logo Kompas.id
EkonomiSekelumit Cerita tentang...
Iklan

Sekelumit Cerita tentang Bansos dari Era SBY hingga Jokowi

Bantuan sosial rawan digunakan untuk ambisi politik pribadi ataupun kelompok tertentu.

Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
· 6 menit baca
Warga penerima manfaat bantuan pangan menanti kedatangan Presiden Joko Widodo yang akan menyerahkan bantuan tersebut di Gudang Bulog Meger, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (31/1/2024). Bantuan berupa beras sebanyak 10 kilogram itu akan diberikan setiap bulan mulai dari Januari hingga Juni.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Warga penerima manfaat bantuan pangan menanti kedatangan Presiden Joko Widodo yang akan menyerahkan bantuan tersebut di Gudang Bulog Meger, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (31/1/2024). Bantuan berupa beras sebanyak 10 kilogram itu akan diberikan setiap bulan mulai dari Januari hingga Juni.

Beberapa pekan terakhir, kata ”bansos” alias bantuan sosial sedang ramai diperbincangkan publik. Bansos menjadi salah satu kata yang paling banyak dicari dalam konten-konten media.

Perjalanan bansos dari masa ke masa, dari rezim demi rezim, sangat dinamis. Ada banyak cerita seputar bansos, mulai dari penggunaannya untuk korupsi, kampanye politik di televisi, sampai personalisasi penyaluran untuk menggenjot potensi elektoral.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Baca juga: Bansos dan Kenaikan Gaji Jelang Pemilu Dinilai Bernuansa Politis

Satu hal yang menjadi benang merah bansos, anggarannya terus menggelembung setiap tahun. Apalagi setiap menjelang pemilihan umum (pemilu) nasional ataupun daerah, alokasinya meroket fantastis.

Pada 2013, misalnya, alokasi bantuan sosial pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senilai Rp 73,6 triliun. Dua dekade kemudian, alokasinya menggelembung menjadi Rp 443,4 triliun. Artinya, selama kurun waktu 20 tahun, anggaran bansos melonjak enam kali lipat.

Presiden Joko Widodo membagikan bansos kepada peternak kerbau di Desa Werwaru, Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Kamis (15/9/2022).
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN

Presiden Joko Widodo membagikan bansos kepada peternak kerbau di Desa Werwaru, Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Kamis (15/9/2022).

Sebatas atribusi

Menelusuri arsip harian Kompas yang dokumentasinya sudah terentang sejak 1965, pemberitaan menggunakan istilah bansos setidaknya telah muncul sejak era Orde Baru. Namun, jumlah pemberitaannya saat itu masih sangat minim.

Istilah bansos pun kebanyakan melekat sebagai atribusi pejabat pemerintah setingkat eselon 1 atau 2. Misalnya, Direktur Jenderal Bina Bantuan Sosial Kementerian Sosial yang muncul pada pemberitaan berjudul ”Dirjen Bina Bantuan Sosial: Tapornas Bukan Pengganti SDSB” per 23 Mei 1995.

Baca juga: Jorjoran Bansos, Saat Uang Rakyat Dipolitisasi

Pada masa itu, bantuan pemerintah kepada masyarakat miskin atau korban bencana alam biasanya disebut ”bantuan” saja. Di luar atribusi pejabat, tidak ditemukan pemberitaan dengan diksi bantuan sosial atau bansos.

Kebanyakan berita terkait bansos sebatas dalam konteks penyalurannya kepada masyarakat korban bencana alam dan masyarakat miskin atau rentan. Ini mulai banyak muncul pada akhir 1990-an.

Presiden Joko Widodo bersilaturahmi dengan para peserta program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) binaan Permodalan Nasional Madani pada Senin (29/1/2024) di Stadion Gemilang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Presiden mengungkapkan perasaan gembira karena dapat kembali bertemu dengan para peserta program Mekaar.
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/KRIS

Presiden Joko Widodo bersilaturahmi dengan para peserta program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) binaan Permodalan Nasional Madani pada Senin (29/1/2024) di Stadion Gemilang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Presiden mengungkapkan perasaan gembira karena dapat kembali bertemu dengan para peserta program Mekaar.

Terkait korupsi

Pasca-Orde Baru, persisnya sepuluh tahun pertama pascareformasi politik 1998, istilah bansos belum banyak digunakan. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014), program spesifiknya yang lebih sering disebut, misalnya raskin atau bantuan beras untuk rakyat miskin dan bantuan langsung tunai atau BLT.

Baru pada 2007, muncul sejumlah artikel dalam arsip harian Kompas menggunakan istilah bansos. Misalnya, berita berjudul ”Sidang Korupsi: Dana Bantuan Sosial Digunakan oleh Bupati”. Berita per 26 September 2007 itu mengabarkan tentang dana bansos Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, senilai Rp 2,7 miliar yang digunakan Bupati Kutai Kartanegara (nonaktif) Syaukani Hassan Rais.

Baca juga: Tanggapi Tudingan Politisasi Bansos, Presiden Jokowi Sebut Sudah Melalui Persetujuan di DPR

Konten menggunakan istilah bansos lainnya dalam arsip harian Kompas pada 2007 adalah surat pembaca per 8 November 2007. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Pertanian Suprahtomo memberikan tanggapan terhadap surat pembaca sebelumnya sekaligus mengklarifikasi tentang bantuan Presiden kepada petani pada acara panen perdana di Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Sejak 2007, berita-berita dengan istilah bansos, meskipun belum terlalu banyak, sudah mulai bermunculan. Kebanyakan kontennya didominasi berita terkait dugaan korupsi. Mayoritas terduga kasus korupsinya adalah pejabat daerah.

Antrean warga saat akan mendapatkan bantuan sembako murah Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus di Kantor Kelurahan Kramatjati, Jakarta Timur, Senin (29/1/2024). Penerima sembako murah ini mendapatkan beras, daging sapi, telur ayam, ikan kembung, dan susu seharga Rp 126.000.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Antrean warga saat akan mendapatkan bantuan sembako murah Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus di Kantor Kelurahan Kramatjati, Jakarta Timur, Senin (29/1/2024). Penerima sembako murah ini mendapatkan beras, daging sapi, telur ayam, ikan kembung, dan susu seharga Rp 126.000.

Petahana maju lagi

Pada 2007 pula, sejauh penelusuran arsip harian Kompas, muncul artikel pertama terkait bansos yang diduga digunakan untuk kampanye pemilu. Saat itu, Presiden Yudhoyono sebagai petahana maju kembali pada kontestasi Pemilihan Umum 2009. Ini merujuk pada berita per 19 Desember 2008 berjudul ”Iklan Sosialisasi Keberhasilan Pemerintah Meningkat”.

Artikel itu menyebutkan, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu diminta mencermati meningkatnya anggaran bantuan sosial di setiap departemen (kini kementerian) yang dapat digunakan untuk kampanye terselubung.

Baca juga: Bansos Oke, Coblos Mah Bebas ”Aja”

Iklan

Anggaran bansos dalam APBN 2009 mencapai Rp 64,78 triliun. Setiap departemen mempunyai anggaran bantuan sosial tersebut.

”Indikasi kampanye terselubung bisa dilihat dari iklan sosialisasi keberhasilan pemerintah dan meningkatnya dana bantuan sosial yang ada di setiap departemen,” kata peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, Kamis (18/12/2008).

Masih mengutip artikel yang sama, peneliti ICW, Firdaus Ilyas, menambahkan, kecenderungan bantuan sosial bisa digunakan untuk kampanye terselubung bukan hanya dalam APBN, melainkan juga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

https://cdn-assetd.kompas.id/pgnYn0If_q8IZiWPzOB6JsTlGTI=/1024x1728/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F04%2F6624c918-2260-4b29-9985-fc132c14e6aa_png.png

KPK turun tangan

Pemilu berlangsung lima tahun sekali. Pemberitaan mengenai bansos terkait dugaan untuk kampanye pun muncul lima tahun sekali. Di luar itu, kebanyakan berita bansos terkait dengan dugaan korupsi.

Bansos marak jadi sasaran korupsi. Sampai-sampai, Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2011 untuk mengatur dana bansos.

KPK sepanjang 2010 saja menerima 98 pengaduan masyarakat terkait penyimpangan penggunaan dana bansos.

Mengutip berita per 9 April 2011 berjudul ”Aturan Dana Bantuan Sosial Ditangani Bersama KPK”, pemerintah selama 2007-2010 menganggarkan bansos senilai Rp 300,94 triliun. Ini terdiri dari Rp 48,46 triliun di tingkat daerah (APBD) dan Rp 252,48 triliun di tingkat pusat (APBN).

KPK sepanjang 2010 saja menerima 98 pengaduan masyarakat terkait penyimpangan penggunaan dana bansos. Sampai Maret 2011, menurut Ketua KPK saat itu, Busyro Muqoddas, enam perkara terkait penyalahgunaan bantuan sosial tengah ditangani.

Warga berbondong-bondong keluar setelah mendapatkan bantuan pangan di Gudang Bulog Meger, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (31/1/2024). Bantuan berupa beras sebanyak 10 kilogram itu akan diberikan setiap bulan mulai dari Januari hingga Juni.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO

Warga berbondong-bondong keluar setelah mendapatkan bantuan pangan di Gudang Bulog Meger, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (31/1/2024). Bantuan berupa beras sebanyak 10 kilogram itu akan diberikan setiap bulan mulai dari Januari hingga Juni.

Ambisi politik

Kisah bansos terus berlanjut. Pada 2011, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggelar audit terhadap bansos. Hasilnya , antara lain, dipaparkan anggota BPK saat itu, Rizal Djalil, pada seminar nasional bertema ”Akuntabilitas Dana Politik di Indonesia: Kini dan Besok” di Jakarta, Senin (28/11/2011).

Intinya, pengalokasian dana bansos dalam APBN dan APBD banyak didesain untuk kepentingan penguasa, baik dari sisi ambisi politik maupun keuntungan pribadi. Salah satu modusnya, dana bansos menggelembung fantastis menjelang pemilu.

Baca juga: Bansos, dari Bantuan Negara hingga Politisasi

Kesimpulan BPK itu didasarkan atas audit parsial terhadap dana bansos periode 2007-2010 dengan akumulasi mencapai Rp 300 triliun. Audit dilakukan BPK atas permintaan kejaksaan dan KPK. BPK menemukan sedikitnya 20 kasus. Sebagian kasus itu telah divonis di pengadilan dan sebagian sedang diproses.

Hasil audit itu menyebutkan, banyak dana bansos digunakan untuk kepentingan penguasa, baik eksekutif maupun legislatif. Modus rekayasa bansos untuk kepentingan penguasa itu, menurut Rizal, adalah dengan menggelembungkan anggarannya menjelang pemilu nasional dan pemilu kepala daerah.

”Orang yang berkuasa dapat mendesain APBD atau APBN untuk kepentingan politik. DPR ditengarai juga terlibat, apalagi jika partai politik asal gubernur, wali kota, atau bupati menjadi mayoritas di legislatif,” ujar Rizal, dikutip dari artikel berjudul ”Dana Dikuasai untuk Kepentingan Penguasa” yang diterbitkan harian Kompas, 29 November 2011.

Presiden Joko Widodo menyerahkan bantuan pangan cadangan beras pemerintah di Gudang Bulog GBB Umbul Tengah, Kota Serang, Banten, Senin (8/1/2024).
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN

Presiden Joko Widodo menyerahkan bantuan pangan cadangan beras pemerintah di Gudang Bulog GBB Umbul Tengah, Kota Serang, Banten, Senin (8/1/2024).

Tembus Rp 500 triliun

Lantas bagaimana dengan bansos era Presiden Jokowi? Bagaimana dengan bansos tahun ini, pada tahun pemilu? Pada dasarnya, program bansos era Presiden Jokowi hanya meneruskan era Presiden Yudhoyono.

Terdapat sejumlah modifikasi, tetapi prinsip dasarnya sama. Wujud bansos dari dulu hingga sekarang hanya terbagi dalam dua program besar, yakni berbentuk barang seperti beras dan uang.

Pada tahun pemilu ini, APBN mengalokasikan sejumlah program bansos reguler. Total nilainya Rp 496,8 triliun untuk sejumlah program. Di antaranya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM), program Kartu Sembako untuk 18,8 juta KPM, dan bantuan langsung tunai (BLT) desa untuk 2,96 juta KPM.

Baca juga: Bansos ”Digoreng” Dadakan, Uangnya dari Mana?

Tidak ada angin, tidak ada hujan, setidaknya yang dirasakan masyarakat, Presiden Jokowi tiba-tiba menginisiasi BLT mitigasi risiko pangan. Nilainya Rp 200.000 per bulan per KPM untuk Januari-Maret 2024.

Penyalurannya akan dilakukan sekaligus sebesar Rp 600.000 pada Februari, mendekati hari pencoblosan pemilu pada 14 Februari 2024. Dengan target sasaran 18,8 juta KPM, total kebutuhan anggarannya Rp 11,25 triliun.

Dengan demikian, total anggaran kebutuhan bansos reguler plus bansos ”dadakan” mencapai Rp 508 triliun. Sebelumnya, November-Desember 2023, pemerintah sudah menggelontorkan BLT El Nino untuk 18,8 juta KPM senilai total Rp 7,52 triliun. Inilah sekelumit cerita bansos dari masa ke masa.

Editor:
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000