Panen Energi Terbarukan di Uruguay
Uruguay mampu menurunkan porsi energi fosil dalam bauran ketenagalistrikan mereka, dari 50 persen menjadi 2 persen.
Saat negara-negara di berbagai belahan dunia tengah berupaya keras meningkatkan energi terbarukan, Uruguay, negara seluas sekitar 1,5 kali Pulau Jawa, di Amerika Selatan, seakan tinggal memanennya, setidaknya pada sektor ketenagalistrikan. Dengan memanfaatkan sumber energi alam yang ”gratis”, lebih dari 90 persen pasokan listrik mereka dari energi terbarukan. Bahkan, pada tahun-tahun tertentu mencapai 98 persen.
Mengutip laporan Kementerian Industri, Energi, dan Pertambangan Uruguay (MIEM), sepanjang 2022 total pasokan energi secara keseluruhan di negara itu masih didominasi minyak dan produk minyak sebanyak 43 persen, lalu disusul biomassa dengan 39 persen. Setelah itu ada hidro (air) 9 persen, angin 7 persen, serta gas alam dan energi surya (solar) masing-masing 1 persen.
Namun, khusus sektor ketenagalistrikan, energi terbarukan jadi juaranya. Dari total pasokan listrik 2022 sebesar 14.759 gigawatt-jam (GWh), kontribusi hidro mencapai 39 persen, angin 32 persen, termal biomassa 17 persen, termal fosil 9 persen, dan surya 3 persen. Uruguay bahkan mengekspor listrik sebesar 1.416 GWh karena kebutuhan dalam negeri sebesar 13.343 GWh telah terpenuhi.
Bagaimana Uruguay melakukannya?
Kekuatan selalu muncul dalam kondisi terdesak. Mungkin ungkapan itu cocok untuk menggambarkan bagaimana transformasi awal Uruguay, negara yang tidak memiliki cadangan terbukti energi fosil, untuk beralih ke energi terbarukan.
Pada 2008 terjadi krisis energi di Uruguay akibat lonjakan harga minyak mentah yang mencapai 145 dollar AS per barel pada Juli 2008. Sebagai negara pengimpor minyak, kondisi tersebut menjadi masalah. Apalagi, permintaan energi meningkat 8,4 persen dari tahun sebelumnya. Mereka terpaksa mengimpor energi dari negara tetangga dengan harga tinggi. Tak energi fosil, tetapi juga impor listrik.
Di tengah kondisi itu, Ramón Méndez Galain, seorang ilmuwan, juga fisikawan, mencoba mendalami persoalan energi yang ternyata begitu kompleks serta ada pada banyak dimensi. Saat itu, gagasannya ialah negara mesti fokus pada transisi energi dengan target-target ambisius, termasuk pengembangan tenaga angin. Proposal yang ditulisnya ternyata sampai ke meja presiden.
Galain ditawari posisi sebagai Direktur Nasional Energi Uruguay atau setara Secretary of Energy di pemerintahan Amerika Serikat. Ia menerima tawaran tersebut dan segera mengimplementasikan gagasan-gagasan yang ia miliki.
Sekitar 50.000 pekerjaan tercipta dan gagasan transisi energi yang adil, di mana tidak ada satu pun orang tertinggal.
Menurut dia, tantangan terbesar yang dihadapinya ialah mengubah narasi tentang energi terbarukan. Sebab, sebelumnya, banyak miskonsepsi tentang energi berkelanjutan, seperti harganya yang terlalu mahal, terlalu bergantung pada cuaca (intermiten), dan bakal meningkatkan pengangguran. Saat itu, tidak ada yang yakin Galain mampu mewujudkan transisi ke energi terbarukan.
”Saya katakan kepada orang-orang bahwa ini adalah opsi terbaik meskipun mereka tak percaya perubahan iklim itu ada. (Energi terbarukan) ini adalah yang termurah dan tidak bergantung pada fluktuasi (harga minyak) yang gila-gilaan,” ujar Galain, dikutip dari laporan The Guardian, Rabu (27/12/2023).
Dengan penguatan narasi secara nasional, Pemerintah Uruguay saat itu mencoba memengaruhi masyarakat yang skeptis akan energi terbarukan, terutama mengenai akan banyak warga hilang pekerjaan. Hasilnya, sekitar 50.000 pekerjaan tercipta dan gagasan transisi energi yang adil, di mana tidak ada satu pun orang tertinggal, menjadi kebijakan sentral. Terjadilah adaptasi normal baru.
Pendekatan politik
Galain, dalam monolognya pada program TED Talks, yang disiarkan di Youtube, Oktober 2023, menuturkan, saat hasil dari programnya belum sepenuhnya terlihat, pada 2009 dilangsungkan pemilihan umum di Uruguay. Untungnya, José Mujica, sang presiden baru, mempertahankan Galain serta ide-idenya tentang energi terbarukan. Namun, dengan satu syarat: kebijakan itu harus diterima oleh semua partai politik.
Dengan sabar, Galain dan timnya bernegosiasi dengan semua perwakilan parpol di Parlemen Uruguay. Kebijakan transisi ke energi terbarukan itu akhirnya diterima meski ada beberapa perubahan minor.
”Kebijakan jangka panjang yang didukung oleh seluruh sistem politik Uruguay adalah hal krusial guna meraih kemajuan pesat,” ujarnya.
Baca juga: Transisi Energi Hadapi Tantangan Pendanaan dan Transfer Teknologi
Selain dukungan politik, transformasi itu juga membutuhkan model bisnis baru yang berbeda dengan model bisnis pembangkitan pada umumnya di dunia. Itu, antara lain, basis kontrak jangka panjang. Itu dihasilkan dari permodelan optimasi sumber-sumber energi terbarukan mana yang terbaik agar dapat menekan biaya secara keseluruhan.
Tanpa menggunakan teknologi sistem penyimpanan (storage system), intermiten nyatanya menjadi raja di sektor pembangkitan Uruguay. Selain kematangan perencanaan dan inovasi, fleksibilitas menjadi salah satu kunci dalam pengembangan energi terbarukan di Uruguay.
Tenaga angin dan surya menjadi yang utama dalam pembangkitan listrik di Uruguay. Pasokan pembangkit hidro dimanfaatkan hanya jika tidak ada matahari atau angin. Sebagai jaminan jika semua terkendala, pembangkit lain, seperti turbin gas (pembangkit listrik tenaga gas), juga siap bekerja. Menurut Galain, dalam kondisi tertentu saat energi terbarukan tak bisa dioptimalkan, pembangkit fosil bisa dimanfaatkan paling banyak 6-7 persen sepanjang tahun.
Pemanfaatan berkah alam itu membawa dampak positif bagi perekonomian karena total biaya untuk memproduksi listrik sepanjang tahun telah terpangkas hampir separuhnya, dari 1,1 miliar dollar AS menjadi 600 juta dollar AS. ”Tidak mengejutkan, karena energi terbarukan adalah opsi termurah saat ini,” ujarnya.
Fleksibilitas
Galain menyadari, banyak orang yang menyebut transformasi bisa dilakukan karena Uruguay sejatinya bukan negara besar dan penduduknya ”hanya” 3,4 juta jiwa. Namun, ia menekankan, meski setiap negara memiliki tantangan dan caranya sendiri dalam mengembangkan energi terbarukan, apa yang telah dilakukan di Uruguay bisa direplikasi oleh negara mana pun.
”Yang utama dibutuhkan bukan besarnya kapasitas tenaga angin, tetapi sistem yang jauh lebih fleksibel, dengan model pembagian (dispatch) yang baru dan model pasar (market) yang baru,” kata Galain, yang bertahan pada posisinya hingga tahun 2015.
Baca juga: Transisi Energi dan Peningkatan Kapasitas Energi Terbarukan
Dengan sejumlah upaya konsisten, Uruguay pun mampu menurunkan porsi energi fosil dalam bauran ketenagalistrikan mereka dari 50 persen menjadi 2 persen saja (dalam kondisi optimal bagi energi terbarukan). Penambahan signifikan pada angin yang sebelumnya tidak ada menjadi 30-40 persen.
Salah satu pengembangan Uruguay berikutnya ialah hidrogen hijau. Pada 15 November 2023, Pemerintah Uruguay mulai mempresentasikan strategi sektor hidrogen hijau beserta turunannya hingga 2040. Selain akan meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi, diharapkan juga bakal semakin mengurangi ketergantungan akan impor energi fosil.
Wakil Menteri Perindustrian, Energi, dan Pertambangan Uruguay, Walter Verri, menuturkan, langkah selanjutnya ialah pembicaraan terkait kapasitas pembangkit, regulasi, investasi, infrastruktur, dan dialog dengan masyarakat. ”Tak perlu diragukan lagi, hidrogen hijau ialah sesuatu yang harus dikembangkan bersama karena memiliki potensi yang sangat besar,” ujarnya dalam Laporan Makroekonomi oleh Kementerian Ekonomi dan Keuangan Uruguay, November 2023.
Negara-negara lain juga sedang berupaya melakukan transisi energi dalam rangka menyikapi perubahan iklim. Salah satunya Indonesia, yang memiliki potensi 3.600 GW energi terbarukan (didominasi surya). Namun, hingga akhir 2023, implementasinya jauh dari target.
Energi terbarukan dalam bauran energi primer baru mencapai 13,1 persen atau masih jauh dari target 2025 yang sebesar 23 persen. Dalam bauran sektor ketenagalistrikan, energi terbarukan plus bahan bakar nabati/BBN baru 13,15 persen atau menurun dari 2022 yang 14,12 persen. Tak dimungkiri, batubara masih dominan dalam pasokan kelistrikan Indonesia, yakni sebesar 67,66 persen.
Bagaimanapun, dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang berbeda, serta ketersediaan cadangan energi yang dimiliki, tantangan yang dihadapi Uruguay jelas berbeda. Namun, apa yang disampaikan Galain pada TED Talks boleh jadi relevan.
”Ada rumusan spesial. (Untuk mewujudkan pengembangan energi terbarukan) Anda harus memiliki kepemimpinan yang kuat, juga kemauan politik yang kuat untuk bergerak ke depan. Pesan terpentingnya sederhana. Energi terbarukan bukan lagi sekadar solusi untuk krisis iklim, tetapi juga menciptakan sistem kelistrikan yang kuat, kokoh, dan andal,” ucapnya.