Kebijakan ekspor benih bening lobster seharusnya memperhitungkan aspek neraca sumber daya ikan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menuntaskan regulasi terkait ekspor benih bening lobster pada akhir Januari 2024. Kebijakan membuka keran ekspor benih itu sempat menuai kontroversi publik terkait keberlanjutan sumber daya atau plasma nutfah, serta terpukulnya budidaya lobster dalam negeri.
Salah satu program prioritas yang diusung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam periode 2021-2024 adalah perikanan budidaya berkelanjutan dengan fokus pada pengembangan komoditas unggulan, yakni udang, lobster, kepiting, rumput laut, dan nila.
Guru Besar Sumber Daya Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan IPB University Luky Adrianto berpendapat, ekspor berupa benih sumber daya ikan, termasuk di dalamnya benih bening lobster, seharusnya memperhitungkan aspek neraca sumber daya ikan dan bukan hanya konteks neraca ekspor dalam perspektif ekonomi. ”Neraca sumber daya ikan sangat penting dalam perspektif spasial dan temporal,” katanya saat dihubungi, Kamis (11/1/2024).
Benih bening lobster memiliki karakteristik spasial berupa ruang yang terbatas, serta temporal dalam kaitan siklus hidup. Dengan demikian, stok lobster di suatu lokasi tidak selalu berlimpah sepanjang tahun, serta bergantung pula pada kualitas ekosistem. Pengelolaan berbasis wilayah perikanan dinilai sangat penting untuk memastikan keberlanjutan stok benih lobster.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, dalam konferensi pers ”Outlook dan Program Prioritas Sektor Kelautan dan Perikanan Tahun 2024”, Rabu (10/1/2024), memaparkan, payung hukum terkait kebijakan ekspor benih bening lobster sedang disusun agar keran ekspor benih itu bisa dibuka dan memberikan manfaat bagi negara. ”Targetnya, akhir bulan ini aturan bisa selesai,” ujarnya.
Dari catatan Kompas, pemerintah melakukan buka-tutup keran ekspor benih bening lobster. Pada 2015-2019, ekspor benih bening lobster dilarang dan pada Mei 2020 ekspor benih kembali dibuka. Namun, pada 26 November 2020, ekspor benih bening lobster ditutup sementara menyusul kasus suap perizinan usaha budidaya dan ekspor benih lobster yang menyeret bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kasus tersebut. Lalu, pada 2021, pemerintah menetapkan larangan ekspor bening benih lobster.
Menurut Trenggono, pemberlakuan larangan ekspor benih bening lobster selama ini dihadapkan pada penyelundupan benih yang terus berlangsung, sedangkan kinerja pengawasan masih belum baik. Pasar terbesar ekspor ilegal benih bening lobster adalah Vietnam. Pihaknya memperkirakan penyelundupan benih bening lobster dari Indonesia ke Vietnam mencapai 600 juta benih per tahun.
”Penyelundupan (benih bening lobster) jalan terus. Kita belum bisa mengawasi dengan baik. Budidaya lobster di Vietnam besar sekali dan 100 persen benih ilegal asalnya dari Indonesia. Mereka (Vietnam) bilang benih lobster itu dibeli legal dari Malaysia dan Singapura, tetapi saya tahu benih itu asalnya dari Indonesia,” papar Trenggono.
Bayar pungutan
Trenggono menambahkan, langkah terbaik menyikapi persoalan penyelundupan benih lobster di Indonesia adalah upaya diplomasi dengan memberikan ruang kepada investor atau pelaku usaha asal Vietnam untuk mengembangkan budidaya lobster di Indonesia. Lewat skema kerja sama antarpemerintah (G to G), Indonesia dapat memasok kebutuhan benih bening lobster untuk pembudidaya di Vietnam dengan syarat pelaku membayar pungutan berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Di sisi lain, pelaku usaha Vietnam dapat mengembangkan budidaya lobster di Indonesia sehingga tercipta rantai pasok dan efek berganda untuk usaha pakan dan tenaga kerja. Ia mengakui, transfer teknologi budidaya lobster dari Vietnam ke Indonesia dinilai tidak akan terjadi, tetapi akan tercipta transfer etos kerja dari pembudidaya Vietnam yang kerap tidak dimiliki pelaku budidaya Indonesia.
”Kita bisa meraih pertumbuhan akibat ekspor benih bening lobster. Artinya, anggap saja kita bisa berikan 200-300 juta benih bening lobster. Kalau (tarif pungutan) Rp 5.000 per benih saja, sudah hampir Rp 1,5 triliun menjadi PNBP. Itu manfaatnya besar. Benih lobster juga akan mati kalau tidak diambil ataupun dimakan oleh ikan yang lain,” tutur Trenggono.
Penasihat Himpunan Budidaya Laut Indonesia (Hibilindo) Effendy Wong mengingatkan, sewaktu keran ekspor benih bening lobster dibuka pada 2020, penyelundupan benih lobster itu masih tetap berlangsung. Sementara itu, kewajiban bagi eksportir benih lobster untuk mengembangkan budidaya lobster di dalam negeri terindikasi praktik manipulasi.
”Budidaya lobster di Indonesia hanya digarap sekadarnya sebagai pemenuhan syarat untuk ekspor benih lobster. Manipulasi budidaya lobster terjadi dan kebangkitan budidaya lobster di Indonesia yang diharapkan pemerintah tidak terbukti,” tutur Effendy.
Effendy meminta komitmen pemerintah untuk mendorong hilirisasi perikanan dengan tidak mengeksploitasi benih atau plasma nutfah untuk diekspor. Budidaya lobster sebagai komoditas unggulan perikanan Indonesia seharusnya didorong untuk berdaya saing dan menghasilkan nilai tambah. Kebijakan ekspor benih merupakan langkah mundur budidaya lobster di Indonesia dan, sebaliknya, hanya akan menguntungkan pembudidaya lobster di Vietnam.
”Apa langkah dan jaminan pemerintah untuk pengembangan budidaya lobster dalam negeri? Jangan hanya mengejar PNBP, sementara program hilirisasi perikanan tidak tercapai,” ujarnya.
Menurut Effendy, maraknya penyelundupan benih bening lobster sebagai alasan pemerintah membuka keran ekspor benih dinilai tidak logis. Investasi budidaya lobster oleh Vietnam di Indonesia hanya dapat terwujud jika pemerintah menutup rapat-rapat keran ekspor benih bening lobster. ”Tertutupnya pasokan benih ke Vietnam dengan sendirinya akan mendorong investor Vietnam beralih mengembangkan budidaya lobster di Indonesia,” paparnya.