Mendulang Bonus Saham ”Window Dressing” dan ”January Effect”
Masa pergantian akhir tahun menjadi waktu yang dinanti investor saham yang berstrategi meraup keuntungan dalam waktu singkat.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Akhir tahun menjadi momentum yang dinanti banyak investor pasar modal untuk meraup untung dari window dressing. Ini adalah momen ketika investor besar mempercantik portofolionya dengan membeli saham-saham berkapitalisasi besar agar laporan keuangan pada akhir tahun terlihat lebih cantik.
Momentum ini dimanfaatkan investor saham seperti Haposan (36). Sekitar empat tahun terakhir, ia memanfaatkan periode window dressing pasar saham untuk mengambil keuntungan kilat. Ia telah melakukan pembelian sebelum masa window dressing di akhir November lalu sebelum harga saham naik.
Bagaimanapun, ia hati-hati memilih emiten saham karena risiko besar dari aktivitas trading ini tetap membayangi. Faktor fundamental dan teknikal saham perbankan, telekomunikasi, dan perusahaan pertambangan ia pelajari sebelum melakukan pembelian.
”Saya membatasi pembelian LQ45 (saham-saham di indeks kelompok saham 45), khususnya saham-saham blue chip dengan kinerja yang cukup baik,” tutur karyawan swasta asal Sumtera Utara itu saat dihubungi, Jumat (29/12/2023).
Ia pun memilih saham perusahaan telekomunikasi Telkom (TLKM) karena harga sedang rendah, mendekati titik terendah sepanjang tahun, yakni Rp 3.550 per lembar saham. Tidak hanya itu, indikator fundamental perusahaan juga ia nilai cukup baik.
Laba usaha TLKM hingga triwulan III-2023 yang bertumbuh dan diperkirakan berlanjut pada kuartal IV jadi pertimbangan. Indikator lain juga terbilang aman, seperti price earning ratio (PER) sekitar 15 kali dan price book value ratio (PBVR) di bawah 3 kali.
Memasuki periode window dressing pada Desember, harga saham TLKM mulai naik hingga tembus Rp 3.900 pada 11 Desember. Haposan menunggu harga saham itu tembus hingga Rp 4.000. Namun, melihat pergerakan harga saham yang sudah stagnan, ia akhirnya melepas saham TLKM di harga Rp 3.950 per lembar saham.
Cuan 11 persen pun dengan nilai sekitar Rp 2 juta dari total uang yang diinvestasikan pun ia dapatkan. Keuntungan itu kemudian ia tarik untuk kebutuhan libur akhir tahun. ”Cuan dari window dressing bisa dipakai untuk liburan Natal dan Tahun Baru,” ujar pekerja dengan gaji bulanan sekitar Rp 10 juta itu.
Tahun ini, dari pengamatannya, window dressing hanya memberi keuntungan singkat 7-10 persen. Padahal, beberapa tahun lalu, ia bisa mematok target hingga 15 persen. Stagnannya perkembangan harga saham, termasuk pergerakan harga saham-saham blue chip atau LQ45, diduga jadi alasannya.
Bagaimanapun, bonus akhir tahun dari kenaikan harga saham di pengujung tahun tetap bermanfaat meski tidak sebesar target pembelian saham jangka menengah dan panjang.
Menyambut momentum window dressing, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus menghijau setelah sepuluh bulan terakhir tumbuh merah di bawah posisi 7.000. Sejak awal November hingga akhir Desember 2023, IHSG tercatat telah melonjak 9 persen dan mencatatkan rekor tertinggi tahun ini.
Pada hari perdagangan bursa terakhir di 2023, Jumat sore, IHSG ditutup di posisi 7.727 poin. Indeks itu tumbuh 6,16 persen dibandingkan posisi IHSG di penutupan perdagangan tahun lalu, 30 Desember 2022, sebesar 6.850 poin.
Analis Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani, mengatakan, kenaikan IHSG di akhir tahun ini antara lain terjadi karena fenomena window dressing.
”Window dressing sudah terjadi selama bulan Desember sehingga IHSG positif secara month to date (bulanan). Jadi, menjelang akhir tahun ekspektasinya IHSG akan naik terus dan melanjutkan rally-nya,” katanya kepada Kompas.
Di momen ini, Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Dimas Krisna Ramadhani, mengatakan, investor pasar saham yang menaruh uangnya di saham-saham LQ45 akan lebih cuan. Berdasarkan data historis 20 tahun terakhir, Indeks LQ45 tercatat mengalami kenaikan saat window dressing rata-rata sebesar 3,72 persen dan probabilitas kenaikan sebesar 95 persen.
Kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2008 yang tercatat naik 11,90 persen. Sementara, pada tahun 2022, indeks ini mengalami penurunan sebesar 7,05 persen karena efek pandemi Covid-19.
”Berdasarkan data yang ada, sektor infrastruktur dan consumer unggul secara year to date di 2023. Kenaikan tertinggi pada infrastruktur ditopang oleh saham BREN, JSMR, dan META,” ungkapnya dalam keterangan tertulis.
Sebaliknya, ia menambahkan, saham-saham sektor energi dan kesehatan ialah dua sektor yang berkinerja buruk.
Selain faktor window dressing, kinerja IHSG pada akhir 2023 juga difaktori hal lain. Salah satunya, sinyal berakhirnya suku bunga tinggi (higher for longer).
Seperti diketahui, fenomena yang dipengaruhi kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, terus menaikkan suku bunganya karena inflasi yang merangkak sejak pertengahan 2022 hingga pertengahan 2023. Situasi itu memengaruhi bunga untuk imbal hasil obligasi AS. Hal ini membuat Indonesia ikut menyesuaikan kebijakan suku bunganya juga.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan, berakhirnya era suku bunga tinggi yang dimulai tren penurunan suku bunga diperkirakan terjadi di awal semester II-2024.
”Di sepanjang Januari-Juni 2024, kita berharap tidak ada perubahan tren pada data inflasi global, khususnya Amerika, dan berlanjutnya pertumbuhan ekonomi global,” kata Alfred.
Sementara itu, dalam waktu dekat setelah pergantian tahun ke Januari 2024, pelaku investor saham yang melakukan trading di musim window dressing kemungkinan juga masih bisa meraup keuntungan. Ini biasa disebut January effect.
Peneliti Phintraco Sekuritas dalam keterangan tertulis, Jumat, mengatakan, January effect secara historis juga sering terjadi di bursa dalam negeri. Probabilitas penguatan IHSG di Januari dari tahun 2000-2023, menurut data, rata-rata sebesar 58 persen.
”Dari dalam negeri, ekspektasi akan pertumbuhan ekonomi yang lebih positif di tahun politik 2024 diharapkan dapat memberikan peluang January effect di 2024,” ungkapnya.