logo Kompas.id
EkonomiMayoritas Provinsi Rentan...
Iklan

Mayoritas Provinsi Rentan terhadap Disinformasi

Jumlah hoaks pemilu saat ini masih dalam taraf wajar. Sementara itu, kampanye negatif merebak.

Oleh
MEDIANA
· 3 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/msLnHL9hgNttRklZI0gD-oj9qO8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F29%2F28dd47b6-500d-4b6b-b8e4-8dacb53fbc0b_jpg.jpg

JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas provinsi di Indonesia rentan terhadap informasi palsu. Peran budaya, tradisi, nilai, dan kebiasaan yang mendarah daging diduga memengaruhi masyarakat dalam menangkap informasi yang kontroversial.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Noory Okhtariza, di sela-sela seminar Safeguarding Democracy: Multifaceted Response to Election Disinformation, Rabu (17/1/2024), di Jakarta, mengatakan, riset yang dia lakukan berusaha mengukur indeks kesadaran disinformasi. Hasilnya, hanya 11 provinsi memiliki skor di atas 50 persen. Provinsi sisanya mempunyai skor di bawah itu sehingga bisa dimaknai rentan terhadap informasi palsu. Penelitian yang dia lakukan hanya mencakup 34 provinsi.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

”Provinsi yang rentan terhadap informasi palsu berada di luar Jawa,” ujarnya. Noory menanyakan sejumlah indikator pertanyaan untuk mengukur indeks kesadaran disinformasi, tetapi tidak mengetes pengaruh tingkat kesejahteraan di provinsi.

Menurut dia, Indonesia tengah mengalami polarisasi politik. Pendengung politik berperan penting dalam menyebarkan informasi palsu dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, tetapi dampaknya jauh lebih kurang dibandingkan dengan kondisi polarisasi politik yang sedang terjadi.

Kesadaran politik dan keyakinan terhadap teori konspirasi memengaruhi kerentanan seseorang terhadap informasi palsu. Namun, keyakinan terhadap teori konspirasi yang marak menunjukkan isu disinformasi di Indonesia diperkirakan merupakan masalah budaya dibandingkan dengan masalah kognitif. Peran budaya, tradisi, nilai-nilai, dan kebiasaan yang mendarah daging masih sangat kuat dan memengaruhi cara masyarakat memandang informasi kontroversial.

Baca juga: Tiktok Larang Iklan Politik di Aplikasinya

Dalam risetnya, dia juga menemukan, edukasi pengetahuan politik tidak berpengaruh signifikan terhadap kemampuan seseorang dalam membedakan konten disinformasi atau bukan. Lalu, kesamaan pandangan politik dan agama cenderung memperkuat keberpihakan hanya pada isu pemilu.

Sebelumnya, Safer Internet Lab, suatu inisiatif kolaborasi antara CSIS dan Google Indonesia, merilis hasil survei Proyeksi dan Mitigasi Gangguan Informasi Pemilu 2024. Survei dilakukan secara nasional di 34 provinsi di seluruh Indonesia, dengan jumlah sampel sebesar 1.320 responden yang tersebar secara proporsional, margin of error kurang lebih - 2,7 persen, dan tingkat kepercayaan 95 persen. Waktu pengumpulan data dilakukan pada tanggal 4-10 September 2023.

Hasil survei menunjukkan masih tingginya potensi penyebaran gangguan informasi menjelang Pemilu 2024. Sebesar 42,3 persen responden mengaku percaya pada gangguan informasi pemilu dan 48,4 persen responden percaya pada gangguan informasi non-pemilu.

Gangguan informasi yang dimaksud dalam survei itu adalah fenomena penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, yang dapat menimbulkan dampak merugikan.

Riset yang Noory lakukan adalah pengembangan dari survei Proyeksi dan Mitigasi Gangguan Informasi Pemilu 2024.

Iklan

Baca juga: Pemilu Masih Dua Tahun Lagi, Hoaks Politik Sudah Masif

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi serta Wamenkominfo Nezar Patria.
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi serta Wamenkominfo Nezar Patria.

Masih normal

Sementara Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Nezar Patria, saat memberikan sambutan kunci seminar, menyampaikan, berdasarkan data Kemkominfo, hoaks terkait pemilu pada 2018 atau sebelum Pemilu 2019 mencapai 58 konten, lalu 2019 melonjak menjadi 856 konten, kemudian turun menjadi 12 konten pascapemilu atau tahun 2020.

Selanjutnya, pada 2022, hoaks pemilu tercatat 10 konten. Tahun 2023, hoaks pemilu meningkat menjadi 188 konten. Lalu, sampai pekan lalu, hoaks pemilu mencapai 16 konten.

Mengutip riset yang dilakukan oleh Ipsos dan UNESCO pada 22 Agustus -25 September 2023, sebesar 87 persen dari 8.000 responden berusia 18 tahun ke atas akan berdampak pada Pemilu 2024 di negaranya. Responden - responden tersebut berdomisili di 16 negara.

Sebanyak 56 persen responden sering menggunakan media sosial sebagai sumber utama mencari berita. Sementara responden yang menjadikan televisi sebagai sumber utama mencari berita sebanyak 44 persen.

Kendati demikian, dia mengklaim, tren hoaks pemilu di Indonesia sampai sekarang masih dalam batas ”normal”. Kampanye negatif sudah banyak merebak, tetapi belum bisa dikategorikan sebagai hoaks.

”Kampanye negatif biasa terjadi di negara demokrasi. Kami harus mengecek lagi detail kampanye negatif (yang beredar di media sosial). Dari pantauan kami, bentuk kampanye negatif mencakup kritik terhadap partai politik dan kandidat calon presiden-wakil presiden,” ujarnya.

Kemkominfo tidak bisa membuat kesimpulan langsung, lalu menurunkan konten hoaks. Kami biasanya meminta masukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Pada saat bersamaan, Kemkominfo terus menggencarkan kampanye antihoaks dan disinformasi dengan menggandeng KPU, Bawaslu, dan pengelola platform media sosial.

Baca juga: Medsos Jadi Ruang Memutar Dana Kampanye Tak Resmi

Pendiri Public Virtue Institute, Anita Hayatunnufus Wahid, yang juga turut menghadiri seminar itu, mengatakan, narasi-narasi konten disinformasi yang kini berkembang semakin membuat orang curiga dan mudah teralihkan. Cara mengatasi permasalahan ini adalah masyarakat harus tangguh terhadap disinformasi.

Masyarakat yang tangguh terhadap disinformasi perlu didukung, antara lain oleh lingkungan politik, ekonomi, dan media massa. Media massa, khususnya, semestinya independen. Hanya saja, dia mengakui hal itu tidak mudah.

”Media massa publik semestinya mampu menyajikan berita-berita yang independen. Selain dari faktor eksternal, dari masyarakat sendiri perlu mengusahakan agar tangguh terhadap konten disinformasi dan hoaks,” ucap Anita.

Baca juga: Para ”Buzzer” di Pusaran Narasi Pemilu 2024

Editor:
MUHAMMAD FAJAR MARTA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000