Kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan dinilai akan menambah beban biaya hidup masyarakat dan memukul industri properti.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI, DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan terus bergulir agar pemerintah mengkaji ulang kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan. Kenaikan tarif PBB hingga 66,67 persen berpotensi menambah beban biaya masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah, dan memukul industri properti.
Kenaikan tarif PBB diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yakni dalam Pasal 41. Disebutkan, tarif baru PBB ditetapkan maksimal 0,5 persen. Tarif itu naik 66,67 persen dibandingkan dengan sebelumnya, yakni paling tinggi 0,3 persen yang mengacu pada UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Besaran pajak selanjutnya ditentukan oleh tiap-tiap pemerintah daerah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali, saat dihubungi, Rabu (31/1/2024), mengemukakan, kebijakan kenaikan tarif PBB harus disikapi pemerintah secara bijaksana dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian masyarakat yang baru bertahap bangkit pascapandemi Covid-19.
Selama ini, komponen terbesar harga rumah adalah biaya tanah. Kenaikan tarif PBB itu akan berimbas pada kenaikan biaya tanah dan berujung pada kenaikan harga rumah. Kondisi ini akan mengimpit masyarakat dengan penghasilan terbatas dan kelompok muda yang ingin mencari rumah. Mereka terpaksa mencari lokasi yang semakin jauh dari pusat kota agar mendapatkan rumah yang lebih terjangkau. Akibatnya, beban biaya hidup akan bertambah karena ongkos transportasi yang membengkak.
Upaya pemerintah mendorong pendapatan asli daerah (PAD) melalui kenaikan tarif PBB dinilai kontraproduktif dengan target menggerakkan industri properti dan pemenuhan kebutuhan rumah. Pasar perumahan segmen menengah bawah terbukti menopang sektor properti di masa pandemi. Namun, pasar itu juga sangat sensitif terhadap kenaikan biaya dan harga.
”Tarif PBB seharusnya tidak dinaikkan semena-mena, apalagi perekonomian masyarakat baru mulai bangkit dari masa sulit pandemi. Aturan ini perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat,” ujar Daniel.
Daniel menambahkan, skema penetapan nilai PBB yang dikenakan atas 20 persen hingga 100 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) tidak menjamin kenaikan tarif PBB dapat ditekan. Sebab, dasar pengenaan pajak untuk PBB umumnya akan mengacu pada nilai yang lebih tinggi, yakni NJOP atau harga pasar.
Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto menyebutkan, kenaikan tarif pajak hingga 66,67 persen itu akan mengganggu bisnis properti. Apalagi, tanah tersebut dibeli dengan dana sendiri untuk dikembangkan dan kemudian diserahkan kepada pemilik rumah dan pemerintah daerah terkait fasilitas sosial dan fasilitas umum. Selain itu, mayoritas pengembang saat ini masih kesulitan untuk menyelesaikan restrukturisasi utang mereka di bank akibat dampak pandemi Covid-19.
”REI menilai, penerapan kebijakan tarif PBB dalam UU HKPD harus ditunda. Untuk selanjutnya dilakukan kajian ulang yang lebih mendalam dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk menyusun formula insentifnya,” ujar Joko (Kompas, 31/1/2024).
Fleksibilitas
Director of Fiscal Research and Advisory DDTC B Bawono Kristiaji, saat dihubungi terpisah, menilai pengaturan tarif PBB perdesaan dan perkotaan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) perlu dilihat secara holistik. ”Betul bahwa tarif batas atas dinaikkan menjadi 0,5 persen, tapi di sisi lain ada ruang fleksibilitas penyesuaian beban pajaknya,” ujarnya, Rabu.
Bawono berpendapat, melalui skema penetapan nilai PBB yang bisa dikenakan 20 persen hingga 100 persen NJOP, pemerintah daerah tidak bisa berlebihan dalam menetapkan besaran PBB karena dasar pengenaan pajaknya tidak harus 100 persen.
Sebagai contoh, NJOP suatu tanah/bangunan senilai Rp 1 miliar, tapi pemda bisa menetapkan semisal hanya 50 persen dari NJOP sehingga dasar pengenaannya hanya Rp 500 juta. ”Jadi walau tarif batas atas naik, NJOP-nya dapat diberikan keringanan hingga 20 persen saja. Hal ini tidak ditemui dalam UU sebelumnya (UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah),” kata Bawono.
Dalam sudut pandang otoritas fiskal, lanjutnya, perlu dipahami bahwa kemandirian fiskal di daerah belum sepenuhnya tercipta dalam dua dekade desentralisasi fiskal di Indonesia. Sebagai ilustrasi, rata-rata tax ratiodaerah secara nasional hanya 1,1 persen-1,4 persen, jauh di bawah tax ratio pemerintah pusat yang mencapai 10,1 persen.
”Adanya UU HKPD berupaya meningkatkan local taxing power. Terlebih jika kita lihat rata-rata kontribusi PBB bisa mencapai 12 persen secara nasional, atau kontributor terbesar ke-3 dalam penerimaan fiskal,” ujarnya.
Rata-rata tax ratio daerah secara nasional hanya 1,1 persen-1,4 persen.
Kendati demikian, UU HKPD di sisi lain tetap memahami bahwa kondisi tiap wajib pajak berbeda-beda. Oleh karena itu diberikan ruang fleksibilitas bagi pemda untuk menetapkan NJOP antara 20 persen hingga 100 persen dalam perhitungan besaran PBB serta terbukanya ruang untuk memberikan insentif fiskal berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau pembebasan pokok pajak dan/atau sanksinya.
”Koridor pengaturan dlm UU HKPD ini menurut saya sudah baik dan nantinya diserahkan kepada tiap pemda baik atas kebijakan tarif, NJOP, serta mekanisme insentif PBB perdesaan dan perkotaan,” kata Bawono.
Sementara itu, peneliti perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan, jika masyarakat atau dunia usaha merasa keberatan dengan kenaikan tarif maksimal menjadi 0,5 persen, terutama daerah tertentu yang sektor propertinya sedang berkembang, terdapat mekanisme insentif dalam UU HKPD yang dapat digunakan yakni Pasal 40 Ayat 3 terkait perhitungan NJOP. ”Jadi, tarifnya naik tetapi besaran NJOP-nya bisa disesuaikan,” ujarnya.
Dengan begitu, kenaikan tarif dalam UU HKPD akan lebih memenuhi aspek keadilan dan lebih diterima masyarakat. Kelompok muda yang ingin punya rumah pertama kali juga tidak terbebankan. Adapun jika kelompok tarif tertinggi saja yang terdampak kenaikan tarif, maka dampak ke ekonominya akan sangat terbatas.
”Dari sudut pandang otoritas fiskal, kenaikan ini tentunya sebagai instrumen penguatan keuangan daerah. Selama ini masih banyak daerah yang masih bergantung pada pendapatan transfer dari pemerintah pusat,” kata Fajry.
Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat belum memberikan tanggapan terkait polemik kebijakan kenaikan tarif PBB.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Mohammad Zainal Fatah mengemukakan, ”Sebaiknya ke kementerian/lembaga/daerah yang ditugasi menangani urusan PBB saja,” ujarnya, dalam pesan tertulis.