Ekonomi Pangan dan Pertanian Indonesia Masih Belum Stabil
Kondisi ekonomi pangan dan pertanian Indonesia saat ini belum stabil, baik di level global maupun nasional.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi pangan dan pertanian Indonesia masih belum stabil. Hal itu terindikasi dari pertumbuhan sejumlah subsektor pertanian yang masih rendah, diversifikasi pangan yang masih timpang, dan masih rentan terhadap guncangan. Persoalan ini bakal menjadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan pemimpin Indonesia berikutnya.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin mengatakan hal itu dalam Diskusi Publik Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ”Mengurai Gagasan Cawapres tentang Isu Pembangunan Berkelanjutan” yang digelar secara daring di Jakarta, Jumat (19/1/2024). Salah satu tema yang dibahas dalam diskusi sesi kedua itu terkait pangan berkelanjutan.
Visi-misi setiap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di sektor pangan kurang lebih sama, yakni memperjuangkan kemandirian, swasembada, dan kedaulatan pangan. Dalam programnya, ketiganya juga menekankan pentingya kesejahteraan petani, stabilisasi stok dan harga pangan, serta mengurangi impor dan menyediakan pangan dari dalam negeri.
Namun, ketiganya juga memiliki program yang berbeda. Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, menyebutkan pentingnya penyuluh pertanian, bantuan hukum dan usaha (bahu desa), serta afirmasi petani untuk mengakses lahan.
Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menggulirkan tentang food estate padi, singkong, jagung, kedelai, dan tebu, serta makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren. Adapun Ganjar Pranowo-Mahfud MD memasukkan pula pentingnya mewujudkan industri pangan berkelanjutan dan menghentikan alih guna lahan.
Visi-misi setiap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di sektor pangan kurang lebih sama, yakni memperjuangkan kemandirian, swasembada, dan kedaulatan pangan.
Bustanul menilai, untuk merealisasikan semua visi-misi dan program itu tidak mudah. Hal itu tidak terlepas dari kondisi ekonomi pangan dan pertanian Indonesia saat ini yang belum stabil, baik di level global maupun nasional. Di mata internasional, ketahanan pangan Indonesia masih di bawah rata-rata dunia.
Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI) 2022, Indonesia menempati urutan ke-63 dari 113 negara. Skor ketahanan pangan Indonesia 60,2 atau berada di bawah rata-rata skor ketahanan pangan dunia yang sebesar 62,2. GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar, yakni keterjangkauan harga pangan, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi dan keamanan makanan, serta ketahanan sumber daya alam.
Menurut Bustanul, indeks tersebut mencerminkan kondisi pangan dalam negeri saat ini. Saat El Nino melanda, produksi beras nasional terguncang sehingga Indonesia harus mengimpor beras hingga 2,5 juta ton pada tahun lalu.
”Setelah impor begitu banyak, harga beras juga masih tinggi bahkan di awal tahun ini,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Bustanul, pertumbuhan sejumlah subsektor pertanian Indonesia juga belum stabil dan masih relatif rendah. Subsektor tanaman pangan, misalnya, pada triwulan I-2023 hingga triwulan III-2023 justru tumbuh minus terus masing-masing -3,03 persen, -3,32 persen, dan -1,47 persen secara tahunan.
Di sisi lain, pada 2022, lebih dari separuh penduduk Indonesia, sekitar 183,7 juta orang atau 68 persen populasi, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Pangan bergizi, terutama sayur dan buah, masih sulit dijangkau warga Indonesia karena harganya relatif mahal.
”Hal ini juga menunjukkan bahwa diversifikasi pangan terjangkau dan bergizi tinggi masih belum tercapai di Indonesia. Berdasarkan Pola Pangan Harapan 2022, konsumsi terbesar penduduk Indonesia masih berupa padi-padian, yakni 56,6 persen,” katanya.
Pemimpin Indonesia ke depan tidak cukup hanya mengupaya kemandirian atau swasembada pangan. Strategi perubahan menuju pangan dan pertanian berkelanjutan juga harus digulirkan.
Strategi perubahan
Untuk itu, lanjut Bustanul, pemimpin Indonesia ke depan tidak cukup hanya mengupayakan kemandirian atau swasembada pangan. Strategi perubahan menuju pangan dan pertanian berkelanjutan juga harus digulirkan, seperti melalui pemanfaatan teknologi, pertanian organik, pola tanam ramah lingkungan, dan peningkatan pendapatan.
”Integrasi pertanian tangguh juga perlu dilakukan, seperti pertanian cerdas iklim atau yang mampu beradaptasi dengan iklim. Hal itu termasuk juga upaya penyehatan tanah pertanian,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, ekonom Indef Esther Sri Astuti mengatakan, belakangan ini, wajah pangan dan pertanian Indonesia sangat buruk. Pada Januari-Februari 2024, Indonesia harus mengalami defisit beras 2,8 juta ton dan produksi jagung turun masing-masing menjadi 560.000 ton.
Hal itu menyebabkan Indonesia harus mengimpor beras dan jagung. Bahkan, garam dan susu pun Indonesia masih impor. ”Saya bingung. Kalau mau kasih makan gratis dan susu gratis, kalau beras dan susunya saja masih diimpor, jadi bagaimana?” ujarnya.
Saya bingung. Kalau mau kasih makan gratis dan susu gratis, kalau beras dan susunya saja masih diimpor, jadi bagaimana?
Pada 2023, pemerintah melalui Rapat Koordinasi Terbatas tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan kuota impor beras sebanyak 3,8 juta ton, bawang putih 561.926 ton, gula kristal putih atau konsumsi 136.308 ton, gula mentah 737.250 ton, dan jagung pakan 250.000 ton.
Pada 2024, pemerintah juga memutuskan akan mengimpor beras sebanyak 2 juta ton, bawang putih 645.025 ton, gula konsumsi 160.000 ton, gula mentah 548.609 ton, dan jagung pakan 250.000 ton.
Sementara itu, berdasarkan data BPS, pada 2022, produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya mencapai 968.980 ton atau sekitar 20 persen dari kebutuhan nasional yang mencapai 4,4 juta ton. Sisanya masih dipenuhi dari impor.
Untuk itu, lanjut Esther, ke depan, Indonesia harus benar-benar merealisasikan swasembada pangan. Salah satunya dengan cara meningkatkan produksi pangan yang terintegrasi dengan kemudahan petani mendapatkan akses pupuk, benih, modal, dan teknologi.
Selain itu, strategi ketahanan pangan Indonesia ke depan harus benar-benar pas dan detail. Dari visi-misi dan program ketiga pasangan capres-cawapres, masih kurang detail dan tidak eksplisit. Solusi untuk mengatasi masalah pangan nasional harus benar-benar konkret.
”Strategi kebijakan pangan juga harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan kesehatan. Tidak asal membuka atau memperluas lahan pangan baru yang justru mengabaikan aspek-aspek tersebut,” katanya.