Pemerintah menaruh perhatian terhadap keluhan biaya penempatan yang tinggi. Kredit usaha rakyat bisa jadi solusi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Biaya total penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri masih dinilai tinggi, yaitu berkisar Rp 21 juta- Rp 30 juta per orang. Komponen biaya terbesar adalah untuk pelatihan dan pendidikan kerja.
Hal itu tercantum dalam laporan studi ”Empowering Migrants: Feasibility Study of Innovative Financing Mechanism on Migration” oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia. Laporan ini dirilis Kamis (25/1/2024), di Jakarta.
Technical Analyst for Innovative and Sustainable Finance, Innovative Financing Lab UNDP Greget Kalla Buana mengatakan, rata-rata biaya total penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri yang masih tergolong tinggi membuat calon pekerja migran Indonesia harus berjibaku mencari sumber pendanaan. Selama studi yang di antaranya dilakukan di Mataram (Nusa Tenggara Barat) dan Makassar (Sulawesi Selatan) sejak Juli 2023, calon pekerja migran umumnya masih memakai sumber pembiayaan tradisional yang cenderung kaku. Misalnya, berutang kepada rentenir.
Akibatnya, sejumlah orang yang bisa berangkat dan bekerja di luar negeri harus menyisihkan pendapatan untuk membayar utang. Rendahnya literasi keuangan membuat di antara mereka dan keluarganya tidak bisa mengelola remitansi dengan baik.
”Sebanyak 60 persen dari pekerja migran Indonesia merupakan perempuan. Mereka mendapatkan beban ganda ketika bekerja ke luar negeri, apalagi jika bekerja di sektor informal. Untuk membiayai kebutuhan keberangkatan, masih ada sejumlah lembaga keuangan yang mewajibkan pekerja perempuan harus izin suami dulu,” ujar Greget.
Analis Kebijakan Ahli Pertama Kedeputian Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Isniati Hidayah, yang turut hadir saat peluncuran laporan studi UNDP itu, mengatakan, pemerintah telah menaruh perhatian terhadap keluhan biaya penempatan calon pekerja migran yang dirasa tinggi. Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah adalah kredit usaha rakyat (KUR) khusus pekerja migran Indonesia.
Mekanisme KUR khusus pekerja migran Indonesia saat ini yaitu plafon disesuaikan dengan estimasi total biaya keberangkatan sesuai dengan negara tujuan. Sebagai contoh, total biaya keberangkatan ke Uni Emirat Arab bisa mencapai Rp 100 juta per orang. Maka, plafon KUR yang diterima calon pekerja migran Indonesia ke negara itu adalah Rp 100 juta.
”Kepastian pekerja migran bisa melunasi KUR menjadi tantangan utama,” kata Isniati.
Pada 2024, alokasi KUR secara nasional mencapai Rp 300 triliun. Sekitar 1 persen dari total alokasi KUR nasional itu merupakan KUR khusus pekerja migran Indonesia.
Dia menambahkan, KUR khusus pekerja migran Indonesia tetap dilanjutkan karena untuk menutup kesenjangan besarnya nilai biaya pemberangkatan dan potensi remitansi. Pemerintah juga memberikan subsidi bunga KUR.
Sementara itu, menurut Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani, pemberi kerja seharusnya diinformasikan mengenai komponen biaya apa saja yang harus dibebankan dan mekanisme pembayaran yang mereka harus lakukan. Selama ini, KUR dipergunakan seakan-akan gratis karena seluruh biaya penempatan dibayar pemberi kerja melalui KUR, tetapi pekerja migran sebagai penjamin.
”Dengan kata lain, pekerja migran yang lebih dulu membayar KUR dan ini yang diajukan reimburse ke pemberi kerja. Akan tetapi, pola relasi pekerja dan majikan tidak selalu harmonis. Akibatnya, pekerja harus mencicil komponen biaya pemberangkatan melalui KUR dan gajinya masih dipotong majikan untuk biaya lain yang tidak tertebak,” ungkapnya.
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, setiap orang dilarang membebankan komponen biaya penempatan yang telah ditanggung calon pemberi kerja kepada calon pekerja migran Indonesia. Sejalan dengan amanat ini, lahir Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) No 9/2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia, yang kemudian diubah menjadi Peraturan BP2MI No 1/2021 tentang Perubahan Atas Peraturan BP2MI No 9/2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Ada sepuluh jabatan pekerja migran Indonesia yang dibebaskan biaya penempatan. Sepuluh jabatan yang dimaksud yaitu pengurus rumah tangga, pengasuh bayi, pengasuh orang lanjut usia (lansia), juru masak, sopir keluarga, perawat taman, pengasuh anak, petugas kebersihan, petugas ladang atau perkebunan, dan awak kapal perikanan migran.
Setidaknya, ada 14 komponen biaya penempatan yang dibebaskan untuk sepuluh jabatan itu. Mialnya, tiket keberangkatan dan kepulangan, visa kerja, pelatihan kerja, dan sertifikat kompetensi kerja. Menurut Savitri, apabila ketentuan ini ditegakkan, biaya penempatan akan menurun.
”Kami selalu mendorong agar total biaya penempatan bisa ditekan serendah mungkin. Biaya komponen pelatihan kerja memang berkontribusi paling besar. Belum semua pemerintah daerah mau aktif menganggarkan pelatihan kerja buat pekerja,” katanya.