logo Kompas.id
EkonomiOrientasi Bansos: Antara...
Iklan

Orientasi Bansos: Antara Memenangi Pemilu atau Mengalahkan Kemiskinan

Bansos adalah bagian dari politik anggaran pemerintah. Pertanyaannya, politik anggaran semacam apa yang jadi orientasinya, jalan teknokratis mengalahkan kemiskinan atau sarana memenangi pemilihan umum?

Oleh
AGNES THEODORA
· 5 menit baca
Warga berebut nomor antrean untuk menerima bantuan uang tunai di Balai Desa Kaponan, Kecamatan Pakis, Magelang, Jawa Tengah, Senin (28/11/2022). Bantuan langsung tunai (BLT) BBM, bantuan pangan nontunai (BPNT), dan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) disalurkan sekaligus pada hari itu. Bantuan disalurkan kepada 1.007 warga di tiga desa di Kecamatan Pakis.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga berebut nomor antrean untuk menerima bantuan uang tunai di Balai Desa Kaponan, Kecamatan Pakis, Magelang, Jawa Tengah, Senin (28/11/2022). Bantuan langsung tunai (BLT) BBM, bantuan pangan nontunai (BPNT), dan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) disalurkan sekaligus pada hari itu. Bantuan disalurkan kepada 1.007 warga di tiga desa di Kecamatan Pakis.

Bantuan sosial alias bansos selalu menghebohkan setiap tahun politik. Faktanya, bansos adalah bagian dari politik anggaran pemerintah. Pertanyaannya kemudian adalah politik anggaran semacam apa yang mendasarinya, jalan teknokratis mengalahkan kemiskinan atau sarana memenangi pemilihan umum?

Hal yang pasti, sifat bansos yang populis dalam kadar tertentu akan memengaruhi pilihan politik masyarakat penerima. Alokasi anggarannya yang selalu menggelembung setiap tahun politik sudah barang tentu menguntungkan petahana, atau dalam kontestasi Pemilu 2024, kemanfaatannya akan jatuh pada kandidat yang terafiliasi dengan petahana.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Pertanyaannya kemudian adalah politik anggaran semacam apa yang mendasarinya, teknokratis atau orientasi pemenangan pemilihan umum?

Maka selalu, kubu yang mendapatkan manfaat elektoral akan mendukung bansos dengan narasinya. Sebaliknya, kubu yang posisinya berhadapan akan mengkritik dengan alasan bahwa bansos telah diselewengkan sebagai komoditas politik.

Hal yang pasti, politisasi bansos adalah keniscayaan dalam politik riil. Namun, hal yang pasti lainnya adalah sistem bansos yang ada sampai saat ini, dalam perspektif teknokratis, sudah ketinggalan zaman. Sejumlah pihak mempertanyakan efektivitasnya untuk memberdayakan masyarakat.

Warga membawa beras bantuan yang mereka ambil dari Kantor Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Senin (18/12/2023). Mereka yang menerima bantuan sosial nontunai ini merupakan keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan. Setiap penerima mendapatkan bantuan beras 10 kilogram.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga membawa beras bantuan yang mereka ambil dari Kantor Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Senin (18/12/2023). Mereka yang menerima bantuan sosial nontunai ini merupakan keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan. Setiap penerima mendapatkan bantuan beras 10 kilogram.

Komoditas politik

Pada konteks Pemilu 2024, heboh soal bansos diawali saat Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan berkampanye di Kendal, Jawa Tengah, akhir Desember 2023. Ia mengklaim bansos dan bantuan langsung tunai (BLT) diberikan oleh Presiden Joko Widodo sehingga rakyat mesti mendukung putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang maju sebagai calon wakil presiden dari Prabowo Subianto.

Ucapan Zulkifli langsung diprotes kedua kandidat lain. Calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, mengatakan, bansos sekarang sudah dijadikan komoditas politik. Sementara capres nomor urut 1, Anies Baswedan, meminta agar bansos jangan diklaim sebagai bantuan pribadi calon tertentu karena asalnya dari uang rakyat melalui pajak.

Baca juga : Aji Mumpung Bansos

Bansos semestinya bukan menjadi komoditas politik, melainkan instrumen fiskal untuk menanggulangi kemiskinan. Bansos adalah bagian dari program perlindungan sosial (social security) warga sebagai tanggung jawab pemerintah. Bansos didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang salah satunya bersumber dari setoran pajak rakyat.

Program bansos di Indonesia setidaknya sudah dimulai sejak krisis ekonomi tahun 1998 melalui kebijakan reformasi perlindungan sosial. Berikutnya, dikembangkan di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), lalu diperluas di era Jokowi. Seusai pandemi Covid-19, bansos semakin banyak digelontorkan dengan anggaran perlindungan sosial yang selalu di atas Rp 400 triliun.

Jokowi, yang awalnya sering mengkritik kebijakan bansos SBY semasa masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, akhirnya ikut mengucurkan bansos. Terjadi pula peningkatan anggaran bansos yang signifikan di era Jokowi, khususnya ketika dan sesudah pandemi Covid-19, serta terutama pada tahun politik.

Petugas memotret warga yang mencairkan dana bantuan langsung tunai bahan bakar minyak sebesar Rp 300.000 di Gedung SKKT, Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (22/9/2022).
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Petugas memotret warga yang mencairkan dana bantuan langsung tunai bahan bakar minyak sebesar Rp 300.000 di Gedung SKKT, Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (22/9/2022).

Belum cukup adil

Lantas, apakah bansos yang kini sedang heboh itu sudah efektif melindungi masyarakat dan mengurangi kemiskinan? Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto, Sabtu (6/1/2024), bansos sangat dibutuhkan masyarakat sehingga perlu diteruskan. Namun, pada praktiknya, masih ada banyak kekurangan yang butuh dibenahi.

Bukan hanya problem klasik berupa penargetan bantuan yang kerap meleset karena pendataan dan penyaluran yang tak tepat sasaran, konsep bansos yang diterapkan pemerintah pun dinilai tertinggal dari perkembangan kebutuhan masyarakat dan realitas sosial saat ini.

”Bansos sudah ada puluhan tahun, tetapi begini-begini saja. Belum ada ide baru yang luar biasa. Kita butuh pengembangan program bansos baru dengan sistem yang lebih adaptif dan inklusif. Saat ini bisa dibilang konsep bansos kita belum cukup adil untuk kelompok tertentu,” kata Teguh.

Diskusi soal bansos selalu berkutat seputar memberi ’ikan’ atau ’kail’. Kita lupa masyarakat juga perlu diberi ’pelampung’.

Iklan

Ia mencontohkan, sejauh ini, urusan administrasi pendataan penerima bansos hanya satu arah dari pemerintah. Akhirnya, sering terjadi pendataan yang keliru. ”Orang yang membutuhkan tidak masuk sistem dan tidak mendapat bantuan (exclusion error). Sementara yang tidak butuh malah dibantu (inclusion error),” katanya.

Pemerintah ke depan, menurut Teguh, mesti mengembangkan pendaftaran mandiri (on-demand application) yang memungkinkan warga untuk mendaftar ketika terpukul secara ekonomi dan butuh bantuan dari negara. Momentumnya, misalnya, pada saat terjadi bencana alam, pandemi, atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

https://cdn-assetd.kompas.id/42z5XzJR5bw4VtmT8aD8n6M3T1Q=/1024x1344/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F06%2F02%2F20200522-ADI_bansos-mumed_1591090901_png.png

Sistem bolong

Sistem on-demand itu dinilai akan lebih adil dalam melindungi masyarakat yang membutuhkan. Secara teknis pun, gagasan itu semestinya tidak sulit diterapkan karena sudah pernah dipakai dalam program Kartu Prakerja. Masyarakat yang ingin mengakses kelas pelatihan dan insentif uang tunai dari pemerintah tinggal mendaftar dan datanya diverifikasi oleh penyelenggara Kartu Prakerja.

”Kita butuh sistem bansos yang lebih adaptif dengan dinamika mobilitas sosial ekonomi masyarakat. Kalau ini bisa diterapkan di Kartu Prakerja, kenapa di bansos tidak? Toh, tentu saja nantinya tetap ada proses verifikasi untuk menjaring masyarakat yang mendaftar. Yang penting, bansos dibuat accessible,” ujar Teguh.

Baca juga : Hanya 0,37 Persen Kelompok Termiskin yang Terima Program Bansos Lengkap

Ia juga menyoroti kekosongan lain dalam sistem perlindungan sosial saat ini, yaitu nyaris nihilnya perlindungan bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal. Padahal, mereka mencakup 60 persen dari total tenaga kerja di Indonesia.

Pekerja informal tidak dilindungi jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), jaminan hari tua (JHT), atau jaminan pensiun (JP) selayaknya pekerja formal. Teguh mengatakan, pemerintah seharusnya bisa menyubsidi jaminan sosial itu dan mendorong terciptanya sistem perlindungan sosial yang lebih luas dan inklusif.

Anggaran yang dibutuhkan diperkirakan sekitar Rp 5 triliun untuk menjamin 26 juta pekerja informal. ”Diskusi soal bansos selalu berkutat seputar memberi ’ikan’ atau ’kail’. Kita lupa masyarakat juga perlu diberi ’pelampung’ jika terpeleset saat memancing,” katanya.

Para pekerja informal berbelanja makan siang di sekitar proyek properti di kawasan Setiabudi, Jakarta, Selasa (10/10/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO

Para pekerja informal berbelanja makan siang di sekitar proyek properti di kawasan Setiabudi, Jakarta, Selasa (10/10/2023).

Pendataan bermasalah

Pemerintah pun mengakui masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan bansos. Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Suprayoga Hadi, pada 14 Desember 2023, mengatakan, hanya 0,37 persen dari kelompok masyarakat termiskin yang menerima bansos lengkap alias lima-delapan program sepanjang tahun 2022.

Sisanya hanya menerima sebagian program bansos atau satu-empat program saja. Penyaluran yang tidak maksimal itu ditengarai karena masalah pendataan yang tumpang tindih dan tidak tepat sasaran. TNP2K juga menyebutkan bahwa ke depan standar garis kemiskinan ekstrem akan diubah agar lebih banyak warga bisa dilindungi lewat bansos.

Sepanjang tahun 2023, pemerintah telah menyalurkan dana APBN Rp 443,4 triliun untuk berbagai macam program perlindungan sosial.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, melihat banyaknya kekurangan dalam pelaksanaan bansos, capaian angka kemiskinan yang turun sejauh ini bukan sepenuhnya berkat bansos pemerintah.

Ia berpendapat, ada faktor lain yang membuat rumah tangga miskin bisa naik kelas. Misalnya, anggota keluarga yang akhirnya bekerja serabutan di sektor informal dan bisa memberi penghasilan tambahan atau karena bantuan dari masyarakat lain.

”Ada faktor transfer sosial di sini yang lebih banyak berkontribusi mengangkat masyarakat dari garis kemiskinan. Bukan karena bansos, karena nilai yang tersalurkan ternyata kecil sekali akibat adanya problem exclusion dan inclusion error di pendataan kita,” ujar Tauhid.

Menteri Sosial Juliari P Batubara mengenakan rompi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seusai menjalani pemeriksaan tim penyidik KPK untuk kasus korupsi bansos di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (6/12/2020).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Menteri Sosial Juliari P Batubara mengenakan rompi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seusai menjalani pemeriksaan tim penyidik KPK untuk kasus korupsi bansos di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (6/12/2020).

Sepanjang 2023, pemerintah telah menyalurkan dana APBN Rp 443,4 triliun untuk berbagai macam program perlindungan sosial. Realisasi itu mencapai 100,9 persen dari target proyeksi (outlook) tengah tahun APBN 2023, yang sebesar Rp 439,1 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, belanja bansos termasuk salah satu belanja terbesar yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Pemerintah masih terus memberikan bansos, bahkan menambahnya lewat paket kebijakan stimulus ekonomi mulai akhir 2023 sampai awal 2024. Tujuannya adalah untuk menjaga daya beli masyarakat yang belum pulih betul pascapandemi.

”Belanja bansos ini kita jaga di level yang cukup tinggi karena masyarakat rentan kita belum benar-benar pulih, bahkan mereka mengalami tekanan baru, seperti harga beras yang naik,” katanya.

Editor:
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000