Komitmen Indonesia Akan Transisi Energi Dinilai Melemah
Penghentian pemanfaatan batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik tidak bisa seketika. Harus terencana.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Indonesia terhadap transisi energi dinilai melemah di saat sejumlah negara anggota Agensi Energi Internasional atau IEA berkomitmen dalam peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan global. Selain sinkronisasi kebijakan, juga dibutuhkan iklim investasi yang baik serta upaya serius untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan, kondisi itu, antara lain, terlihat dari masih rendahnya realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer yang sebesar 13,1 persen hingga akhir 2023. Padahal, ada target 23 persen pada 2025.
”Harus ada komitmen kuat dari pemerintah karena ada perubahan paradigma dari energi fosil ke energi terbarukan. Aturan-aturan untuk mendukung itu belum juga disahkan, seperti Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan. Juga perlunya pembenahan Undang-Undang Kelistrikan (untuk mendukung akselerasi energi terbarukan),” kata Fahmy, Sabtu (17/2/2024).
Dua faktor penting dalam transisi energi, imbuh Fahmy, adalah pendanaan dan teknologi. Oleh karena itu, iklim investasi yang kondusif di bidang energi terbarukan mesti diciptakan. Komitmen pendanaan dari Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) atau dari negara-negara maju dan swasta, senilai 21,5 miliar dollar AS (mayoritas pinjaman konsesi), juga belum jelas wujudnya. Menurut dia, jika sebatas komitmen, akan sulit diharapkan.
Ia juga mendorong agar satu kebijakan dan kebijakan lain harus saling mendukung, misalnya bagaimana energi terbarukan dapat dipacu dan di saat bersamaan ada kejelasan tahapan pengurangan energi fosil seperti batubara. Menurut dia, perlu ada kebijakan yang saling terintegrasi.
Fahmy menuturkan, tak dimungkiri bahwa Indonesia dianugerahi sumber daya batubara melimpah, yang salah satunya menopang kelistrikan nasional. Oleh karena itu, penghentian pemanfaatan batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik tidak bisa seketika. Namun, harus ada perencanaan jelas dan matang dalam penerapan teknologi untuk mengurangi emisi yang dihasilkan, sebagai bagian dari transisi energi.
Ia menambahkan, hengkangnya Air Products dari proyek batubara menjadi dimetil eter (DME) di Sumatera Selatan, yang sudah dilakukan peletakan batu pertama (ground breaking) oleh Presiden, harus menjadi catatan penting. Keekonomian harus dipikirkan matang. ”Hengkangnya investor menjadi sinyal ketidakseriusan. Harus ada komitmen lebih kuat dalam migrasi ke energi yang lebih bersih,” katanya.
Fokus transmisi
Adapun pemerintah cenderung mulai realistis dengan target-target dalam transisi energi. Pada pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara, misalnya. Kendati Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengidentifikasi total ada 4,8 gigawatt (GW) kapasitas PLTU yang bisa dipensiundinikan hingga 2030, implementasinya masih menjadi tanda tanya.
Sejauh ini, baru PLTU Cirebon 1 di Jawa Barat yang telah disepakati untuk mendapat suntikan dana agar masa operasinya dipangkas tujuh tahun lebih cepat, yang juga bagian dari program JETP. Adapun JETP, yang sebelumnya diutamakan untuk pengakhiran dini operasi PLTU, akan lebih dulu diarahkan untuk pembangunan jaringan transmisi kelistrikan.
Pada Jumat (16/2/2024), Menteri ESDM Arifin Tasrif mengakui, prioritas pemerintah saat ini bukan penghentian operasi PLTU, tetapi pembangunan infrastruktur transmisi. ”(Sebelum penghentian operasi PLTU), kayaknya kita harus membenahi dulu transmisi, (sehingga nanti) infrastruktur kita bisa dioptimalkan. Kita akan bisa lihat keseimbangannya,” katanya.
Arifin membenarkan mobilisasi investasi JETP diharapkan didahulukan untuk pembangunan infrastruktur transmisi kelistrikan. Pasalnya, transisi energi bisa dilakukan jika hanya transmisi tersedia. Namun, lanjutnya, komitmen JETP total senilai 21,5 miliar dollar AS sejauh ini masih dipegang oleh International Partners Group (IPG) atau negara-negara pendonor JETP serta swasta.
Adapun pembangunan transmisi menjadi satu dari lima area investasi dalam JETP. Empat lainnya adalah pengakhiran dini operasi PLTU batubara, akselerasi energi terbarukan yang bersifat dispatchable (dapat dikontrol dan konstan), akselerasi energi terbarukan yang bersifat variable (bergantung cuaca), dan peningkatan rantai pasok energi terbarukan.
Tingginya peran batubara dalam bauran ketenagalistrikan di Indonesia masih menjadi salah satu kendala pengembangan energi terbarukan. Hingga akhir 2023, porsi energi terbarukan + bahan bakar nabati/BBN dalam bauran ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) baru 13,15 persen. Sementara pembangkit batubara menjadi yang tertinggi, mencapai 67,66 persen.
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik sejatinya mengamanatkan penyusunan peta jalan percepatan masa operasi PLTU. Namun, sampai saat ini, peta jalan yang direncanakan tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM tersebut belum kunjung terbit.
Sementera itu, Dewan Energi Nasional (DEN) merencanakan penurunan target energi terbarukan dalam bauran energi primer, yang tertuang dalam draf Rancangan Peraturan Presiden (RPP) pembaruan Kebijakan Energi Nasional. Target diturunkan dari 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2025. Yang menjadi pertimbangan ialah tak tercapainya asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8 persen dalam KEN yang ada saat ini.
Komitmen dunia
Saat Indonesia masih tersendat dalam mencapai target-target transisi energi, negara-negara anggota IEA menegaskan komitmen energi terbarukan dalam rangka memerangi perubahan iklim, yang dibahas dalam pertemuan tingkat menteri IEA di Paris pada 13-14 Februari 2024. Adapun Indonesia bukan anggota IEA, tetapi sebatas negara asosiasi (association country).
Dikutip dari laman IEA, pertemuan itu menghasilkan 46 poin dalam komunike. Di antaranya adalah penguatan komitmen negara-negara untuk berkontribusi terhadap peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan global pada 2030, dengan mempertimbangkan keadaan nasional. Juga seruan untuk berkontribusi pada pencapaian konsensus COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 2023.
IEA juga memandang Asia Tenggara sebagai sebagai kawasan penting dalam mewujudkan transisi energi bersih, peningkatan akses energi, dan diversifikasi rantai pasok energi. Itu juga yang membuat IEA, beberapa hari lalu, meresmikan kantor cabang di Singapura. Kantor cabang tersebut menjadi yang pertama di luar kantor pusat mereka di Paris, Perancis.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol mengatakan, pemerintahan dari seluruh dunia mengapresiasi kepemimpinan IEA terkait energi dan iklim dalam 50 tahun terakhir. IEA juga telah menerima mandat jelas dari seluruh anggota terkait peningkatan upaya dalam transisi energi.
”Kami akan melipatgandakan lagi upaya-upaya kami untuk memimpin pertarungan melawan perubahan iklim di sektor energi. Bersamaan dengan itu, kami juga memastikan keamanan pasokan energi serta peningkatan akses melalui transisi energi,” ucapnya.