Lapangan Kerja Kelas Menengah Menyusut
Penciptaan lapangan kerja layak bagi kelas menengah sudah mandek sejak sebelum pandemi dan semakin turun pascapandemi.
Para pekerja menaiki anak tangga jembatan penyeberangan orang di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, saat jam pulang kerja, Senin (19/6/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Dalam tiga tahun terakhir, ketersediaan lapangan kerja layak di Indonesia terus menurun. Di tengah kenaikan biaya hidup yang tinggi, turunnya porsi pekerjaan dengan upah layak itu bisa menggerus kesejahteraan masyarakat, menghambat pertumbuhan kelas menengah, dan menghambat cita-cita Indonesia menjadi negara maju.
Mengutip laporan terbaru Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Desember 2023, prevalensi pekerjaan layak dengan standar kelas menengah di Indonesia turun cukup signifikan pada periode 2019-2022, dari 14 persen menjadi 9 persen dari total lapangan kerja.
Pada periode tersebut, jumlah pekerja mandiri dan pekerja informal yang bekerja serabutan naik signifikan, sedangkan porsi pekerjaan yang terhitung layak bagi kelas menengah menurun.
Baca juga: Investasi UMK dan Alarm Kerja Layak
Bank Dunia mendefinisikan pekerjaan layak atau pekerjaan kelas menengah (middle class jobs) sebagai pekerjaan yang memiliki upah layak untuk membiayai hidup dengan standar kelas menengah, disertai perlindungan atau jaminan sosial yang memadai, serta kepastian kerja.
Laporan itu sejalan dengan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik bahwa porsi pekerjaan yang terhitung layak bagi kelas menengah di sektor formal turun 3,39 persen dalam waktu empat tahun terakhir dari periode Agustus 2019-2023.
Di sisi lain, sektor formal pun bukan jaminan kerja layak. Data BPS per Agustus 2023 menunjukkan, pekerja di sektor formal yang serapan tenaga kerjanya tinggi (sektor perdagangan dan pertanian) masih digaji di bawah rata-rata upah nasional.
Ini bukan fenomena baru. Penciptaan lapangan kerja yang berkualitas di Indonesia tercatat sudah mandek sejak sebelum pandemi Covid-19. Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2018, dari total 85 juta tenaga kerja bergaji tetap di Indonesia, hanya 13 juta orang (15,3 persen) yang memiliki pekerjaan berkualitas yang layak sesuai standar kelas menengah.
Sementara, hanya 3,5 juta orang (4,1 persen) yang mendapat gaji di atas standar kelas menengah. Sisanya, 68,5 juta orang atau 80,6 persen, memiliki pekerjaan tidak layak dengan upah rendah serta minim perlindungan dan kepastian kerja.
Jika porsi lapangan kerja layak di Indonesia terus turun, pada satu titik itu bisa menghambat pertumbuhan kelas menengah.
Diperburuk pandemi
Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab, Rabu (13/12/2023), mengatakan, meski ekonomi Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen dan jumlah pengangguran menurun, lapangan kerja yang tercipta belum cukup berkualitas untuk menopang pertumbuhan kelas menengah.
Kondisi itu diperburuk akibat pandemi. Laju investasi menurun, sementara banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Ketika pandemi usai, investasi yang masuk tidak cukup mampu menciptakan lapangan kerja baru yang layak.
Sebaliknya, pertumbuhan lapangan kerja informal, yang turut didorong oleh pesatnya digitalisasi dan ekonomi gig, kian menjamur. Masyarakat yang ”terlempar” dari lapangan kerja formal pun beralih ke sektor jasa dan sektor informal, seperti tampak dari naiknya jumlah pengemudi transportasi daring pascapandemi.
”Ibaratnya, jika Anda terjatuh saat memanjat gunung, Anda akan terluka dan butuh waktu yang lebih lama untuk pulih kembali,” kata Habib dalam konferensi pers di Jakarta.
Ekonom senior Bank Dunia, Wael Mansour, mengatakan, meski tidak semua pekerjaan yang muncul di sektor jasa berupah rendah, seperti staf marketing atau programmer, sebagian besar pekerjaan yang muncul di sektor tersebut tidak memiliki standar upah tinggi.
Menurut dia, jika porsi lapangan kerja layak di Indonesia terus melanjutkan tren penurunan, pada satu titik itu bisa saja menghambat pertumbuhan kelas menengah. Hal itu bisa mengancam cita-cita Indonesia menjadi negara maju. Pada 2045, pemerintah menargetkan pendapatan per kapita RI bisa menembus 30.000 dollar AS atau Rp 453 juta per tahun.
Baca juga: Kerja Layak untuk Kaum Muda Indonesia
Sebagai perbandingan, saat ini pendapatan per kapita RI sebagai negara berpendapatan menengah-atas adalah 4.580 dollar AS atau sekitar Rp 68,7 juta per tahun.
”Indonesia hitungannya berhasil menurunkan tingkat kemiskinan ekstremnya. Namun, ada porsi populasi lebih besar yang saat ini masih rentan secara ekonomi. Mereka sudah tidak miskin, tetapi mudah jatuh miskin jika sewaktu-waktu terjadi guncangan lagi,” kata Wael.
Bank Dunia mengategorikan kelompok itu sebagai masyarakat ”calon kelas menengah” atau aspiring middle class. Jumlahnya 115 juta orang atau 45 persen dari total populasi Indonesia pada 2018. Ada pula kelompok menengah-bawah yang mendominasi total jumlah kelas menengah sebanyak 52 juta orang atau 19 persen dari populasi.
Biaya hidup naik
Pi saat yang sama, biaya hidup di Indonesia meningkat, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global yang semakin tinggi.
Berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) yang awal pekan ini dikeluarkan BPS, dalam empat tahun terakhir, nilai konsumsi rata-rata atau biaya hidup rumah tangga per bulan di Indonesia naik di kisaran Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Hal itu tecermin dari sepuluh kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia.
Rata-rata biaya hidup yang tinggi di sepuluh kota itu menunjukkan adanya perbedaan tingkat kemampuan konsumsi yang cukup tinggi antara masyarakat kelas atas dan warga yang lebih rentan, seperti kelas menengah-bawah dan miskin.
Kenaikan biaya hidup semestinya tidak menjadi masalah selama tingkat pendapatan masyarakat mampu mengimbangi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, kenaikan biaya hidup tidak akan menjadi masalah selama tingkat pendapatan masyarakat mampu mengimbangi. ”Masalahnya, ketika penciptaan lapangan kerja layak terbatas dan terus turun, kecepatan kenaikan income tidak bisa mengikuti laju kenaikan inflasi,” kata Faisal.
Untuk itu, pemerintah perlu melakukan transformasi ekonomi untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja layak. Sejauh ini, strategi investasi mampu menciptakan lapangan kerja yang banyak, tetapi belum layak.
Ia mencontohkan kebijakan hilirisasi sumber daya alam (SDA) yang kini masih fokus pada sektor pertambangan dan mineral. Untuk menciptakan lapangan kerja lebih banyak, hilirisasi juga perlu diarahkan ke sektor yang lebih relevan dengan struktur sosial masyarakat.
”Kalau hilirisasi diperluas ke perkebunan, pertanian, dan perikanan, itu lebih dekat dengan masyarakat kita sehingga bisa lebih banyak lapangan kerja layak yang menyerap pekerja lokal,” kata Faisal.
Hal ini sebenarnya sudah mulai dilirik pemerintah lewat upaya menarik investasi hilirisasi agrikultur. Namun, berdasarkan catatan Kementerian Investasi, hingga triwulan III-2023, investasi hilirisasi yang masuk masih lebih banyak di sektor tambang dan mineral. Di sektor agrikultur, investasi hilirisasi terbesar baru di minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Baca juga: Biaya Hidup Naik, Rp 14,8 Juta Per Bulan di Jakarta
Selain mendorong penciptaan lapangan kerja layak di dalam negeri, Faisal menilai, pemerintah juga dapat melirik ceruk lapangan kerja yang ada di luar negeri. Saat ini, pekerja migran Indonesia sebagian besar juga masih terserap di sektor informal negara lain.
Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pada tahun 2019-2022, sebanyak 53,9 persen dari total 667.114 pekerja migran Indonesia yang tercatat di BP2MI masih bekerja di sektor informal sebagai tenaga kerja serabutan (blue collar) yang rentan dan minim perlindungan kerja.
”Sebetulnya peluang untuk masuk ke sektor formal di luar negeri ada, tinggal perlu difasilitasi dengan peningkatan skill pekerja dan pengawasan serta perlindungan. Ini bisa menjadi solusi alternatif ketika lapangan kerja layak di dalam negeri minim,” katanya.
Deputi Bidang Ekonomi di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adninggar Widyasanti mengatakan, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), pemerintah sudah memasukkan strategi industrialisasi untuk menciptakan lapangan kerja padat karya yang berkualitas.
Pemerintah juga mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru yang bisa menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas dengan standar upah yang lebih baik. Di luar itu, upaya ”memformalkan” sektor informal sudah dimulai dengan meregistrasi usaha informal lewat kemudahan pengurusan nomor induk berusaha (NIB) dan mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk naik kelas.
”Kita mau menjadi negara maju dan menaikkan pendapatan per kapita kita. Itu berarti income per warga juga harus naik. Caranya dengan memberikan lebih banyak lapangan kerja berkualitas,” kata Amalia.
Baca juga: Balada Masyarakat "Mantab", Makan Tabungan untuk Hidup Sehari-hari