Biaya Hidup Naik, Rp 14,88 Juta Per Bulan di Jakarta
Terdapat 10 kota dengan biaya hidup rumah tangga per bulan tertinggi di Indonesia. Ke-10 kota itu adalah DKI Jakarta, Bekasi, Surabaya, Depok, Makassar, Tangerang, Bogor, Kendari, Batam, dan Balikpapan.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam empat tahun terakhir, nilai konsumsi rata-rata atau biaya hidup rumah tangga per bulan di Indonesia naik di kisaran Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Hal itu tecermin dari 10 kota dengan biaya hidup tertinggi. Kota dengan biaya biaya hidup rumah tangga paling tinggi adalah DKI Jakarta. Biaya hidup di Jakarta naik Rp 1,43 juta per bulan menjadi Rp 14,88 juta per bulan pada Survei Biaya Hidup 2022.
Dalam periode perbandingan Survei Biaya Hidup (SBH) 2018 dengan SBH 2022 tersebut, konsumsi rumah tangga Indonesia juga mulai bergeser dan semakin beragam. Fenomena itu terindikasi dari perubahan sebagian barang/jasa yang dikonsumsi masyarakat.
Hal itu mengemuka dalam Sosialisasi Hasil SBH 2022 yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS) secara hibrida di Jakara, Selasa (12/12/2023). Survei itu dilakukan pada 240.000 rumah tangga dan 847 komoditas di 150 kabupaten/kota.
Sebanyak 150 kota/kabupaten terdiri dari 90 daerah survei lama dan 60 daerah survei baru. Hasil survei, terutama komoditas barang/jasa yang dikonsumsi masyarakat dalam SBH 2022, akan menjadi komponen penghitungan inflasi per Januari 2024.
Dalam empat tahun terakhir, nilai konsumsi rata-rata atau biaya hidup rumah tangga per bulan di Indonesia naik di kisaran Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, berdasarkan hasil SBH 2022, terdapat 10 kota dengan biaya hidup rumah tangga per bulan tertinggi di Indonesia. Kota-kota itu adalah DKI Jakarta, Bekasi, Surabaya, Depok, Makassar, Tangerang, Bogor, Kendari, Batam, dan Balikpapan.
Biaya hidup di kota-kota itu meningkat dalam empat tahun terakhir periode perbandingan SBH 2018 dan SBH 2022. Peningkatan biaya hidup itu dipengaruhi oleh pergeseran pola konsumsi dan bobot nilai konsumsi sejumlah komoditas.
”Kota dengan biaya biaya hidup rumah tangga paling tinggi adalah DKI Jakarta. Biaya hidup di ibu kota Indonesia itu naik Rp 1,43 juta per bulan menjadi Rp 14,88 juta per bulan pada SBH 2022 dari Rp 13,45 juta per bulan pada SBH 2018,” katanya.
Berdasarkan hasil SBH 2022, empat komoditas barang/jasa di DKI Jakarta yang bobot nilai konsumsinya terbesar adalah tarif listrik (6,58 persen), kontrak rumah (5,56 persen), bensin (4,86 persen), dan sewa rumah (4,34 persen). Pada SBH 2018, komoditas dengan bobot nilai konsumsi terbesar adalah kontrak rumah (6,27 pesen), sewa rumah (5,37 persen), tarif listrik (3,98 persen), dan bensin (3,32 persen).
SBH 2022 juga mencatat 10 kota/kabupaten dengan biaya hidup terendah di Indonesia. Kesepuluh daerah itu adalah Cilacap, Maumere, Sibolga, Kudus, Tegal, Purwokerto, Singaraja, Sumenep, Jember, dan Waingapu.
Dalam empat tahun terakhir, Cilacap menjadi kota dengan biaya hidup rumah tangga terendah meskipun biaya hidup di daerah tersebut naik. Biaya hidup rumah tangga per bulan di Cilacap itu naik sekitar Rp 490.000 dari Rp 4,88 juta pada SBH 2018 menjadi Rp 5,37 juta pada SBH 2022.
Biaya hidup di DKI Jakarta naik Rp 1,43 juta per bulan menjadi Rp 14,88 juta per bulan pada SBH 2022 dari Rp 13,45 juta per bulan pada SBH 2018.
Di samping itu, survei tersebut menggambarkan perubahan jumlah dan jenis komoditas barang/jasa dalam empat tahun terakhir. Jumlah komoditas barang/jasa dalam SBH 2022 bertambah menjadi 847 komoditas dari 835 komoditas pada SBH 2018. Dari jumlah itu, sebanyak 758 komoditas merupakan komoditas lama, 89 komoditas baru, dan 77 komoditas lama yang tidak terpilih lagi dalam SBH 2022.
Komoditas lama yang tidak terpilih lagi antara lain antena televisi, pemutar VCD/DVD, majalah, dan tabloid. Adapun komoditas barunya antara lain berupa tarif LRT/MRT, masker, gas bumi rumah tangga, peralatan rokok elektrik, dan penyanitasi tangan.
Pola konsumsi
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Statistik Harga BPS Windhiarsho Ponco Adi menambahkan, dalam empat tahun terakhir, bobot nilai konsumsi kelompok makanan juga meningkat. Bobot nilai konsumsi makanan naik dari 33,68 persen pada SBH 2018 menjadi 38,04 persen pada SBH 2022.
Menariknya, bobot nilai konsumsi tertinggi kelompok makanan, minuman, dan tembakau turun dari 25,01 persen pada SBH 2018 menjadi 24,98 persen pada SBH 2022. Sementara penyediaan makanan dan minuman atau resotoran justru naik dari 8,67 persen menjadi 10,2 persen.
”Ini menunjukkan ada perubahan pola konsumsi yang dirasakan di rumah tangga kita. Yang tadinya ibu-ibu memasak di rumah, kini membeli makanan jadi baik secara daring maupun luring,” katanya.
Windhiarso menambahkan, tingkat pergeseran atau perubahan pola konsumsi masyarakat di setiap daerah juga berbeda. Namun, jika dilihat berdasarkan biaya hidup di setiap pulau di Indonesia, terjadi kenaikan bobot konsumsi energi khususnya pada bensin dan listrik, serta biaya langganan internet.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Wahyu Agung Nugroho menekankan perlunya mencermati pergerakan pola konsumsi masyarakat dari barang ke jasa. Hal penting mengingat perubahan demografi Indonesia ke depan lebih banyak didominasi oleh generasi muda.
”Perubahan demografi Indonesia ke depan yang bakal didominasi generasi muda akan membawa perubahan pola konsumsi dan bagaimana inflasi terbentuk. Hal itu sudah terjadi di Amerika Serikat yang inflasinya sekarang lebih dominan disebabkan konsumsi jasa ketimbang barang,” katanya.
Perubahan demografi Indonesia ke depan yang bakal didominasi generasi muda akan membawa perubahan pola konsumsi dan bagaimana inflasi terbentuk.
Wahyu menjelaskan, pola konsumi generasi muda cenderung ke jasa ketimbang barang. Mereka juga memiliki sumber pendanaan yang berbeda karena sudah terbiasa dengan gawai sehingga bisa mengakses pembiayaan-pembiayan digital seperti teknologi finansial dan urun dana.
Metode belanja generasi muda, lanjut Wahyu, juga lebih cenderung ke daring ketimbang luring. Jika semakin masif dilakukan, hal itu akan menciptakan kompetisi yang lebih ketat di kalangan para pedagang.
Biaya dagang akan menjadi lebih efisien dan margin dagang akan lebih ketat. Namun, harga barang yang dijual secara daring bisa lebih murah atau terkendali ketimbang luring sehingga inflasi barang tersebut akan lebih rendah secara struktural.