Percaloan Pengurusan Paspor untuk Pekerja Migran Ilegal Masih Terjadi
Ombudsman Perwakilan NTB menemukan dugaan praktik calo paspor di Unit Layanan Paspor Lombok Timur. Praktik itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait untuk pengiriman pekerja migran ilegal.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Ombudsman Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam investigasinya menemukan praktik percaloan dalam pembuatan paspor dengan harga jauh dari harga resmi pemerintah. Dalam investigasi itu, ombusdman juga menemukan pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan itu untuk bisa mengirim orang bekerja keluar negeri dengan motif sebagai pelancong, umrah, juga motif melanjutkan studi ke luar negeri.
Koordinator Investigasi sekaligus Kepala Keasistenan Pemeriksa Laporan Ombudsman Perwakilan Provinsi NTB Arya Wiguna, Rabu, (3/8/2022) mengatakan, hasil investigasi atas prakarsa sendiri itu dilakukan selama dua bulan, yakni Juni-Juli di Unit Layanan Paspor (ULP) Lombok Timur.
“Kami investigasi dua bulan untuk mengumpulkan data ke masyarakat selaku pengguna layanan dan investigasi tertutup di Unit Layanan Paspor Lombok Timur. Dari situ, kami menemukan berbagai hal,” kata Arya.
Temuan itu, kata Arya, adalah praktek percaloan dengan membayar Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta per orang atau jauh dari harga resmi pemerintah Rp 350.000. Masyarakat yang menggunakan jasa itu bisa mendapatkan paspor tanpa prosedur yang ada. Misalnya melewati mekanisme antrean, tidak perlu mengisi aplikasi mobile paspor atau M-Paspor.
”Selain itu, ada pelayanan di luar jam kerja, yakni jam 6 sudah dilayani. Map dipisahkan antara yang menggunakan calo dengan masyarakat yang mengurus sendiri,” kata Arya.
Arya mengatakan, selain merusak prosedur standar operasi (SOP) di ULP Lombok Timur dan membuat masyarakat harus membayar biaya sangat tinggi, juga terbuka celah untuk pekerja migran nonprosedural. Dalam investigasi itu, pihaknya bertemu warga yang memang memanfaatkan calo paspor untuk bekerja keluar negeri secara nonprosedural.
”Ada pihak-pihak yang memanfaatkan itu untuk bisa mengirim orang bekerja keluar negeri dengan motif sebagai pelancong, umrah, juga motif melanjutkan studi ke luar negeri,” kata Arya.
NTB hingga saat ini masih menjadi salah satu kantong pekerja migran Indonesia. Tidak hanya pekerja migran prosedural, tetapi juga nonprosedural. Maraknya pekerja migran nonprosedural karena berbagai hal, salah satunya praktik calo paspor yang diduga masih terjadi itu.
Arya menambahkan, investigasi dilakukan karena banyaknya kasus yang menimpa pekerja migran nonprosedural. Misalnya, kasus insiden kapal di perairan Johor Malaysia pada Desember 2021 yang mengakibatkan belasan calon pekerja migran asal Lombok menjadi korban jiwa. Pada Juni 2022, peristiwa serupa kembali terjadi, di mana seluruh penumpang berasal dari Lombok. Selain itu, Ombudsman juga menerima keluhan masyarakat terkait layanan paspor di ULP Lombok Timur.
Kepala Ombudsman Perwakilan Provinsi NTB Adhar Hakim menambahkan, berbagai persoalan yang menimpa pekerja migran nonprosedural seperti kecelakaan hingga pemulangan jenazah merupakan persoalan hilir. Hal itu akan terus berulang selama tidak ada perbaikan di hulu, yakni sistem yang dibangun pemerintah.
”Misalnya, unit layanan paspor ada untuk menjangkau masyarakat. Tetapi kemudian tidak berfungsi apa-apa karena praktik malaadministrasi yang marak. Fungsinya diambil alih oleh sistem di luar sistem negara,” kata Adhar.
Adhar menambahkan, saat ini pemerintah menghentikan sementara pengiriman pekerja migran ke Malaysia. Ombudsman Perwakilan NTB mendukung sikap pemerintah itu.
“Penghentian sementara penting sambil menata kembali proses dan mekanisme pengiriman pekerja migran untuk menghidari berbagai kejadian yang tidak diinginkan,” kata Adhar.
Meski demikian, kata Adhar, melihat praktik pelayanan paspor yang buruk di ULP Lombok Timur, upaya keras Pemerintah Indonesia itu bisa gagal. ”Kegagalan itu karena masih terbukanya peluang penerbitan paspor kepada pekerja migran dengan berbagai modus,” kata Adhar.
Oleh karena itu, menurut Adhar, pemerintah harus melakukan supervisi secara komprehensif dan mengaudit proses kerja keimigrasian seperti di ULP Lombok Timur. Hal itu mendesak karena Adhar menduga ada pihak-pihak tidak ingin sistem itu bagus karena merupakan bisnis besar.
Ada pihak-pihak tidak ingin sistem itu bagus karena merupakan bisnis besar.
Menanggapi hasil investigasi tersebut, Pelaksana Tugas Kepala Seksi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I Tempat Pelayanan Imigrasi Mataram I Made Surya Artha mengatakan, pemohon wajib datang langsung di kantor imigrasi. Tidak bisa diwakilkan.
”Tidak benar apabila ada informasi yang beredar bahwa buat paspor tanpa melalui proses wawancara, sidik jari, dan foto wajah,” kata Made Surya.
Masih tinggi
Selain insiden yang terus terjadi, secara umum pekerja migran nonprosedural asal NTB termasuk tinggi. Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Badan Perlindungan Pekerjan Migran Indonesia (BP2MI) Provinsi NTB, pada 2020, sebanyak 4.379 pekerja migran Indonesia nonprosedural dipulangkan dari sejumlah negara.
Lalu pada 2021, jumlah pekerja migran nonprosedural yang dipulangkan mencapai 11.974 orang. Sementara tahun ini, hingga Juli sudah mencapai 2.492 orang.
Selain ada praktik calo pada pembuatan paspor, warga bisa berangkat dengan mudah sebagai pekerja migran nonprosedural. Dalam penelusuran Kompas di Lombok Timur, tidak sedikit keputusan berangkat ke luar negeri diambil dalam hitungan hari.
Setelah itu, warga menyiapkan segala kebutuhan untuk berangkat seperti membeli tiket menuju Batam. Bisa dengan uang sendiri atau berutang ke kerabat. Dari Batam, mereka bertemu dengan tekong dan membayar biaya penyeberangan ke Malaysia. Sesampai di Malaysia, mereka sudah ditunggu oleh agen yang membawa mereka ke lokasi kerja.
Selain calon pekerja yang baru pertama kali ke Malaysia, tidak sedikit warga yang berangkat secara nonprosedural adalah mereka yang sebelumnya sudah punya pengalaman ke luar negeri. Rombongan calon pekerja migran asal Lombok yang mengalami kecelakaan di perairan Batam pada Juni lalu, misalnya, ada yang sudah pergi lebih dari dua kali.
Koordinator Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran NTB Muhammad Saleh sebelumnya mengatakan, NTB sebenarnya pernah punya catatan baik penanganan pekerja migran nonprosedural, yaitu saat berdirinya Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) Pekerja Migran Indonesia pada 2008.
Namun, dalam perjalanannya, roh pelayanan itu hilang. Hal itu karena mutasi pejabat yang kemudian diisi oleh orang-orang yang tidak paham dengan tugasnya. LTSP yang seharusnya menyediakan layanan dokumen, informasi, dan perlindungan akhirnya mengalami kemunduran.
Peran-peran itu kemudian diambil alih calo yang praktiknya makin merebak. Pada saat yang sama, tidak ada peningkatan sumber daya mulai dari tingkat terbawah, yakni desa, kabupaten, hingga provinsi.