Pemilu Masih Dua Tahun Lagi, Hoaks Politik Sudah Masif
Masyarakat Antifitnah Indonesia menemukan 441 hoaks politik muncul sejak Januari-Oktober 2022. Hoaks banyak berisikan informasi fitnah yang menyerang figur potensial bakal capres dan penyelenggara pemilu.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Masyarakat Antifitnah Indonesia mencatat sebanyak 441 hoaks politik muncul sejak Januari-Oktober 2022. Konten hoaks banyak menyerang figur potensial bakal calon presiden pada Pemilu 2024 dan penyelenggara pemilu. Dampak hoaks bisa menyebabkan perpecahan dan kekacauan di masyarakat. Untuk itu, edukasi politik dan kolaborasi verifikasi fakta perlu diintensifkan.
Ketua Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menerangkan, tema hoaks yang muncul tahun ini tidak jauh berbeda dengan hoaks di pemilihan umum sebelumnya. Isu seperti politisasi identitas dan isu ketidaknetralan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diprediksi masih akan mendominasi konten hoaks di Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Isu yang muncul mirip dengan yang terjadi di 2019, satu-satu mulai keluar, seperti contohnya warga negara asing diperbolehkan ikut memilih di pemilu. Lalu, ada saling lempar hoaks antarkandidat presiden, atau antarkelompok yang diasosiasikan sebagai pendukung juga mulai terjadi,” ujar Aji dalam acara diskusi bertajuk ”Indonesia Fact Check Summit 2022”, di Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Konten hoaks yang muncul di tahun 2019 kemungkinan terjadi lagi di tahun 2024.
Komisioner Bawaslu, Lolly Suhenty, menyebut, hoaks politik berdampak buruk karena memicu perpecahan dan kericuhan di masyarakat.
Dari hasil evaluasi yang dilakukan Bawaslu saat Pemilu 2019, hoaks mulai masif sejak lima hingga enam bulan menjelang hari pencoblosan.
Masifnya hoaks tidak lepas dari rendahnya literasi politik dan kemampuan verifikasi berita yang dimiliki warga.
”Setiap pemilu ada kerentanan, dan tahun 2024 tantangannya sepertinya masih sama seperti 2019, soal politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan isu ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu, seperti Bawaslu dan KPU. Hoaks ini perlu ditangkal agar pemilu berjalan damai,” ucapnya.
Untuk itu, pihaknya sudah menyiapkan langkah mitigasi dengan mengedukasi publik mengenai bentuk-bentuk pelanggaran pemilu. Salah satu pelanggaran pemilu yang perlu diketahui publik adalah soal larangan kampanye berisi muatan yang menghina, menghasut, memfitnah, dan mengadudomba, seperti tertulis di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pihaknya juga akan berkolaborasi dengan sejumlah pihak, seperti media massa, platform media sosial, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas untuk menyebarkan informasi sahih mengenai pemilu dan membekali warga dengan kemampuan verifikasi yang baik.
”Sebanyak 87 persen pelanggaran Pemilu 2019 adalah hasil temuan Bawaslu, hanya 19 persen dari laporan masyarakat. Kita perlu bangun literasi dan edukasi agar warga tahu apa saja yang menjadi pelanggaran pemilu,” ucapnya.
Delegitimasi KPU
Komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos, menjelaskan, salah satu potensi hoaks yang akan membayangi pelaksanaan Pemilu 2024 adalah upaya mendelegitimasi penyelenggara pemilihan umum. KPU sebagai penyelenggara pemilu menyiapkan upaya preventif dan kuratif untuk mengantisipasi dampak dari hoaks tersebut.
Salah satunya, sudah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Siber untuk memetakan hoaks apa saja yang berpotensi dilancarkan kepada KPU.
Satgas yang juga terdiri atas unsur kepolisian ini juga akan menindak orang atau kelompok yang menyebarkan hoaks tersebut.
”Kita buat social media analysis, contohnya dengan kata kunci Kinerja KPU, dari situ akan terlihat kelompok mana yang mencoba mendeligitimasi KPU ataupun yang mendukung KPU. Dari temuan-temuan tersebut, kita akan coba preventif dengan bertemu kelompok-kelompok itu, lalu penindakan tegas bila ada unsur pelanggarannya,” ujarnya.
Peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Mahardhika, menyebut, partai politik juga harus ikut berkomitmen untuk tidak menggunakan hoaks sebagai senjata politik.
Ia menyebut, masih banyaknya pihak yang menggunakan hoaks karena para kandidat dinilai tidak memiliki program konkret yang bisa ditawarkan ke masyarakat. Selain itu, minimnya tawaran kebijakan membuat jalan pintas melalui strategi politisasi identitas ditempuh kandidat.
”Perlu ada transparansi juga dari peserta pemilu, seperti partai politik. Selama ini, transparansi sumber dan penggunaan dana kampanye oleh kandidat ini masih buruk. Temuan kami, jumlah dana kampanye kerap tidak sesuai dengan yang terlihat di lapangan,” ucapnya.