Bansos, dari Rakyat untuk Rakyat
Bansos bukan bantuan dari presiden, melainkan berasal dari uang pajak rakyat yang diputuskan oleh semua entitas parpol.
Akhir-akhir ini, wajah cemberut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati viral di media sosial. Di video yang tersebar, ia tampak berdiri di samping Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang sedang mengumumkan penyaluran Bantuan Langsung Tunai atau BLT Mitigasi Risiko Pangan, program bantuan sosial yang mendadak muncul menjelang pemilu.
Airlangga, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, partai pendukung pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menjelaskan, bantuan sosial (bansos) baru itu akan dibagikan untuk tiga bulan selama Januari-Maret 2024. Namun, penyalurannya akan ”dirapel” sekaligus pada bulan Februari. Besarannya Rp 600.000 per keluarga penerima manfaat (KPM).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Selama Airlangga berbicara, raut wajah Sri Mulyani tampak kesal. Berbeda dari menteri dan pimpinan lembaga negara lain yang hadir dalam konferensi pers bansos, 29 Januari 2024 lalu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu tidak tersenyum atau ”manggut-manggut” menganggukkan kepala tanda setuju.
Baca juga: Bansos "Digoreng" Dadakan, Uangnya dari Mana?
Ekspresi Sri Mulyani dapat dipahami. Bisa dibilang, ia adalah sosok yang paling pusing saat ini. Selaku bendahara negara, ia tiba-tiba harus ”mencarikan” sumber anggaran untuk mendanai BLT Pangan. Pasalnya, sampai sekarang, asal-usul anggaran untuk program bansos baru itu tidak jelas karena belum direncanakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Bukan hanya sumber anggaran yang penuh tanda tanya, momentum pembagian bansos BLT Pangan yang direncanakan disalurkan sekaligus menjelang hari pemungutan suara 14 Februari 2024 itu juga memancing curiga.
Berbagai kalangan mengecam potensi bansos diklaim oleh pihak tertentu dan dijadikan alat kampanye untuk memenangkan Prabowo-Gibran di pilpres. Apalagi, belakangan ini, Presiden Joko Widodo, ayah Gibran, terang-terangan ”turun gunung” untuk berkampanye dan membagi bansos.
Heboh BLT Pangan bukan kali pertama dugaan ”aji mumpung” bansos muncul. Sebelumnya, gelagat politisasi bansos untuk memenangkan pasangan capres-cawapres tertentu sudah mulai muncul sejak akhir Desember 2023.
Saat itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (pendukung Prabowo-Gibran) berkampanye di Kendal, Jawa Tengah. Ia mengklaim bansos dan BLT diberikan oleh Presiden Jokowi sehingga rakyat mesti mendukung putra Jokowi, Gibran, yang maju sebagai cawapres Prabowo.
Instrumen APBN
Lantas, bansos itu sebenarnya bantuan dari siapa? Dari mana sumber dana yang dipakai untuk mendanai bansos? Di tengah hiruk pikuk politisasi bansos, penting untuk menyadari asal-usul anggaran yang digunakan untuk bansos agar publik tidak mudah terkesima oleh akrobat politik para elite.
Selama ini, meski bisa fleksibel, tata kelola APBN selalu dipastikan berjalan sehat dan transparan.
Pendanaan bansos pada dasarnya berasal dari APBN. APBN, alias kas negara, mendapat pemasukannya dari uang pajak yang dibayarkan oleh rakyat yang mampu membayar pajak. Pendapatan dari pajak itu yang kemudian disalurkan kepada rakyat tidak mampu melalui program-program bansos di bawah anggaran perlindungan sosial (perlinsos).
Dalam APBN 2024, anggaran perlinsos tersebut sudah dialokasikan sebesar Rp 496,8 triliun. BLT Pangan tidak termasuk dalam rincian bansos yang sudah dianggarkan tersebut. Sebab, APBN hanya menganggarkan program bansos rutin yang selama ini dikucurkan pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Kartu Sembako, dan BLT Desa.
Dengan kata lain, bansos adalah bentuk bantuan perlindungan sosial dari negara yang dananya bersumber dari rakyat sendiri. Bukan dari kantong elite atau partai politik tertentu. Proses perencanaannya pun sudah dibahas dan diputuskan bersama oleh semua partai di Dewan Perwakilan Rakyat. Bukan oleh pemerintah sendiri, ataupun partai politik tertentu di DPR.
Proses penyusunan APBN yang digunakan untuk mendanai bansos itu pun tidak ujug-ujug terjadi dalam waktu instan. Rancangan APBN (RAPBN) dibahas dan ditetapkan setiap tahun secara terbuka oleh pemerintah dan semua fraksi partai politik di DPR.
Pembahasannya selalu dimulai setahun sebelum anggaran itu dilaksanakan dan harus sesuai dengan rencana kerja pemerintah yang disusun oleh tiap kementerian/lembaga. Untuk konteks APBN 2024, misalnya, pembahasannya sudah mulai dibahas sejak Mei 2023. RAPBN itu kemudian disahkan menjadi APBN pada September 2023, sebelum siklus pemilu dimulai.
Baca juga: Sekelumit Cerita tentang Bansos dari Era SBY hingga Jokowi
Itulah mengapa program bansos seperti BLT Pangan yang tiba-tiba muncul di luar perencanaan APBN menjadi problematik. Sebab, selama ini, meskipun bisa fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan, tata kelola APBN selalu dipastikan berjalan sehat dan transparan.
Kalaupun ada program atau kebijakan yang mendadak dikeluarkan dan butuh pendanaan, alasannya kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, kebutuhan yang bersifat genting karena adanya bencana alam, pandemi Covid-19, atau dinamika kondisi ekonomi yang tidak stabil dan butuh diredam lewat APBN sebagai shock absorber.
Alat politik
Gelagat pemerintah saat ini diduga merupakan bagian dari siklus bisnis politik ataupolitical business cycle. Mengutip buku Redefining Capitalism in Global Economic Development oleh Kui-Wai Li pada 2017, istilah itu mengacu pada aktivitas dan kebijakan ekonomi yang kerap digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.
Praktik seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara maju, bentuk dari strategi itu adalah pemangkasan tarif pajak sebelum pemilu oleh pemerintah (calon petahana) demi menaikkan citra dan elektabilitas.
Dalam contoh lebih ekstrem, calon petahana juga bisa membiarkan pertumbuhan ekonomi turun pada 2-3 tahun pertama menjabat. Berikutnya, mengeluarkan gebrakan kebijakan reformasi yang bisa mendongkrak ekonomi menjelang pemilu untuk menunjukkan rapor kinerja yang baik.
Aktivitas dan kebijakan ekonomi yang kerap digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.
Di Indonesia dan negara berkembang lain yang tingkat kemiskinannya tinggi, praktik bagi-bagi bansos menjelang pemilu selalu menjadi strategi jitu untuk menarik suara dari rakyat kecil yang merupakan ceruk pemilih besar.
Tren itu juga selalu terulang di setiap pemilu. Berdasarkan kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), menjelang perhelatan pemilu, kebijakan fiskal memang selalu lebih ekspansif daripada biasanya.
Hal itu ditandai dengan peningkatan nilai belanja negara untuk mengeksekusi program dengan visibilitas tinggi, seperti belanja bantuan sosial dan subsidi, pada APBN dan APBN Perubahan menjelang Pemilu 2014 dan 2019.
Pada tahun 2013, misalnya, menjelang Pemilu 2014, realisasi belanja bansos naik menjadi 111,7 persen, dan pada tahun 2014 mencapai 101,31 persen dari target. Tren serupa terulang lagi di tahun 2018 dan 2019 ketika realisasi belanja bansos naik menjadi 103,71 persen dari target pada 2018 dan menjadi 110,21 persen pada 2019.
Lepas dari siklus tren tersebut, mengutip kata-kata Sri Mulyani belakangan ini, rakyat perlu tahu dari mana asal-usul uang yang dipakai untuk menyalurkan bansos. Dengan demikian, rakyat tidak perlu terus-menerus tertipu oleh pertunjukan politik dan populisme yang muncul sesaat setiap lima tahun sekali.