Permintaan Domestik Jadi Andalan di Tengah Fragmentasi Ekonomi Global
Ekonomi Indonesia bertumpu pada permintaan domestik untuk tumbuh di atas 5 persen pada 2024 mengingat adanya ketegangan geopolitik dan berbagai risiko ekonomi global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegangan geopolitik yang masih akan berlanjut tahun 2024 mendorong banyak negara dunia fokus melindungi ekonomi mereka sendiri, alih-alih berintegrasi dengan ekonomi global. Untuk bisa tumbuh di atas 5 persen tahun depan, ekonomi Indonesia akan bertumpu pada permintaan domestik yang terdiri dari konsumsi rumah tangga, investasi swasta, dan pengeluaran pemerintah.
Hal tersebut disampaikan dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2024 bertema ”Optimisme Penguatan Ekonomi Nasional di Tengah Dinamika Global” yang digelar di Jakarta, Jumat (22/12/2023).
Acara dibuka oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Turut hadir para pemangku kebijakan dan kepentingan ekonomi nasional, di antaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung, serta ekonom senior sekaligus Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri.
Dalam jangka pendek, kami optimistis tahun 2023 ekonomi Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen dan tahun 2024 tumbuh 5,2 persen di tengah berbagai downside risks yang dihadapi.
Airlangga mengatakan, tahun 2024, tensi geopolitik belum akan mereda. Selain itu, dalam periode waktu tertentu negara maju juga masih akan melakukan pengetatan kebijakan moneter untuk meredam inflasi dalam negeri. Kondisi ini akan menyebabkan tingginya gejolak harga komoditas dunia serta tertekannya arus aliran modal asing ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
”Dengan berbagai tantangan tersebut, prospek ekonomi global akan lebih menantang. Dalam jangka pendek, kami optimistis tahun 2023 ekonomi Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen dan tahun 2024 tumbuh 5,2 persen di tengah berbagai downside risks yang dihadapi,” katanya.
Sri Mulyani memaparkan, pertumbuhan 5,2 persen pada tahun 2024 hanya dapat dicapai dengan catatan permintaan domestik dapat terjaga. Pasalnya, sejumlah negara mitra dagang Indonesia, terutama China, tengah menghadapi krisis ekonomi yang tidak dapat dientaskan secara instan.
”Kalau kita lihat konstelasi dunia, tiga mesin ekonomi terbesar, yakni AS, China, dan Eropa, semuanya menghadapi masalah struktural dan fundamental. Agar Indonesia tidak terdampak, domestic demand (permintaan domestik) di dalam negeri harus kita jaga,” ujarnya.
Stimulus fiskal
Dari sisi konsumsi, daya beli masyarakat kelompok bawah yang rentan terhadap kenaikan harga pangan akan dijaga dengan perbaikan dari sisi inflasi barang pokok. Sementara daya beli masyarakat kelas menengah tetap akan dirangsang dengan berbagai kebijakan fiskal untuk menjaga permintaan di sektor properti, konstruksi, dan sektor serupa yang punya efek berganda.
Dari sisi investasi, usaha pemerintah untuk meningkatkan investasi swasta langsung baik berupa penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri akan ditingkatkan melalui program hilirisasi serta transformasi bisnis dalam negeri menuju implementasi program ekonomi hijau.
Adapun dari sisi belanja pemerintah, fiskal negara tetap akan diperuntukan bagi belanja keperluan fundamental jangka panjang, seperti pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan; maupun yang sifatnya counter-cyclical mencakup pemotongan pajak untuk membantu merangsang pemulihan ekonomi.
”Untuk tahun depan, beberapa insentif akan dimodifikasi. Kita akan lebih fokus transfer tunai adalah untuk kelompok paling bawah, kalau middle income akan kita support dari sisi konsumsinya. Investasi kita tetap sebarkan dengan berbagai insentif untuk bisa makin memperkuat fundamental ekonomi Indonesia,” ujar Sri Mulyani.
Ia pun mewanti-wanti agar sektor keuangan tidak mengerem penyaluran kredit tahun 2024 karena bisa menghambat permintaan domestik baik dari sisi konsumsi masyarakat maupun investasi swasta.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur BI Juda Agung mengatakan, dari sisi likuiditas, rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) perbankan tetap terjaga tinggi, sebesar 26,04 persen. Level ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata historis perbankan nasional sebesar 20 persen.
Tabungan menurun
Kendati demikian, sektor keuangan dihadapkan dengan persoalan perlambatan dana pihak ketiga (DPK). Berdasarkan data BI, DPK perbankan pada November tumbuh 3,04 persen secara tahunan, melambat dibandingkan pertumbuhan DPK pada bulan sebelumnya atau Oktober 2023 di level 3,43 persen.
Juda mengatakan, memang pertumbuhan DPK agak lambat karena adanya akses simpanan pada 2020, 2021, hingga 2022 yang naik tajam. ”Ini karena masyarakat enggak konsumsi, sekarang ketika pandemi usai, baru konsumsi,” katanya.
Amannya kecukupan modal perbankan membuat Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar optimistis sektor jasa keuangan akan mendukung berbagai proyek hilirisasi dan ekonomi berkelanjutan yang menjadi tumpuan perekonomian dalam negeri tahun 2024.
”Melihat kondisi 2023 dari kacamata likuiditas dan ruang pertumbuhan kredit, jelas ruang tersebut ada. Tahun depan ketangguhan sektor jasa keuangan apakah itu perbankan, pembiayaan, pasar modal, dan juga industri-industri keuangan lainnya, akan terjaga dengan baik,” ujar Mahendra.
Chatib Basri mengingatkan, penurunan tingkat tabungan saat ini perlu diwaspadai karena bisa menjadi penanda awal bahwa konsumsi mulai melambat. Menurut dia, penurunan tingkat tabungan menjadi indikasi bahwa saat ini masyarakat mulai makan tabungan untuk kebutuhan primer dan mengurangi permintaan untuk barang sekunder dan tersier.
”Ini sejalan dengan data dari Mandiri Spending Index yang menunjukkan pola konsumsi mulai defensif di mana porsi terbesar itu orang konsumsi sekarang adalah untuk makanan,” katanya.
Fenomena masyarakat Indonesia makan tabungan setidaknya sudah terbaca sejak pertengahan 2023. Fenomena tersebut terungkap salah satunya melalui survei konsumen yang dirilis BI. Dalam survei tersebut terlihat bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia mulai meningkat, tetapi diiringi dengan berkurangnya porsi tabungan.
Survei konsumen bulan Oktober 2023 menunjukkan fenomena makan tabungan ini paling menghantam golongan masyarakat kelas menengah hingga bawah. Chatib pun mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan bantuan sosial dan bantuan langsung tunai untuk masyarakat rentan yang bisa mempertahankan daya beli masyarakat ekonomi kelas bawah.
”Apa yang dilakukan dengan kebijakan fiskal saya kira itu sangat tepat. Misalnya dengan bantuan langsung tunai, cash transfer, dan macam-macam untuk mempertahankan konsumsi,” ujarnya.