Medsos Jadi Ruang Memutar Dana Kampanye Tak Resmi
Perputaran dana kampanye di bawah meja di media sosial terjadi melalui para pendengung (”buzzer”) dan banyaknya akun bayangan kandidat anggota legislatif ataupun capres-cawapres. Ini bisa menurunkan kualitas demokrasi.
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial dipercaya masih menjadi ruang perputaran dana kampanye yang tidak resmi. Setiap kandidat sesuai ketentuan wajib melaporkan akun resmi media sosial mereka. Hanya saja, perputaran paling banyak pemasangan iklan terjadi lewat akun relawan ataupun akun tidak resmi kandidat. Fenomena ini jika dibiarkan akan mengakibatkan menurunnya kualitas demokrasi.
”Pola komunikasi politik sudah semakin cair. Politik sekarang pun sudah banyak bekerja dalam banyak interaksi melalui simbol, bahasa, dan visual. Adanya media sosial beserta fitur-fitur inovatifnya, seperti kecerdasan buatan, menjadi kesempatan berkampanye di luar jadwal kampanye resmi,” ujar dosen Departmen Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Arga Imawan, saat menghadiri diskusi ”Iklan Politik di Media Sosial dan Transparansi Pendanaannya” yang diselenggarakan Center for Digital Society (CfDS) UGM, Jumat (8/12/2023), di Jakarta. Diskusi berlangsung secara hibrida.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca juga : Pemilu Masih Dua Tahun Lagi, Hoaks Politik Sudah Masif
Berdasarkan temuan riset CfDS UGM pada 1 Januari 2022–30 September 2023 pada aplikasi X (dulu Twitter), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mencuit 30.593 cuitan, Partai Gerindra 17.057 cuitan, Partai Golongan Karya 5.982 cuitan, Partai Kebangkitan Bangsa 3.468 cuitan, dan Partai Nasional Demokrat 3.182 cuitan.
Sepanjang 1 Januari 2014–8 Oktober 2023, Anies Baswedan mencuit 4.700 cuitan. Lalu, pada 1 Oktober 2013–8 Oktober 2023, Prabowo Subianto mencuit 2.543 cuitan. Adapun dalam kurun waktu 1 Januari 2014–1 Oktober 2023, Ganjar Pranowo mencuit 86.301 cuitan.
Meski demikian, ditengarani terjadi perputaran dana kampanye di bawah meja atau tidak resmi di media sosial yang terjadi melalui para pendengung (buzzer) dan banyaknya akun bayangan kandidat anggota legislatif ataupun calon presiden (capres) - wakil presiden (wapres). Akun-akun ini bertujuan meningkatkan popularitas kandidat.
”Dari tahun 2014, pola kampanye sudah berubah drastis. Pola komunikasi dari tiga capres Pemilu 2024 juga berubah. Capres Prabowo Subianto, misalnya, yang pada saat pemilu 2014 dan 2019 cenderung menggunakan pola komunikasi superstar politik, kini lebih pada politik keseharian. Sebagai contoh, dia suka menyapa follower di X dengan memakai foto kucingnya,” kata Arga.
Tantangan yang dihadapi masyarakat adalah kualitas demokrasi elektoral yang menurun. (Arga Imawan)
Menurutnya, letak permasalahannya adalah pembuktian perputaran dana kampanye bawah meja di ruang digital. Sebab, berdasarkan hasil pengamatannya terhadap tindak lanjut pelanggaran administrasi dana kampanye di Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI), ada jeda waktu dari laporan.
Ketika tidak bisa dibuktikan, laporan pengaduan pelanggaran administrasi dana kampanye akan gugur. Pada saat Pemilu 2019, dari sekitar 17.000 laporan yang masuk, hanya 2.100 laporan yang ditindaklanjuti Bawaslu RI.
Baca juga : Menakar Kekuatan Media Sosial Capres dan Cawapres
Menurut Arga, fenomena ini jika dibiarkan akan mengakibatkan menurunnya kualitas demokrasi. Ruang digital melahirkan praktik perputaran dana kampanye di bawah meja, seperti melalui para buzzer dan belanja iklan di media sosial. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi masyarakat adalah kualitas demokrasi elektoral yang menurun.
Dia memprediksi, fenomena seperti itu akan berlanjut pada masa depan, bahkan sampai saat media sosial mempunyai fitur kecerdasan buatan yang canggih.
Susah ditelusuri
Peneliti dan Senior Program Officer Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M Pratama mengatakan, setiap kandidat capres-cawapres sesuai ketentuan wajib melaporkan akun resmi media sosial mereka. Hanya saja, perputaran paling banyak pemasangan iklan sebenarnya dilakukan lewat akun relawan ataupun akun tidak resmi kandidat.
Pengalaman Perludem dari satu pemilu ke pemilu selanjutnya, dana kampanye di media sosial susah ditelusuri pelaporannya. Apalagi, menjelang pemilu biasanya marak akun-akun bayangan.
”Rasanya juga akan susah untuk menelusuri ada tidaknya aliran suntikan langsung dana dari asing untuk keperluan berkampanye. Sejauh ini, kami mencoba melakukan investigasi aktivitas iklan kampanye dari akun bayangan melalui fitur Meta Ads Library,” katanya
Baca juga : Medsos Menyimpan Potensi Kerawanan Pemilu
Di luar isu perputaran dana kampanye bawah meja di media sosial, Heroik mengatakan masih ada masalah ketidaktransparan pelaporan penggunaan dana kampanye. Sebagai contoh, sesuai Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye Pemilu 2019, total dana kampanye mencapai Rp 2 triliun. Di antara partai politik peserta pemilu, ada yang tidak mengisi berapa banyak pengeluaran di pos pertemuan tatap muka terbatas. Hal seperti ini, menurutnya, tidak masuk akal.
”Kalau dilihat di lapangan, semua partai politik pasti datang menemui konstituennya,” imbuh Heroik. Perludem tidak mempermasalahkan berapa pun nominal belanja kampanye. Hal yang menjadi permasalahan adalah ketidaktransparan pelaporan sehingga dana riil yang dipakai berkampanye bisa lebih besar daripada dana yang dilaporkan.
Sebelumnya, Public Policy and Government Relations Tiktok Indonesia, Faris Mufid, dalam acara temu media di kantor TikTok di Singapura, Kamis (2/11/2023), menyebutkan, setidaknya ada 13 kategori akun yang dianggap sebagai akun pemerintah, politikus, dan partai politik (GPPPA).
Akun itu, misalnya, kategori juru bicara resmi, anggota staf senior, atau pimpinan eksekutif di sebuah partai politik. Contoh lainnya, kategori asosiasi partisan politik untuk partai politik utama. Ketiga belas kategori akun GPPA itu dilarang beriklan politik, promosi mandiri, dan ditutup akses ke fitur gift.
Akan tetapi, jika pemengaruh dan pendengung tertentu membuat konten dengan tema politik, itu masih diperbolehkan sepanjang tidak melanggar Panduan Komunitas Tiktok. Kemudian, apabila ada upaya-upaya mengarahkan narasi-narasi berpihak politik tertentu dengan memakai bot (robot), sistem Tiktok akan mengarahkan kembali ke Panduan Komunitas Tiktok (Kompas, 3/11/2023).
Baca juga : Tiktok Larang Iklan Politik di Aplikasinya