Rencanakan Bebas Visa 20 Negara, Pengawasan Wisatawan Mancanegara Perlu Ditingkatkan
Rencana pemerintah membebaskan visa kunjungan bagi 20 negara didukung sekaligus dikritisi sejumlah pihak. Regulasi ini perlu dikaji matang agar tak berbalik menjadi senjata makan tuan bagi pariwisata dalam negeri.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana memberikan bebas visa pada 20 negara yang berpotensi mendorong wisata berkualitas, terutama wisatawan dari negara dengan pendapat per kapita yang tinggi. Meski pengusaha mendukung wacana ini, sejumlah pihak mengingatkan rencana ini jangan sampai menciptakan masalah baru.
Pemerintah tengah mengkaji regulasi bebas visa bagi 20 negara yang dianggap berkontribusi menyumbang pariwisata berkualitas di Indonesia. Pariwisata berkualitas yang dimaksud adalah wisatawan asing yang tinggal lebih lama dan membelanjakan uang lebih banyak. Pariwisata jenis ini akan berdampak bagi ekonomi di daerah tujuan wisata.
”Kami dorong agar bebas visa kunjungan ini bisa jadi topik yang segera diputuskan. Presiden kasih waktu akhir tahun sampai awal tahun depan. Rapat di kementerian dan lembaga terus berlangsung,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam konferensi pers mingguan, di Jakarta, Senin (18/12/2023) sore.
Negara-negara yang dibidik menyumbang wisata berkualitas adalah Australia, Selandia Baru, India, China, Korea Selatan, Jepang, Rusia, Taiwan, Italia, Spanyol, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. Lainnya merupakan negara yang dianggap berkontribusi pada investasi serta ekonomi Indonesia, yakni Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, serta negara Timur Tengah yang diusulkan menerima bebas visa kunjungan. Negara-negara itu masuk dalam 20 negara prioritas, selain negara-negara ASEAN.
Sandi mengatakan, Presiden menekankan pergerakan wisatawan mancanegara ini bisa berdampak positif bagi masyarakat Indonesia, baik investasi maupun ilmu pengetahuan yang dibawa. Alhasil, pertimbangan positif perlu dilakukan. Menurut kajian, ke-20 negara akan memberikan pemasukan yang besar sekaligus penyumbang wisatawan terbanyak.
Negara-negara ini dipilih berdasarkan sejumlah pertimbangan. Beberapa di antaranya aspek pendapatan per kapita di tempat asal, durasi tinggal (length of stay), rata-rata pengeluaran selama mengunjungi destinasi di Indonesia, serta jumlah wisatawan yang akan bepergian ke luar negeri(outbound).
Wacana ini disambut positif kalangan pengusaha. Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengemukakan, negara-negara bidikan pemerintah memang memiliki rekam jejak positif di Indonesia, sesuai data historisnya.
”Lebih baik mereka (wisatawan mancanegara) datang ke sini. Kita perlu mereka, kok. Kita lihat kepentingan kita, jadi kita yang aktif saja,” kata Hariyadi, Selasa (19/12/2023).
Kenaikan volume wisatawan justru mengerek naik harga-harga di lokasi wisata. Sebaliknya, jika volumenya rendah, pelaku usaha berisiko banting harga. Bali, misalnya, bisa mencapai titik tertentu yang mengakibatkan harga di sekitar terasa mahal. Hal ini didorong unsur harga tiket, hotel, harga belanja yang mahal sehingga wisatawan pun tersaring.
Pendapat berbeda dikemukakan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari. Pembebasan visa pada 20 negara ini dianggap tak bersifat resiprokal. Sebab, wisatawan Indonesia yang akan bepergian ke negara-negara tersebut dibebankan persyaratan kompleks dan ketat sebelum diizinkan datang. Sebaliknya, Indonesia justru membuka lebar gerbang kedatangan.
vKalau dia (wisatawan asing) masuk negara kita bebas, tapi kita masuk negara mereka tidak bebas, kan, tidak resiprokal namanya, tidak adil. Itu, kan, konsep keadilan. Jadi kita memperendah, melihat bahwa negara kita dipermudah, sedangkan kita masuk negaranya dipersulit,” tutur Azril.
Setidaknya ada ada perjanjian antara Indonesia dan negara bersangkutan, kerja sama terkait pengurusan visa. Selain itu, sejauh ini belum ada jaminan wisatawan mancanegara yang akan datang ke Indonesia dapat memenuhi aspek-aspek yang ditargetkan pemerintah. Alasannya, tak ada persyaratan mereka wajib memiliki cukup dana untuk berbelanja. Apabila hal ini dibiarkan terjadi, justru dapat menciptakan masalah baru, seperti banyaknya turis asing yang menyalahi aturan di Bali.
Penerbangan langsung
Kebijakan bebas visa untuk 20 negara ini dapat diterapkan dengan beberapa catatan dan persyaratan penting. Tujuannya supaya rencana ini efektif didukung dari berbagai aspek.
Hariyadi mengingatkan agar pembebasan visa bagi 20 negara ini perlu diikuti dengan promosi yang efektif, diikuti beragam acara dan atraksi. Tanpa upaya tersebut, sektor pariwisata Indonesia tetap tak terangkat.
Sejauh ini, harga hotel dan tiket penerbangan langsung cukup kompetitif. Namun, daya tariknya menurun ketika wisatawan asing harus melalui banyak transit hingga mencapai tujuan akhirnya.
”Turis biasanya enggak suka kebanyakan transit, mereka pada malas juga. Jadi, kalau bisa dengan penerbangan langsung akan mendorong makin banyak yang datang juga,” kata Hariyadi.
Pelayanan di imigrasi juga penting agar mereka tak terlalu lama mengantre. Hal ini menjadi impresi awal kunjungan ke Indonesia.
Hal serupa pernah diutarakan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Addin Maulana. Dalam analisisnya berdasarkan data Tiket.com, para wisatawan mancanegara Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan Pasifik memiliki durasi lama tinggal yang lebih panjang ketimbang Asia. Hal ini membentuk tren pariwisata berkualitas karena pengeluaran yang dikeluarkan tentu lebih tinggi ketika durasi tinggalnya lebih lama.
Namun, minimnya ketersediaan penerbangan langsung ke Indonesia berisiko menurunkan durasi tinggal para wisman. Lebih banyak transit, maka lama tinggal makin pendek.
”Kalau dibiarkan terjadi, makin turun lama tinggalnya. (Kita) harus mempermudah akses ke Indonesia, poin-poin (transit) harus dikurangi karena memakan waktu dan melelahkan. Sampai Indonesia sudah lelah dan ada pertimbangan waktu lain untuk tinggal,” tutur Addin, Rabu (13/12/2023).
Pengawasan turis
Kebijakan bebas visa bagi 20 negara diharapkan menggaet lebih banyak wisatawan mancanegara berkantong tebal. Namun, risiko wisatawan yang melanggar aturan tetap terbuka sehingga justru jadi bumerang bagi Indonesia.
Menurut Azril, pemantauan pariwisata Indonesia lemah. Tak ada sistem atau pihak yang memantau berapa banyak wisatawan membelanjakan uangnya. Jangan sampai yang menikmati kebijakan ini justru turis-turis beransel (backpacker). Sistem yang makin membebaskan siapa saja masuk justru bisa menurunkan kualitas wisata karena mengarah pada konsep berlibur massal.
Ia menyarankan kebijakan ini perlu diikuti dengan persyaratan dana minimal yang perlu disiapkan wisatawan saat berkunjung ke Indonesia. Hal ini mencegah mereka jadi turis telantar hingga mencari pekerjaan sambilan di sini yang lagi-lagi menyalahi aturan.