Rencana Kenaikan Tarif PBB Ditolak Sejumlah Kalangan
Kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan dinilai semakin membebani rakyat dalam mengakses hunian.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polemik terus mengalir seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau UU HKPD mulai 5 Januari 2024. Penetapan kenaikan tarif tertinggi Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan atau PBB-P2 hingga 66 persen dikhawatirkan semakin menyulitkan masyarakat untuk menjangkau rumah.
Kenaikan tarif PBB diatur dalam UU tersebut, yakni dalam Pasal 41. Disebutkan, tarif baru PBB ditetapkan maksimal sebesar 0,5 persen. Tarif itu naik 66,67 persen dibandingkan sebelumnya, yakni paling tinggi 0,3 persen yang mengacu pada UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Besaran pajak selanjutnya ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah.
UU HKPD menyebutkan bahwa penyesuaian tarif PBB dilakukan 3 tahun sekali oleh pemerintah daerah. PBB merupakan pajak atas lahan dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. Lahan itu mencakup tanah dan perairan pedalaman, serta laut wilayah kabupaten/kota.
Sejumlah kalangan menilai, ketentuan tarif PBB dalam UU HKPD perlu ditinjau ulang. Besaran kenaikan tarif PBB hingga 66,67 persen bakal memukul industri properti dan semakin menjauhkan masyarakat dalam mengakses kepemilikan rumah.
Ketua Umum Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (HUD Institute) Zulfi Syarif Koto mengemukakan, kebijakan UU HKPD yang, antara lain, mengatur tarif PBB disusun tanpa pernah melibatkan pemangku kepentingan industri properti serta tidak pernah ada sosialisasi. Dampak kebijakan itu dipastikan memukul industri properti yang selama ini berkontribusi 14-16 persen terhadap produk domestik bruto.
Selama ini, produk dari industri properti dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, dari segmen berpenghasilan rendah hingga atas. Kenaikan tarif PBB akan sangat berpengaruh terhadap golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah karena harus membayar biaya PBB yang lebih besar, sedangkan pendapatan belum tentu naik. Kenaikan PBB juga berpotensi memicu kenaikan harga rumah.
Tingginya kenaikan tarif PBB akan membuat masyarakat yang membutuhkan hunian semakin enggan memiliki properti. Produk rumah sewa akan menjadi pilihan. Persoalannya, pengembangan rumah sewa di perkotaan hingga kini masih minim di tengah angka kekurangan rumah yang tinggi, yakni sebanyak 13,6 juta unit.
”Kenaikan tarif PBB berlangsung di tengah ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga lahan dan penyediaan rumah yang terjangkau. Pemerintah tidak konsisten dan tidak memiliki komitmen dalam pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat,” ujar Zulfi saat dihubungi di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Hal senada dikemukakan Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto, pekan lalu. Kenaikan tarif tertinggi PBB akan membuat masyarakat kelompok tertentu, seperti masyarakat berpenghasilan rendah, masyarakat berpenghasilan tidak tetap, pensiunan, dan orang lanjut usia di perkotaan, kesulitan untuk membayar. Dikhawatirkan, banyak di antara mereka yang akhirnya terpaksa menjual rumah atau tanahnya dan pindah ke pinggiran kota. Terlebih, tarif PBB baru itu belum membedakan antara tarif untuk perseorangan (nonbisnis) dan bisnis.
Bisnis properti terdampak
Untuk dunia usaha properti, kenaikan tarif pajak hingga 66,67 persen itu juga sulit ditoleransi. Apalagi, tanah tersebut dibeli dengan dana sendiri untuk dikembangkan dan kemudian diserahkan kepada pemilik rumah dan pemerintah daerah terkait fasilitas sosial dan fasilitas umum. Selain itu, mayoritas pengembang saat ini masih kesulitan untuk menyelesaikan restrukturisasi utang mereka di bank akibat dampak pandemi Covid-19.
”REI menilai, penerapan kebijakan tarif PBB dalam UU HKPD harus ditunda. Untuk selanjutnya dilakukan kajian ulang yang lebih mendalam dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk menyusun formula insentifnya,” tegas Joko.
Sementara itu, CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda saat dihubungi, Selasa, mengemukakan, kenaikan tarif tertinggi PBB dari 0,3 persen menjadi 0,5 persen memberatkan konsumen dan pelaku bisnis properti. Kenaikan itu juga akan mendongkrak harga rumah menjadi semakin tinggi lagi.
Sejak Indonesia merdeka pada 1945 sampai dengan pengaturan terakhir mengenai PBB pada 2022, pengaturan itu telah berganti sebanyak sepuluh kali atau rata-rata berganti setiap tujuh tahun sekali.
Menurut Ketua Pembina Yayasan Universitas Pancasila Siswono Yudo Husodo, negara atau daerah yang sehat adalah yang biaya pembangunan dan pengelolaannya bersumber dari pajak masyarakat. Namun, PBB rumah adalah pajak terhadap tempat tinggal, seharusnya sangat rendah. Pengenaan pajak dinilai jangan sampai membebani kehidupan masyarakat. Seharusnya pajak itu cerminan dari berputarnya kegiatan ekonomi (Kompas, 19/5/2022).
”Kita harus mendorong ekonomi berputar lebih cepat agar penerimaan pajak bisa meningkat seperti diharapkan. Kita perlu belajar dari sejarah empiris perekonomian banyak negara yang agar perekonomian berputar lebih cepat, tarif pajak justru diturunkan, tetapi penerimaan negara justru meningkat,” ujar Siswono, yang juga pernah menjabat Menteri Negara Perumahan Rakyat periode 1988-1993.