Penangkapan ikan dengan alat tangkap yang merusak dan rumpon ilegal terus berlanjut di perairan Indonesia. Pengawasan di daerah dinilai lemah.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemasangan alat bantu penangkapan ikan berupa rumpon untuk menarik sekumpulan ikan semakin marak dilakukan nelayan asing di perairan perbatasan Indonesia-Filipina. Maraknya rumpon ilegal itu dikhawatirkan merugikan Indonesia karena hijrahnya ikan ke perairan negara tetangga.
Sepanjang Oktober 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menertibkan 16 rumpon atau ponton yang diduga dipasang secara ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 716, perairan perbatasan Indonesia-Filipina. Rumpon-rumpon tersebut diputus Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan Orca 04.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin memaparkan, 16 rumpon tersebut diduga kuat dipasang tanpa izin di perairan Indonesia oleh nelayan Filipina dan masuk sekitar 2 mil laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Lokasi pemasangan rumpon rawan menjadi area beroperasinya kapal-kapal ikan ilegal.
Tanda pengenal rumpon memuat informasi nama pemilik, nomor SIPR (surat izin penempatan rumpon), dan koordinat titik pusat (lintang dan bujur) dari lokasi penempatan rumpon. Sementara radar reflektor dipasang di permukaan agar dapat terdeteksi oleh radar.
”Pemasangan rumpon secara ilegal oleh nelayan negara tetangga di perairan perbatasan ini jelas dapat merugikan nelayan Indonesia sebab membuat ikan-ikan berkumpul di area rumpon saja dan tidak masuk ke perairan Indonesia,” kata Adin dalam keterangan pers, Sabtu (25/11/2023).
Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang menggunakan jenis pemikat atau atraktor dari benda padat untuk memikat ikan agar berkumpul di satu titik tertentu. Rumpon dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan.
Adin menambahkan, rumpon-rumpon ilegal itu tidak dilengkapi tanda pengenal dan radar reflektor. Semakin banyak rumpon ilegal yang dipasang di perbatasan perairan Indonesia-Filipina berpotensi mengalihkan pergerakan ikan tuna dari dalam kawasan perairan nasional. Pemutusan rumpon-rumpon ilegal diharapkan mendorong ikan-ikan tuna dapat kembali mendekat ke pesisir.
Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPPNRI dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan, setiap rumpon menetap yang ditempatkan di WPPNRI atau laut lepas wajib dilengkapi dengan tanda pengenal rumpon dan radar reflektor.
Sementara itu, praktik penangkapan ikan merusak juga terus berlangsung dan dilakukan nelayan-nelayan lokal. Pertengahan November 2023, KKP menangkap tiga nelayan yang diduga menangkap ikan dengan bahan peledak di perairan Pulau Kokoila, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Menurut Adin, penangkapan itu merupakan tindak lanjut tim Intelijen Kelautan dan Perikanan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Bitung seusai menerima laporan lokasi pergerakan terduga pelaku di Kendari yang akan membawa es batu dan logistik ke lokasi pengeboman. Operasi penangkapan itu diawali pengintaian terhadap terduga pelaku lebih kurang dua hari di Pelabuhan Kendari.
Sejumlah tiga terduga pelaku yang ditangkap antara lain R alias PB, S alias PA, serta U alias PR. Ketiga pelaku membawa tiga botol bom ikan dan sudah sering menangkap ikan menggunakan bahan peledak di sekitar Pulau Kokoila, Desa Padei Laut. Petugas mengamankan sejumlah barang bukti, antara lain 1 unit perahu motor, 1 unit mesin tempel merek Honda 20PK, 1 unit mesin kompresor, 2 gulung selang kompresor, dan botol bom ikan rakitan.
Adin menjelaskan, penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dapat mengakibatkan kematian ikan nontarget beserta juvenil dan biota lainnya, termasuk terumbu karang sebagai rumah ikan. ”Dampak langsung penggunaan bahan peledak adalah dapat merusak dan menghancurkan ekosistem perairan akibat daya ledak yang bersifat destruktif,” ucapnya.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Muhammad Abdi Suhufan, saat dihubungi terpisah, mengemukakan, pengeboman ikan masih berlangsung di beberapa wilayah, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur. Penggunaan bom ikan dilakukan rata-rata pada wilayah perairan kurang dari 12 mil.
Meski penggunaan bom ikan berpotensi menimbulkan korban jiwa, penggunaan bom ikan masih marak karena dianggap menghasilkan ikan lebih banyak daripada penangkapan biasa. Pelaku bom ikan juga dinilai nekat karena menilai pengawasan aparat terhadap penggunaan bom ikan masih minim.
”Bom ikan masih marak sebab pemerintah daerah tidak punya kapasitas untuk menanggulangi. Jika ada kejadian, (daerah) hanya sebatas melaporkan. Sedangkan, KKP tidak cukup punya perangkat untuk mengawasi bom ikan pada wilayah laut yang semestinya dijaga oleh daerah,” kata Abdi.
Ia menambahkan, masih minimnya pengawasan juga membuat praktik penggunaan rumpon ilegal terus berlangsung. Pelaku rumpon cenderung malas mengurus surat izin pemasangan rumpon, ataupun dokumen kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL).