Nostalgia Pandemi dan Ekonomi Dunia yang Semakin ”Egois”
Pandemi yang semestinya mengajak dunia bekerja sama justru mengungkap sifat individualis tiap negara di masa krisis.
Foto aerial lalu lintas lengang di Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (22/3/2020).
Covid-19 menyadarkan kita akan banyak hal. Tentang betapa terhubungnya setiap negara dalam satu rantai ekonomi yang besar sekaligus betapa rapuhnya koneksi bernama globalisasi itu. Kini, mimpi buruk pagebluk sudah berakhir, menyisakan dunia yang lebih kikuk dan semakin egois.
Suasana Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat, terasa cair dan riuh rendah dengan tawa. Hari itu, 15 Januari 2020, Presiden AS Donald Trump bertemu Wakil Perdana Menteri China Liu He untuk menandatangani ”gencatan senjata” fase pertama atas perang dagang yang berlangsung hampir dua tahun di antara kedua negara adidaya itu.
Beberapa bulan sebelumnya, relasi AS-China sedang panas-panasnya. Keduanya saling serang dengan kebijakan tarif dagang tinggi untuk sejumlah komoditas. Perang tarif berlanjut ke aksi proteksi dagang saat AS melarang penggunaan komponen semikonduktor asal China karena ”mengancam keamanan negara”. Di sektor politik, AS ikut mendukung gerakan pro-demokrasi di Hong Kong, membuat China berang dan menambah sanksi ekonomi ke AS.
Baca juga: Ekonomi Dunia Kini Kawan atau Lawan, RI Mau Berdiri di Mana?
Pertemuan Trump-Liu He pada awal tahun 2020 pun dinantikan dunia. ”Banyak orang mengira momen ini tidak akan pernah terjadi. Sejujurnya, ini seharusnya sudah bisa kita capai sejak 25 tahun yang lalu,” kata Trump, disambut tawa perwakilan kedua negara, seperti dikutip dari arsip transkrip Gedung Putih.
Demikian gambaran suasana di awal tahun 2020. Ekonomi dunia sedang kuat-kuatnya. Tensi AS-China menurun dengan ditekennya kesepakatan dagang fase pertama. Di dalam negeri, Indonesia habis berbangga diri karena mampu menurunkan angka kemiskinan ke titik terendah dalam sejarah. Pertumbuhan ekonomi nasional masih terjaga di atas 5 persen.
Namun, hanya tiga bulan kemudian, virus Covid-19 yang bersumber dari kota kecil di Wuhan, China, mendunia. Apa yang terjadi berikutnya ibarat rangkaian adegan film distopia yang bereskalasi cepat dan semakin buruk.
AS-China kembali saling tuding, kali ini soal asal-muasal virus. Gencatan senjata dilupakan. Pandemi menyebar dan menghantam ekonomi semua negara. Pengangguran dan kemiskinan meroket. Negara-negara mengisolasi diri. Rantai pasok global macet dan terdisrupsi. Inovasi vaksin memberi harapan, tetapi memunculkan masalah baru berupa ketimpangan pasokan antara negara maju, berkembang, dan miskin.
Mengutip artikel ”The Roots of the Global South’s New Resentment” pada 8 September 2023 di Foreign Affairs, keegoisan negara maju saat pandemi semakin memperkeruh krisis rasa percaya di kalangan negara berkembang dan miskin, alias ”The Global South” atau ”Dunia Bagian Selatan”.
Pada akhir 2021, ketika penduduk AS dan Inggris sudah mulai menerima dosis vaksin booster ketiga, 98 persen penduduk di negara berpendapatan rendah bahkan belum mendapat dosis vaksin pertama dan kedua. Setelah pandemi, utang dari negara maju pun semakin menjerat negara berkembang dan miskin.
Dari pandemi kita sadar bahwa di masa-masa krisis, kita ini sebenarnya sendirian. (Chatib Basri)
Alhasil, ketika Covid-19 mulai menjinak, dunia telanjur sudah tidak saling percaya. Saat krisis lain yang sama besarnya muncul, seperti invasi Rusia-Ukraina dan ancaman krisis iklim, tensi geopolitik memuncak. Rantai pasok global yang sedang berusaha pulih kembali terpukul. Relasi AS-China memburuk. Tak lama, perang Hamas-Israel terjadi, semakin mendorong fragmentasi geopolitik.
Globalisasi rapuh
Mengutip ekonom senior Muhamad Chatib Basri, pandemi mengungkap kerapuhan globalisasi dan segudang masalah dalam sistem tatanan dunia yang sudah lama ada. ”Dari pandemi kita sadar bahwa di masa-masa krisis, kita ini sebenarnya sendirian,” kata Chatib dalam diskusi di Annual International Forum of Economic Development and Public Policy (AIFED) Ke-12 di Bali, Jumat (8/12/2023).
Pandemi yang semestinya menyadarkan dunia untuk saling bekerja sama justru mengungkap sifat individualis tiap negara saat berhadapan dengan krisis. Tensi geopolitik yang memuncak membuat dunia semakin egois. Negara-negara sibuk mengurus kepentingannya sendiri atau kepentingan negara kawan.
Sejumlah kebijakan baru yang bernuansa inward-looking muncul pascapandemi, seperti Inflation Reductiton Act (IRA) oleh AS. UU itu mengatur insentif hijau bagi perusahaan yang menjalankan bisnis ramah lingkungan, tetapi dibatasi untuk negara pemasok yang sudah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS. Olahan nikel Indonesia termasuk yang dirugikan lewat UU tersebut.
”Istilah keamanan ekonomi (economic security) dan friend-shoring semakin populer, sebuah justifikasi atas rapuhnya globalisasi kita,” ujar Chatib.
Baca juga: WTO: Restriksi Dagang Makin Meningkat
Peta geoekonomi
Seberapa terfragmentasi sebenarnya ekonomi dunia saat ini? Deputy Division Chief di Departemen Riset Dana Moneter Internasional (IMF) Andrea Presbitero mengatakan, pergeseran peta perdagangan dan dan investasi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan dunia sedang memasuki era tatanan ekonomi baru.
Proteksionisme dagang meningkat tajam dalam tiga tahun terakhir. ”Ada sekitar 3.000 instrumen restriksi dagang dan investasi yang diterapkan selama tahun 2022, hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan tahun 2019,” kata Andrea.
Dunia juga terbagi dalam kubu kawan atau lawan. Secara praktis, peta geoekonomi saat ini bisa dibagi ke dalam tiga kubu besar. Pertama, kubu AS (AS, Uni Eropa, dan beberapa negara maju lainnya, seperti Jepang dan Korea Selatan). Kedua, kubu China (China, Rusia, sejumlah negara Asia Tenggara, dan negara lainnya). Ketiga, kubu non-blok (India, Indonesia, negara Amerika Latin dan Karibia, serta Global South).
Data IMF menunjukkan, tiga tahun terakhir ini, kinerja perdagangan tumbuh lebih lambat di antara blok ekonomi yang berbeda. Sementara, arus perdagangan di dalam blok yang sama serta dengan kubu non-blok, naik signifikan.
Di sektor investasi langsung, arus penanaman modal juga turun signifikan lintas blok yang berbeda. Sementara, arus investasi antarnegara dalam satu blok yang sama terus tumbuh seiring waktu, dari sekitar 40 persen pada tahun 2023 menjadi lebih dari 50 persen pada periode 2021-2022.
Jika mau kompetitif, kita juga harus bisa mengekspor ke AS dan Eropa. Ini sulit dilakukan kalau kita terlalu terkonsentrasi dengan China.
Posisi Indonesia
Peta perdagangan dan investasi saat ini menunjukkan, negara-negara yang tidak mengambil sikap seperti Indonesia masih diuntungkan. Ketika ekspor China ke AS turun drastis dari 21 persen (2018) menjadi 13 persen (2023), ekspor negara-negara Asia Tenggara dan Meksiko ke AS tumbuh signifikan.
Demikian pula, saat China turun kelas dari destinasi teratas investor AS pada tahun 2018 menjadi destinasi terbawah pada 2023, investasi AS ke India meroket dalam hitungan bulan.
Namun, Andrea menilai, jika tensi geopolitik ke depan kian menguat, posisi negara non-blok tidak selamanya beruntung. ”Ketidakpastian terkait sikap geopolitik dan aliansi di masa depan pada satu titik bisa saja menghambat arus perdagangan dan investasi ke negara non-blok,” katanya.
Baca juga: Ambisi Penurunan Emisi Lahirkan Proteksi Dagang Baru
Mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, RI mesti berkawan dengan semua blok sambil tetap menjaga relasi dengan AS, China, dan Eropa. Ia menyoroti posisi RI terkait komoditas mineral yang belakangan disoroti AS dan Eropa mengingat mayoritas nikel RI diolah perusahaan China.
Ikatan investasi yang kuat dengan China itu telah mengganggu negosiasi Pemerintah RI dengan AS untuk perjanjian perdagangan bebas terbatas khusus nikel. ”Jika mau kompetitif, kita juga harus bisa mengekspor ke AS dan Eropa. Ini sulit dilakukan kalau kita terlalu terkonsentrasi dengan China,” ujarnya.
Menurut dia, strategi kunci yang bisa dilakukan RI adalah memperkuat rantai pasok regional. RI bisa menjadi bagian dari rantai pasok kawasan yang menyuplai kebutuhan pasar global. Data IMF menunjukkan, alih-alih memutus rantai dagang sepenuhnya dengan China, AS hanya mengalihkan jalur dagangnya (rerouting) melalui negara penghubung lain, mayoritas dari negara ASEAN dan Meksiko.
Itu terlihat lewat data ekspor produk baterai listrik (EV). Negara-negara yang ekspor baterai listriknya meningkat ke AS dalam lima tahun terakhir ini juga mengimpor lebih banyak produk baterai EV dari China. Investasi EV dari China ke negara-negara itu juga meningkat di periode yang sama.
”AS sekarang masih merumuskan aturan baru, berapa persen konten China yang bisa mereka izinkan masuk ke negara mereka atau berapa persen kepemilikan saham China di sebuah perusahaan yang mereka ajak kerja sama. Hub regional ini bisa jadi jalan tengah untuk kita sehingga kita bisa tetap menerima investasi dari China, tetapi tetap berhubungan dagang dengan AS,” kata Mari.