logo Kompas.id
EkonomiSulit Cari Kerja dan Biaya...
Iklan

Sulit Cari Kerja dan Biaya Hidup Tinggi, Rakyat Tunggu Terobosan Cawapres

Jajak pendapat oleh Litbang Kompas menunjukkan, masyarakat paling menunggu gagasan kandidat presiden dan wakil presiden soal penciptaan lapangan kerja.

Oleh
AGNES THEODORA, DIMAS WARADITYA
· 5 menit baca
Antrean para pencari kerja saat mengikuti bursa kerja Jakarta Job Fair di Pusat Grosir Cililitan, Kramatjati, Jakarta, Selasa (19/9/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Antrean para pencari kerja saat mengikuti bursa kerja Jakarta Job Fair di Pusat Grosir Cililitan, Kramatjati, Jakarta, Selasa (19/9/2023).

JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi yang mampu tumbuh sekitar 5 persen pascapandemi tidak berbanding lurus dengan perbaikan kondisi ekonomi rakyat. Biaya hidup meningkat, masyarakat semakin sulit mencari pekerjaan yang layak. Publik menanti solusi terobosan dari para calon wakil presiden untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja layak dan mengendalikan harga kebutuhan pokok.

Hal itu tampak dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas mengenai topik debat calon wakil presiden yang akan digelar pada Jumat (22/12/2023) ini. Dari delapan tema bidang ekonomi yang diangkat, mayoritas responden atau 58,9 persen menantikan gagasan cawapres terkait isu ekonomi kerakyatan.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Secara spesifik, isu ekonomi kerakyatan yang paling ditunggu-tunggu adalah soal penyediaan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran (32,9 persen dari total responden) serta pengendalian harga kebutuhan pokok (23,8 persen).

Baca juga : Isu Ekonomi Kerakyatan Paling Ditunggu di Debat Cawapres

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang berpihak pada rakyat, yang di Indonesia sebagian besar masih pada level menengah-bawah. Dalam konteks itu, solusi atas isu penciptaan lapangan kerja pun harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat.

”Ketika bicara penciptaan lapangan kerja, ini harus dekat dengan karakteristik masyarakat kita, yang pendidikannya masih banyak di bawah SMA. Jangan menciptakan lapangan kerja yang sulit dijangkau oleh mereka. Tentu saja, bukan hanya memperbanyak dari sisi kuantitas, tetapi juga kualitas,” katanya, Kamis (21/12/2023).

Ia mengatakan, penciptaan lapangan kerja yang layak semakin melambat pascapandemi Covid-19. Porsi pekerjaan di sektor formal terus menurun, sementara pekerjaan di sektor informal meningkat.

https://cdn-assetd.kompas.id/86aUevgQFm7TgLpMZ6QIXeUz7Qw=/1024x1652/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F20%2Fe2f4cd14-33bb-4c7d-8eae-4a2f47914470_png.png

7,86 juta penganggur

Secara umum, tingkat pengangguran terbuka nasional turun pascapandemi. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2023, jumlah penganggur di Indonesia adalah 7,86 juta orang, turun dari 8,4 juta orang (Agustus 2022), 9,1 juta orang (Agustus 2021), dan 9,8 juta orang (Agustus 2020).

Meski demikian, struktur pekerjaan di Indonesia semakin didominasi pekerjaan informal yang kurang layak baik dari segi upah, kepastian kerja, maupun perlindungan ketenagakerjaan. Porsi pekerjaan formal tercatat turun 3,39 persen dalam empat tahun terakhir dari periode Agustus 2019-2023.

”Sebelum pandemi, penciptaan lapangan kerja formal memang sudah terbatas, tetapi trennya masih turun dari tahun ke tahun. Setelah pandemi, pertumbuhan lapangan kerja formal ini semakin melambat,” kata Faisal.

Pembukaan lapangan kerja yang layak otomatis bisa menopang hidup layak.

Lapangan kerja informal yang kian menjamur membuat pengangguran di kelompok masyarakat usia produktif dan kelas menengah meningkat. ”Meski secara umum pengangguran turun, tapi untuk angkatan kerja berpendidikan atau pekerja kelas menengah, banyak yang memilih menganggur daripada harus bekerja, tetapi pekerjaannya tidak layak,” ujarnya.

Lapangan kerja layak, merujuk definisi dari Bank Dunia, adalah pekerjaan yang memiliki upah layak untuk membiayai hidup dengan standar kelas menengah, disertai perlindungan atau jaminan sosial yang memadai, serta adanya kepastian kerja.

Kemacetan terjadi di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, saat jam pulang kerja pada Senin (19/6/2023). Ekonomi Indonesia triwulan I-2023 tumbuh 5,03 persen dibandingkan dengan triwulan I-2022 secara <i>year on year</i>.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Kemacetan terjadi di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, saat jam pulang kerja pada Senin (19/6/2023). Ekonomi Indonesia triwulan I-2023 tumbuh 5,03 persen dibandingkan dengan triwulan I-2022 secara year on year.

Bukan jaminan

Di sisi lain, lapangan kerja formal pun bukan jaminan pekerjaan layak. Merujuk data BPS per Agustus 2023, pekerja di sektor formal dengan serapan tenaga kerja paling tinggi, seperti sektor perdagangan dan pertanian, masih digaji di bawah rata-rata upah nasional. Kenaikan upah di sektor manufaktur juga lambat, hanya sedikit di atas rata-rata upah nasional.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, hal itu terlihat dari munculnya hubungan kerja kemitraan di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital, ekonomi gig, dan investasi besar di sektor perkebunan. Perlindungan untuk pekerja-pekerja mitra tersebut masih sangat minim.

”Ada banyak pekerjaan di sektor-sektor yang seharusnya bersifat formal, tetapi ’diselundupkan’ sebagai pekerjaan informal dengan dalih hubungan kerja kemitraan, sehingga hak-hak pekerjanya menjadi tidak layak,” ujarnya.

Iklan

Pekerja di sektor formal dengan serapan tenaga kerja paling tinggi, seperti sektor perdagangan dan pertanian, masih digaji di bawah rata-rata upah nasional.

Timboel berharap, debat cawapres pada Jumat ini bisa membawa solusi yang tidak normatif untuk menciptakan lapangan kerja yang tidak hanya banyak secara kuantitas, tetapi juga berkualitas.

Ketersediaan lapangan kerja yang layak itu diyakini bisa mengatasi dua problem sekaligus yang saat ini jadi sorotan masyarakat, yaitu pengangguran serta daya beli rakyat yang tergerus oleh kenaikan harga kebutuhan pokok. ”Pembukaan lapangan kerja yang layak otomatis bisa menopang hidup layak,” katanya.

https://cdn-assetd.kompas.id/AV1JXTbH2ZVsN4KGYtjm5M95ZsE=/1024x832/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F08%2F7c26db11-db4d-4cd9-9834-77448cce39ab_png.png

Defisit angkatan kerja

Secara umum, dalam tiga tahun terakhir ini, defisit angkatan kerja masih terjadi. Undang-Undang Cipta Kerja yang digadang-gadang bisa menarik lebih banyak investasi dan menciptakan banyak lapangan kerja ternyata tidak mampu mengatasi defisit angkatan kerja. Pertumbuhan angkatan kerja tetap lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan lapangan kerja.

Berdasarkan kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef), meski nilai investasi asing yang masuk ke Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir semakin tinggi, kontribusi penyerapan tenaga kerja Indonesia tidak sampai 50 persen.

Baca juga : Krisis Kerja Layak di Tengah Naiknya Biaya Hidup

”Investasi yang masuk triliunan, tetapi ternyata lebih banyak yang padat modal dan teknologi, bukan padat karya. Kontribusi penyerapan tenaga kerja justru semakin turun. Ini isu yang perlu dijawab di debat, ada di mana letak masalahnya, apakah isu daya saing tenaga kerja atau investasi yang semakin padat modal?” kata Kepala Center of Trade, Investment, and Industry Indef Andry Satrio Nugroho.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menambahkan, masih ada ketimpangan antara arus investasi yang mayoritas padat modal dan kebutuhan pasar tenaga kerja di Indonesia yang masih didominasi pencari kerja berketerampilan rendah.

”Penyebab rendahnya penyerapan tenaga kerja di Indonesia itu lantaran pemerintah fokus pada program padat modal ketimbang menerapkan usaha padat karya,” ujarnya.

Suasana Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (13/12/2023) pagi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 diproyeksi akan terkoreksi sebagai imbas pelemahan ekonomi global dan tergerusnya daya beli masyarakat akibat inflasi harga pangan.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (13/12/2023) pagi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 diproyeksi akan terkoreksi sebagai imbas pelemahan ekonomi global dan tergerusnya daya beli masyarakat akibat inflasi harga pangan.

Elastisitas turun

Apindo mencatat, ada penurunan serapan tenaga kerja dari investasi selama sembilan tahun terakhir. Pada 2013, setiap Rp 1 triliun investasi yang masuk bisa menyerap 4.594 tenaga kerja. Jumlah itu berkurang drastis dengan serapan 1.379 tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi pada 2022.

Sementara itu, profil tenaga kerja di Indonesia masih didominasi lulusan sekolah dasar (SD) ke bawah atau belum pernah sekolah, dengan persentase 39,1 persen. ”Jadi, penanaman modal ini harus jadi perhatian kita, karena berpengaruh ke penyerapan tenaga kerja. Saat ini, dengan digitalisasi dan teknologi, penyerapan itu sudah berkurang,” katanya.

Masyarakat yang awalnya masih bisa menyisihkan sebagian ’income’ untuk menabung hari ini sudah tidak bisa lagi.

Di tengah minimnya lapangan kerja yang layak itu, biaya hidup sehari-hari terus meningkat. Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengatakan, meskipun inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) masih terjaga sebesar 2,86 persen, inflasi volatile food atau harga barang kebutuhan pokok, seperti makanan, sudah dua kali lipat di atas inflasi IHK.

”Ambil contoh saja, kenaikan harga beras itu sudah lebih dari 7 persen,” kata Eko.

Fenomena biaya hidup yang semakin tinggi ini pun memunculkan masyarakat kelas menengah yang ”mantab” atau mulai memakan tabungan untuk konsumsi sehari-hari. Hal itu tampak dari data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menunjukkan bahwa rata-rata tabungan masyarakat dengan tier saldo di bawah Rp 100 juta (kelompok menengah-bawah dengan rata-rata tabungan Rp 1,9 juta) terus menurun.

Pedagang melayani pembeli di Pasar Tebet Timur, Tebet, Jakarta, Rabu (1/2/2023). Badan Pusat Statistik mencatat laju inflasi pada Januari 2023 sebesar 0,34 persen. Komoditas bahan pangan, seperti cabai merah, cabai rawit, dan beras, menjadi pemicu inflasi.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pedagang melayani pembeli di Pasar Tebet Timur, Tebet, Jakarta, Rabu (1/2/2023). Badan Pusat Statistik mencatat laju inflasi pada Januari 2023 sebesar 0,34 persen. Komoditas bahan pangan, seperti cabai merah, cabai rawit, dan beras, menjadi pemicu inflasi.

”Masyarakat yang awalnya masih bisa menyisihkan sebagian income untuk menabung hari ini sudah tidak bisa lagi. Itu menggambarkan biaya hidup hari ini dibandingkan empat tahun lalu memang naik. Konsumsi masyarakat ’mantab’ ini tetap sama, tetapi harganya naik, sementara kenaikanincome tidak bisa mengimbangi. Itu pun kalau income-nya naik, karena ada juga yang tidak mengalami kenaikan,” kata Eko.

Baca juga : Balada Masyarakat ”Mantab”, Makan Tabungan untuk Hidup Sehari-hari

Solusinya, menurut dia, tidak bisa melulu berupa bantuan sosial (bansos). Hal itu karena kelompok masyarakat yang menggerus tabungan bukan bagian dari masyarakat miskin yang menerima bansos. Alih-alih, pemerintah perlu menghidupkan kembali perekonomian agar pendapatan atau upah masyarakat kelas menengah bisa mengejar biaya hidup yang semakin tinggi.

”Selama ini, solusi ketika daya beli menurun adalah menambah bansos, padahal itu tidak menyelesaikan masalah secara struktural,” ujarnya.

Editor:
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000