Ditundanya kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota dinilai merupakan momentum membenahi tata kelola perikanan dengan melibatkan partisipasi publik.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah akhirnya menunda pelaksanaan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Penundaan kebijakan yang sempat menuai polemik publik tersebut diharapkan menjadi momentum membenahi sejumlah kebijakan perikanan tangkap.
Penundaan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota tertuang dalam Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B.1954/MEN-KP/XI/2023 tentang Relaksasi Kebijakan pada Masa Transisi Pelaksanaan Penangkapan Ikan Terukur tanggal 29 November 2023. Relaksasi pelaksanaan penangkapan ikan terukur, antara lain menunda pelaksanaan kuota penangkapan ikan dan sertifikat kuota dari yang semula dimulai pada musim penangkapan ikan tahun 2024 menjadi diundur pada 2025.
Penundaan juga berlaku pada skema penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk pemberian kuota penangkapan ikan, PNBP pemindahan kuota, dan PNBP perizinan usaha untuk nelayan lokal yang diterbitkan gubernur. Penundaan dilaksanakan sampai diterbitkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Suherman menegaskan bahwa sesuai SE tersebut penangkapan ikan terukur ditunda atau direlaksasi. SE telah didistribusikan kepada para pihak yang disebutkan dalam SE serta terus disosialisasikan secara langsung kepada para pemangku kepentingan.
”Relaksasi ini harapannya dapat meningkatkan sosialisasi, edukasi, dan menginternalisasi dalam transformasi tata kelola perikanan,” katanya, Selasa (5/12/2023).
Agus menambahkan, kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang telah memiliki perizinan berusaha ataupun yang mengajukan perizinan berusaha baru masih diperbolehkan menggunakan pelabuhan pangkalan sesuai dengan domisili usaha, serta masih boleh melakukan alih muatan kapal. Pelonggaran itu berlaku hingga 31 Desember 2024. Sebelumnya, pemerintah mengarahkan pelaku usaha perikanan hanya boleh mendaratkan ikan di pelabuhan pangkalan yang sesuai dengan zona tangkapan dalam tangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan berkualitas.
Kelonggaran juga diberikan untuk proses migrasi perizinan berusaha kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang mengantongi perizinan daerah dengan wilayah operasional di perairan lebih dari 12 mil. Kapal-kapal itu masih diberi waktu melakukan migrasi perizinan berusaha ke Menteri Kelautan dan Perikanan paling lambat 31 Desember 2024. Selain itu, kewajiban pemasangan alat sistem pengawasan kapal (VMS) bagi kapal dibawah 30 GT juga direlaksasi.
Adapun kebijakan penangkapan ikan terukur yang mengatur pembagian zonasi wilayah pengelolaan perikanan tetap dilaksanakan.
”Penangkapan ikan terukur bertujuan untuk perbaikan tata kelola perikanan tangkap, mulai dari pendataan, perizinan dan keberlanjutan. Sudah berjalan transformasi tata kelola perikanan itu,” lanjut Agus.
Sebelumnya, kegamangan publik tentang penangkapan ikan terukur, antara lain terekam dalam hasil jajak pendapat ”Persepsi Publik terhadap Penangkapan Ikan Terukur” yang digagas Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Ocean Solutions Indonesia dan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta. Hasil survei selama 11 Oktober-4 November 2023 terhadap 202 responden pelaku usaha perikanan, awak kapal dan nelayan itu menyimpulkan penangkapan ikan terukur belum siap dilaksanakan mulai tahun 2024 pada 171 pelabuhan di Indonesia (Kompas, 23/11/2023).
Beberapa poin ketidaksiapan penerapan penangkapan ikan terukur, antara lain sosialisasi publik yang dinilai belum optimal, kesiapan infrastruktur yang minim dan kekhawatiran privatisasi laut oleh oligarki industri perikanan skala besar.
Kotak penyimpanan berisi ikan yang baru diturunkan dari perahu motor di Desa Kawasi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (26/11/2023).
Momentum Pembenahan
CEO Ocean Solutions Indonesia Zulficar Mochtar, saat dihubungi terpisah, menilai, terbitnya Surat Edaran MKP Nomor B.1954/MEN-KP/XI/2023 patut diapresiasi sebagai bentuk pemerintah lebih berhati-hati dalam menerapkan kebijakan dan mau mendengarkan masukan serta perspektif pemangku kepentingan.
Relaksasi kebijakan itu bukan berarti penangkapan ikan terukur berbasis kuota akan dibatalkan, melainkan ditunda untuk tenggang waktu tertentu. Berbagai elemen yang menuai polemik, antara lain terkait penerapan kuota penangkapan ikan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kuota, dan migrasi kapal masih tetap menjadi fokus dan rencana pemerintah.
Zulficar menambahkan, dalam masa transisi atau penundaan itu, terdapat tiga hal yang dinilai perlu menjadi prioritas. Pertama, konsolidasi data, informasi dan aplikasi dari hulu hingga hilir sehingga rujukan kebijakan pemerintah nantinya berbasis informasi yang lebih solid. KKP perlu mendorong penerapan sensus perikanan secara komprehensif, serta pemutakhiran kajian stok sumber daya perikanan.
”Sensus perikanan dan pemutakhiran stok diharapkan dapat mengatasi gap informasi dan data yang selama ini menjadi masalah utama. KKP perlu memiliki basis informasi yang sangat solid untuk tata laksana perikanan ke depan,” ujar Zulficar.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat konsultasi publik terkait substansi, proses dan kebijakan seperti PNBP, migrasi, dan zonasi pengelolaan perikanan dengan melibatkan pelaku usaha/nelayan dan pemangku kepentingan. Berbagai opsi solusi dan inovatif alternatif perlu disiapkan bila dianggap tidak realistis untuk diimplementasikan. Ketiga, pembenahan dan persiapan intensif dalam hal infrastruktur, fasilitas, dan perlengkapan, pembiayaan, dan sumber daya manusia di pelabuhan, provinsi, dan di lokasi-lokasi terkait.
Di lain pihak, substansi kebijakan penangkapan ikan terukur yang mendapatkan penolakan publik, seperti kapal asing dan modal asing pada usaha kapal perikanan tangkap, sebaiknya langsung dihentikan. Pemerintah dinilai perlu fokus membangun iklim usaha dan tata kelola usaha kapal perikanan dalam negeri yang sehat, berdampak ekonomi dan daya saing jauh lebih luas, dibandingkan membuka opsi pemodal asing.