigas RI sebesar 43,64 persen.
”Dari ketiga negara itu, nilai ekspor ke China turun cukup signifikan sebesar 23,9 persen secara bulanan dan 12,92 persen secara tahunan menjadi 4,57 miliar dollar AS. Komoditas yang menyumbang penurunan ekspor tersebut adalah bahan bakar mineral, termasuk batubara; bijih logam, terak, dan abu; serta lemak dan minyak hewani/nabati, termasuk minyak sawit (CPO),” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Nilai ekspor ke China turun cukup signifikan sebesar 23,9 persen secara bulanan dan 12,92 persen secara tahunan menjadi 4,57 miliar dollar AS.
BPS juga mencatat, penurunan kinerja ekspor RI ke China itu menyebabkan defisit neraca pedagangan RI terhadap negara tersebut semakin besar. Pada Januari 2024, neraca perdagangan nonmigas RI terhadap China defisit 1,38 miliar dollar AS. Padahal, pada Desember 2023, RI masih mencatatkan surplus dagang atas China sebesar 318,7 juta dollar AS.
Meskipun begitu, secara umum, neraca perdagangan nonmigas Indonesia pada Januari 2024 masih surplus sebesar 3,32 miliar dollar AS. Hal itu melanjutkan tren surplus neraca perdagangan RI selama 45 bulan beruntun.
Baca juga: Alarm Disrupsi Perdagangan Dunia Berbunyi
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Irman Faiz, berpendapat, penurunan ekspor pada Januari 2024 sebenarnya masih didominasi tren penurunan harga sejumlah komoditas utama ekspor RI, seperti batubara dan CPO. Namun, pelemahan ekonomi sejumlah negara mitra dagang, terutama China, juga turut menggerus kinerja ekspor RI.
Penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama itu akan semakin mengikis surplus perdagangan pada tahun ini. Hal itu dapat menyebabkan transaksi berjalan menjadi defisit.
”Kami memperkirakan defisit transaksi berjalan pada tahun ini sebesar 1 persen dari produk domestik bruto (PDB), melebar dari perkiraan sebelumnya 0,4 persen,” katanya.
Baca juga: RI Makin Bergantung pada China
Akhir pertumbuhan tinggi
Sejumlah lembaga dan kalangan khawatir China memasuki era akhir pertumbuhan ekonomi tinggi. Sejak Covid-19, ekonomi China tidak pulih cepat. Prospek pemulihannya dinilai belum kuat lantaran masih dihantui krisis permintaan properti dan lonjakan utang pengembang sektor itu.
Pada 2 Februari 2024, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, selama satu dekade ke depan, permintaan perumahan baru di China akan turun 30-60 persen dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Situasi ini akan menyulitkan Pemerintah China mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi mengingat sektor tersebut menyumbang sekitar seperempat PDB China.
”Tanpa paket kebijakan restrukturisasi yang komprehensif untuk sektor properti yang bermasalah, investasi real estate bisa turun lebih dari yang diperkirakan. Situasi itu berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan dalam negeri dan mitra dagang,” kata Henry Hoyle, ekonom Departemen Asia dan Pasifik IMF, dalam laporannya bertajuk ”China’s Real Estate Sector: Managing the Medium-Term Slowdown”.
Dalam laporan tersebut juga disebutkan, pasar properti China bakal menghadapi tekanan tambahan di tahun-tahun mendatang. Tekanan itu berasal dari faktor struktural, khususnya perubahan demografi. Kebutuhan akan tambahan perumahan baru akan berkurang di tahun-tahun mendatang seiring dengan penurunan populasi dan melambatnya urbanisasi.
IMF memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi China pada 2024 dan 2025 masing-masing sebesar 4,6 persen dan 4,1 persen. Perkiraan itu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada 2023 yang sebesar 5,2 persen. Hingga 2028, pertumbuhan ekonomi negara tersebut diperkirakan terus turun menjadi 3,4 persen.
Kami perkirakan dampak penurunan ekonomi China sebesar 1 persen akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,02-0,1 persen.
Menurut Irman, krisis properti di China telah berefek ke sektor-sektor ekomomi lain. Krisis tersebut menyebabkan daya beli masyarakat China turun sehingga menyebabkan permintaan sejumlah produk industri dan investasi di China turun.
Hal itu tidak hanya berdampak pada impor, tetapi juga pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Jika ekonomi China melambat, ekonomi dunia dan Indonesia juga akan terimbas.
”Kami perkirakan dampak penurunan ekonomi China sebesar 1 persen akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,02-0,1 persen,” katanya.
Untuk itu, kata Imran, Indonesia perlu mencermati dan mengantisipasi perkembangan perekonomian China. Selain terus menumbuhkan pasar ekspor baru, Indonesia perlu memperkuat konsumsi dan investasi dalam negeri yang merupakan komponen besar pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca juga: ”Montase” Perdagangan