Penggunaan Dana Pungutan Wisatawan Asing ke Bali Hendaknya Transparan
Apabila menggunakan basis jumlah kunjungan pada 2023, potensi penerimaan dari pungutan ini mencapai Rp 795 miliar.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak mendukung langkah pemerintah memungut Rp 150.000 bagi wisatawan asing yang datang ke Bali. Namun, mereka menanti transparansi serta pengawasan ketat atas penggunaan dana ini agar tepat guna.
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi Bali baru saja meresmikan pungutan bagi wisatawan mancanegara atau asing sebesar Rp 150.000, setara 10 dollar AS pada Senin (12/2/2024). Hasil pungutan ini akan menjadi fondasi dan basis pelindungan alam, lingkungan, dan budaya Bali. Harapannya, upaya tersebut dapat meningkatkan daya tarik, nilai tambah, serta kekuatan pariwisata Bali.
Apabila menggunakan basis jumlah kunjungan pada 2023, potensi penerimaan dari pungutan ini mencapai Rp 795 miliar. Penghitungan itu didasarkan pada jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali sepanjang 2023 yang mencapai 5,3 juta pengunjung. Angkanya meningkat 144,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meski belum dapat menyentuh angka kunjungan pada prapandemi Covid-19 pada 2019 yang mencapai 6,3 juta pengunjung, trennya diprediksi akan meningkat.
Pungutan itu mulai ditarik pada wisatawan asing yang datang mulai Rabu (14/2/2024). Sejumlah dana sudah diterima dari wisatawan yang memesan tiket kedatangan sejak jauh-jauh hari. Hingga Senin (12/2/2024), dana yang masuk ke rekening kas umum daerah Bali mencapai Rp 1,4 miliar.
”Itu karena banyak yang booking, jadi sudah bayar duluan,” kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Perry Markus saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (13/2/2024). Ia menyampaikan mendukung kebijakan baru ini sebab dilandasi dengan peraturan daerah.
Perry mengatakan, guna bersaing dengan negara lain, baik dari sisi pelayanan maupun destinasi, Bali memang butuh dana untuk perbaikan. Selama sosialisasi dilakukan dengan baik, para tamu akan memahami dan mendukung pungutan itu demi pariwisata berkelanjutan.
”Kalau tujuan berwisata memang baik, enggak ada pengaruhnya (dengan ketertarikan datang ke Bali). Karena membayar itu justru bisa dipandang positif, kalau keberatan justru patut dipertanyakan apakah mereka punya uang atau tidak. Nilai Rp 150.000 itu, kan, kecil buat mereka,” tutur Perry.
Hal senada diutarakan Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana, Bali, I Gede Pitana. Ia mengemukakan, kebijakan ini merupakan cara untuk melestarikan kebudayaan Bali, termasuk pembinaan dan pembiayaannya.
Rencana semacam itu sebenarnya telah diusulkan sejak 1999, tetapi tak terlaksana karena terbentur kebijakan lain yang melarang daerah memungut apa pun, selain yang tercantum dalam undang-undang. Dalam perjalanannya, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pungutan bagi Wisatawan Asing untuk Pelindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali akhirnya terbentuk. Hal ini tak terlepas kerja sama badan eksekutif dan legislatif daerah yang didukung pemerintah pusat.
”Saya berharap ini akan bagus hasilnya dan Rp 150.000 itu hanya sekitar 10 dollar AS, less than your breakfast (kurang dari biaya sarapanmu). Karena yang dipungut adalah wisatawan dari luar negeri,” kata Gede.
Ia menambahkan, modal dasar pariwisata Bali adalah kebudayaan yang unik, indah, dan otentik. Berbeda dengan daerah penghasil batubara, kayu, atau hasil alam lain yang dapat diekspor sehingga mendapat pemasukan, Bali tak dapat seperti itu. Dari sektor pariwisata, tak ada penerimaan yang bisa dikantongi.
”Padahal masyarakat Bali menginvestasikan begitu banyak dana tiap hari, tiap bulan untuk memelihara kebudayaan, baik berupa upacara, pelestarian kesenian, dan sebagainya,” ujar Gede.
Gede mengatakan, pungutan ini berperan sebagai filter untuk melakukan kontrol terhadap kualitas pariwisata. Kualitas ini dapat diukur dengan beragam indikator, yakni lama tinggal, pengeluaran, perhatian terhadap budaya lokal, perhatian terhadap alam, serta etika.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno meyakini, pungutan Rp 150.000 bagi para wisatawan mancanegara akan berdampak positif bagi Bali. Sebab, landasan teknokrasi kebijakan baru ini dinilainya kuat, yakni untuk menangani sampah dan melestarikan budaya Bali.
Ia menekankan, pungutan ini bukan pajak. Hanya saja, penarikan dana ini tetap berlandasan hukum. Selain Perda Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023, payung hukum lain yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali serta Peraturan Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pembayaran Pungutan bagi Wisatawan Asing.
”Jadi, jangan sampai memberatkan, jangan sampai membuat (kompleks) sudah ribet mengurusnya, terus akhirnya malah jadi beban yang berdampak negatif pada pariwisata Bali,” ujar Sandiaga di Gedung Kemenparekraf, Senin.
Jangan digunakan selain untuk alam, budaya, dan pariwisata.
Fokus yang perlu dipikirkan saat ini, bagaimana masyarakat dan stakeholder bisa mengontrol dana hasil pungutan ini. Dana yang harus digunakan untuk pengembangan kebudayaan dan pelestarian alam guna mendukung pariwisata.
”Jangan dibuat bangun lain-lain, jangan digunakan selain untuk alam, budaya, dan pariwisata. Itu harus dikontrol oleh masyarakat,” katanya.
Seperti diketahui, wisatawan mancanegara wajib membayar pungutan Rp 150.000 secara elektronik (nontunai) sebelum memasuki pintu kedatangan di Bali. Pengunjung dapat mengakses aplikasi atau situs lovebali.baliprov.go.id. Pembayaran bisa dilakukan melalui transfer bank, akun virtual, atau QRIS.
Pembayaran nontunai dapat diterima di meja pembayaran di bandara atau pelabuhan di Bali. Agen perjalanan wisata, pengusaha akomodasi, serta pengelola daya tarik wisata juga bisa menerima pembayaran ini melalui sistem lovebali. Setelah pembayaran berhasil dilakukan, wisatawan akan menerima kode batang (barcode)atau tanda resmi dari pemerintah provinsi.
Pungutan ini tak berlaku bagi tujuh kelompok. Di antaranya, pemegang visa diplomatik dan visa dinas; awak atau kru maskapai moda transportasi; pemegang Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) serta Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap); pemegang visa penyatuan keluarga; serta pemegang golden visa atau visa APEC Business Travel. Permohonan pengecualian perlu diajukan melalui aplikasi atau situs lovebali selambatnya lima hari sebelum masuk ke Bali (Kompas.id, 7/2/2024).