Pergerakan Wisatawan Tinggi, tetapi Durasi Menginap Rendah
Naiknya pergerakan wisatawan tak berbanding lurus dengan durasi menginap mereka. Pengemasan wisata perlu ditingkatkan sehingga tak hanya "menjual" satu destinasi, tetapi juga beberapa tempat dalam satu paket perjalanan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rata-rata lama menginap wisatawan Nusantara dan mancanegara belum tembus dua hari hingga September 2023 walau jumlah perjalanannya meningkat. Selama ini pemerintah dianggap masih terpaku dengan kuantitas pergerakan wisatawan, padahal durasi menginap mampu mendorong perputaran uang di suatu destinasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perjalanan wisatawan Nusantara pada triwulan III-2023 naik 13,36 persen secara tahunan. Pertumbuhan tertinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan pertumbuhan hingga 372,87 persen.
Menanggapi data tersebut, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Vinsensius Jemadu mengatakan, pertumbuhan pergerakan wisatawan NTB terdongkrak dengan serangkaian acara di kawasan Mandalika, Kota Mataram.
Hingga September, setidaknya ada tujuh kegiatan telah dilakukan, antara lain, Asia Road Race Championship serta Tha Mandalika 109 Ultra Trail Run Race. Alhasil, acara itu meningkatkan jumlah serta durasi tinggal wisatawan.
”Event tersebut juga diharapkan dapat menjadi pull factor untuk wisatawan agar berkunjung ke daerah di sekitar kawasan penyangga Mandalika,” ujar Vinsensius secara tertulis saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Meski secara nasional pergerakan wisatawan domestik naik, tak berdampak signifikan pada lama menginapnya. Padahal, aspek ini dapat menjadi indikator wisatawan membelanjakan uangnya di suatu daerah.
Di NTB, wisatawan mancanegara dan Nusantara rata-rata menghabiskan 1,89 hari. Angka tersebut sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata nasional, yakni 1,62 hari.
”Kita juga harus memperhitungkan length of stay, berapa lama dia (wisatawan) tinggal. Biar sedikit, tapi kalau bisa 1-2 minggu bisa lebih bagus. Ini, kan, enggak jadi perhatian pemerintah,” ujar Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari.
Hal serupa diakui pendiri Indonesia Tourism Strategist, Taufan Rahmadi. Ia menilai, pariwisata NTB memang menunjukkan tren positif, apalagi menjelang libur Natal dan Tahun Baru. Namun, idealnya mereka dapat tinggal minimal tiga hari.
Selama ini hambatannya pada varian paket liburan dan destinasi wisata yang masih minim. Aktivitas yang ditawarkan pada pengunjung perlu lebih banyak dan bervariasi.
Sisa dampak pandemi
Durasi tinggal wisatawan di Indonesia memang belum pulih dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Saat ini target-target kunjungan rata-rata hanya setengah dari periode sebelum pandemi.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Maulana Yusran berharap, durasi tinggal wisatawan bisa perlahan ke level 2-3 hari, kemudian semakin meningkat. Semakin panjang lama tinggalnya, maka dampaknya semakin besar untuk devisa serta perputaran uang di daerah.
”Banyak length of stay itu, bukan hanya spending dan devisa (bertambah). Terkait okupansi hotel juga pasti akan meningkat,” kata Maulana.
Serupa dengan Taufan, MICE dinilai dapat menarik wisatawan untuk tinggal lebih lama. Sebab, acara biasanya diadakan paling cepat 2-3 hari. Cara ini mendorong mereka untuk memperpanjang durasi tinggalnya.
”Kalau leisure (bersantai) enggak terlalu umum untuk memaksa length of stay meningkat,” ujarnya.
Rendahnya durasi tinggal wisatawan disebabkan krisis dan perang global yang mengerek naik biaya berlibur. Padahal, keselamatan dan kenyamanan merupakan aspek utama pada sektor pariwisata.
Dalam jangka panjang, aktivitas dan destinasi perlu ditingkatkan. Integrasi pengemasan pariwisata Indonesia perlu jadi perhatian. Pulau Jawa memiliki beragam moda transportasi sehingga masyarakat dapat memilih sesuai kebutuhannya.
Paket-paket berlibur perlu ”dijahit” menjadi beragam bundling. Alhasil, fokusnya tak hanya wisata pada satu destinasi, tetapi satu paket bisa digunakan untuk berkunjung ke banyak daerah. Misalnya, paket wisata dari Bali dapat berlanjut dengan bus ke Yogyakarta, Bandung, hingga berakhir di Jakarta.
”Enggak cuma jual satu destinasi saja. Ini harus kita dorong untuk jangka panjangnya,” ujar Maulana.