Ekonomi Dunia Kini ”Kawan atau Lawan”, RI Mau Berdiri di Mana?
Indonesia akan pragmatis dan mengoptimalkan posisi tidak berkonflik untuk mengisi kekosongan di rantai pasok global.
BADUNG, KOMPAS — Ekonomi dunia semakin terfragmentasi dan terbelah ke sejumlah blok kawan atau lawan. Indonesia mesti bersiap menghadapi kemungkinan pergeseran kekuatan global di masa depan dan hati-hati menyusun strategi aliansi ekonomi agar tidak tertinggal dalam rantai pasok global. Pemilu 2024 pun menjadi pertaruhan agar reputasi Indonesia di panggung global tetap terjaga setelah rezim berganti.
Diskursus mengenai masa depan tatanan ekonomi dunia akhir-akhir ini semakin sering mencuat dalam berbagai forum internasional di tengah kondisi geopolitik yang semakin terfragmentasi. Ajang Annual International Forum of Economic Development and Public Policy (AIFED) yang ke-12 pada 6-7 Desember 2023 pun ikut mengangkatnya dengan tema ”The Fragmented World: Recalibrating Development Strategies”.
Saat membuka forum AIFED, Rabu (6/12/2023) di Nusa Dua, Badung, Bali, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dunia yang dulunya saling terkoneksi dalam panggung globalisasi kini semakin terbelah ke dalam kubu-kubu geopolitik dan geoekonomi, khususnya di lingkup perdagangan, investasi, dan keuangan.
Baca juga: Indonesia di Tengah Dunia Multipolar
Kerja sama ekonomi antarnegara tidak lagi dibangun berdasarkan efisiensi atau hitung-hitungan paling menguntungkan, tetapi kawan atau lawan. Negara-negara menjadi lebih inward looking atau mengutamakan kepentingan domestiknya. Kebijakan bernuansa proteksionisme dan populisme pun semakin menguat di sejumlah negara.
Gelagat dunia yang semakin mengarah ke deglobalisasi itu sebenarnya mulai tampak sejak krisis keuangan global pada tahun 2008, tetapi semakin menjadi-jadi pascapandemi Covid-19, terutama setelah perang Rusia-Ukraina dan Hamas-Israel. Ke depan, ketegangan politik global itu diperkirakan akan terus berlanjut dan berpotensi menggeser poros kekuatan ekonomi global.
”Perdagangan bebas yang semestinya seimbang dan saling menguntungkan kini menjadi urusan menang atau kalah, kawan atau lawan. Ini menciptakan dinamika ekonomi yang benar-benar baru. Entah teori yang dulu kita pelajari sudah usang dan perlu diubah, atau cara kita memandang dunia yang memang sudah berubah,” kata Sri Mulyani.
Dalam konteks dunia yang berubah cepat dengan aliansi ekonomi baru yang terbentuk itu, Indonesia perlu pintar-pintar mengambil sikap. Apalagi, ujar Sri Mulyani, Indonesia sedang berupaya naik kelas dari status negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi. Kalau salah mengambil posisi, fragmentasi geoekonomi saat ini bisa mempersulit jalan menuju cita-cita tersebut.
Kita perlu berbuat lebih agar posisi Indonesia lebih aman dalam rantai pasok dunia yang semakin terdisrupsi dan terbelah.
Sejauh ini, Indonesia masih dalam kondisi yang aman di tengah ketidakpastian ekonomi global. Selain karena menganut politik luar negeri yang tidak berpihak ke blok mana pun, Indonesia juga sedang gencar melakukan hilirisasi sumber daya alam. Hilirisasi tersebut membuat Indonesia memiliki posisi tawar lebih dalam tren rantai pasok dunia yang saat ini semakin terfragmentasi.
”Hilirisasi mineral sejauh ini mampu melindungi kita dari ketidakpastian ekonomi global. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Ke depan, kita perlu berbuat lebih agar posisi Indonesia lebih aman dalam rantai pasok dunia yang semakin terdisrupsi dan terbelah,” kata Sri Mulyani.
Bersikap pragmatis
Profesor Ekonomi dan Politik dari University of California, Berkeley, Barry Eichengreen mengatakan, ketegangan AS-China telah membentuk blok-blok ekonomi di sektor perdagangan dan investasi. Tren itu terlihat dari arus investasi langsung ke AS, yang lebih banyak berasal dari negara ”kawan” AS, seperti Jepang, Kanada, Belanda, Inggris, dan Jerman, bukan lagi China.
Di sektor perdagangan, AS juga kini lebih banyak mengimpor produk barang dan jasa dari negara Asia lain di luar China, seperti Thailand, Malaysia, Taiwan, India, Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Sejak 2019 sampai 2022, porsi ekspor China ke AS menurun sangat signifikan.
Sebaliknya, perdagangan antara China dengan negara ”kawan”, yakni Rusia, melonjak ke tingkat tertinggi sejak perang Rusia-Ukraina dimulai pada awal 2022. Pada delapan bulan pertama tahun 2023, perdagangan bilateral antara kedua negara meningkat 32 persen secara tahunan.
Menurut Barry, tanpa perlu berpihak dan terlibat konflik, Indonesia dan ASEAN masih diuntungkan dengan ketegangan AS-China. Ketika kedua negara adidaya itu saling mengurangi kebergantungan satu sama lain, mereka beralih mengimpor produk dari ASEAN atau memindahkan investasinya ke kawasan.
Berdasarkan survei oleh lembaga pemeringkat Kearney, kawasan ASEAN menjadi destinasi investasi paling menarik untuk tiga tahun ke depan. Indonesia menduduki posisi ke-11 di bawah sesama negara ASEAN lainnya, yaitu Malaysia dan Thailand.
Baca juga: Fragmentasi Giring Dunia ke Ekonomi Kawan atau Lawan
”Investasi yang keluar dari China mulai lari ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Di perdagangan, Indonesia juga termasuk negara yang mengalami peningkatan terbesar untuk share impor AS dalam empat tahun terakhir,” ujarnya.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Abdurohman mengatakan, di tengah fragmentasi geoekonomi saat ini, Indonesia akan mengambil sikap pragmatis dan mengoptimalkan posisinya yang tidak berkonflik untuk mengisi kekosongan dari sektor hulu sampai hilir dalam rantai pasok global.
Saat ini, dengan tidak berpihak, Indonesia tetap bisa mengisi rantai pasok di bagian hilir (downstream) dengan China, serta mengisi kekosongan di sektor hulu (upstream) dengan AS. Namun, Indonesia tetap perlu mempelajari tren pergeseran kekuatan global ke depan. Khususnya, untuk beberapa komoditas tertentu, seperti rantai pasok semikonduktor dan turunannya yang semakin terproteksi.
”Setidaknya kita harus bisa memetakan berdasarkan komoditas dan sektor tertentu, aliansi seperti apa yang bisa kita bangun untuk memperkuat ekonomi kita. Untuk semikonduktor, misalnya, kalau kita tidak kerja keras menarik investasi dan memosisikan diri, kita bisa sulit mendapat suplai,” katanya.
Di tengah kondisi seperti ini, kemitraan yang saling menguntungkan di antara negara-negara berkembang harus dijaga.
Perlu beraliansi
Meski sejauh ini masih aman dan diuntungkan, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia Dino Patti Djalal mengatakan, Indonesia yang selama ini memainkan politik luar negeri yang bebas aktif dan tidak berpihak tetap harus bersiap menghadapi dunia yang semakin terfragmentasi.
Indonesia tidak bisa terus terjebak dengan Gerakan Non-blok (Non-alliance Movement) karena gerakan itu sudah tidak lagi relevan. Indonesia tetap harus mengambil sikap menentukan arah aliansi ekonominya, tanpa perlu menjadi lawan dari blok-blok yang saat ini bertikai.
Dino mencontohkan, Indonesia semestinya bisa merapatkan diri dengan gerakan untuk menghidupkan tatanan ekonomi dunia baru yang dimotori oleh kelompok G77. Kubu itu terdiri dari aliansi negara berkembang yang sering disebut sebagai Global South atau dunia bagian selatan, dengan India kini memosisikan diri sebagai ”pemimpin” aliansi.
Sejauh ini, Indonesia dinilai belum bersikap tegas untuk mendukung gerakan negara-negara Global South. ”Kita seharusnya bisa lebih bermain di forum itu, apalagi agenda mereka adalah mereformasi tatanan ekonomi dunia, yang sebenarnya juga sesuai dengan yang kita mau. Di tengah kondisi seperti ini, kemitraan yang saling menguntungkan di antara negara-negara berkembang harus dijaga,” kata Dino.
Selain merapatkan diri dengan Global South, posisi aman yang bisa diambil Indonesia adalah memperkuat aliansi ekonomi secara regional di kawasan Asia Tenggara. Komitmen yang sudah disuarakan lewat KTT ASEAN tahun ini di bawah presidensi Indonesia jangan sampai menghilang begitu saja. ”Supaya apa pun yang terjadi di panggung global, ’rumah’ regional kita setidaknya tetap baik-baik saja,” katanya.
Di sisi lain, merapatkan diri dengan aliansi alternatif seperti G77 dan ASEAN bukan berarti Indonesia mengambil posisi berlawanan dengan dua kubu geopolitik terbesar saat ini, yaitu kubu China dan AS.
”Kita ini ibarat juri, kita bisa ke mana-mana. Kita dekat dengan AS, dengan China, juga dengan Global South. Hanya saja kita perlu strategi. Kalau tidak ada strategi, semua diladeni, kita akan kelelahan juga,” ujarnya.