Kapal ”Trawl” dan Rumpon Munculkan Potensi Konflik di Laut Seram
Keberadaan rumpon dan kehadiran kapal yang menggunakan alat tangkap ”trawl” memicu konflik di Laut Seram, Maluku.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Nelayan lokal di Laut Seram, Maluku, sangat resah dengan keberadaan rumpon dan kehadiran kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton yang menggunakan alat tangkap trawl. Pada September lalu, para nelayan itu menyerang dan memotong tali kapal. Kehadiran kapal dan rumpon itu dinilai sangat merugikan para nelayan kecil.
Syamsul Sia, Ketua Kelompok Nelayan Desa Kawa, Pulau Seram, lewat sambungan telepon, Rabu (4/11/2020), mengatakan, mereka sedang menyiapkan rencana aksi lanjutan. ”Kami akan terus mendesak pemerintah agar rumpon dan kapal ikan berukuran besar jangan lagi beroperasi di sana. Kami minta dengan hormat kepada Pak Menteri (Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo),” katanya.
Menurut Syamsul, keberadaan rumpon dan kapal berukuran besar telah mengeruk ikan di perairan yang kaya akan tuna dan cakalang itu. Rumpon yang dipasang di beberapa titik akan menarik ikan. Rumpon merupakan rumah ikan yang dipasang daun kelapa serta plastik sintetis. Gerakan atraktifnya memancing gerombolan ikan datang.
Setiap pekan, kapal-kapal besar yang menggunakan alat tangkap trawl datang mengepung rumpon lalu menjaring ikan di sana. Ada juga kapal penampung. Kondisi itu menyebabkan ikan di perairan itu habis. Nelayan lokal telah menyampaikan hal itu ke pihak kapal, tetapi tidak dihiraukan. Kondisi itu terjadi dalam satu tahun belakangan.
”Saat ini justru yang menjadi pelaku kejahatan perikanan bukan lagi kapal yang datang dari luar negeri, melainkan kapal-kapal yang ada di dalam negeri. Kapal yang dimiliki pengusaha orang Indonesia menyusahkan sesama nelayan orang Indonesia. Ini sangat menyedihkan,” ujar Syamsul.
Dia menambahkan, penangkapan yang eksploitatif semacam ini merugikan nelayan tuna dan cakalang. Di Desa Kawa, misalnya, terdapat lebih kurang 200 nelayan. Mereka berharap agar pemerintah segera menertibkan rumpon kapal-kapal yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan itu. Mereka mengancam akan melakukan kekerasan lagi di laut.
Pada Oktober 2017, Syamsul memimpin nelayan di Kawa membakar sejumlah rumpon di Laut Seram. Aksi itu merupakan puncak kemarahan mereka atas penangkapan ikan dengan alat tangkap tak ramah lingkungan. Juga banyak rumpon yang berdiri sekitar 10 mil laut atau 18,52 kilometer dari darat. Ikan di perairan itu, seperti anak tuna, berkurang jauh sehingga nelayan pemancing kesulitan mendapatkan ikan.
Yadi Bustan (45), nelayan pencari tuna dan cakalang di Laut Seram, menuturkan, sebelumnya mereka melaut paling lama 14 jam, tetapi kini jadi lebih dari 24 jam dengan hasil tangkapan tak menentu. Kebutuhan bahan bakar dan makanan selama melaut pun membengkak hingga Rp 700.000. Mereka sering kali merugi karena hasil tangkapan tidak sebanding dengan biaya.
”Apalagi, musim pandemi Covid-19 saat ini, harga ikan sangat murah. Anak tuna hanya Rp 13.000 per kilogram, padahal sebelumnya bisa sampai Rp 30.000 per kilogram. Kadang juga tidak laku dan rusak. Kami nelayan seperti semakin terpukul. Jatuh dan tertimpa tangga lagi,” ujarnya.
Keberadaan kapal yang menggunakan alat tangkap trawl dan rumpon juga dikeluhkan oleh seorang pengusaha ikan lokal yang beroperasi di Laut Banda. Pengusaha itu memberdayakan banyak nelayan kecil. Mereka menggunakan mata pancing. Saat ini, mereka juga kesulitan karena harus berada di tengah laut selama berhari-hari akibat ikan yang berkurang. Hasil tangkapan mereka untuk ekspor.
Selain kualitas, penangkapan ikan dengan mata pancing juga dianggap mendukung semangat keberlanjutan sumber daya perairan. Satu mata pancing hanya menangkap satu ikan. Ini berbeda dengan pukat atau jaring yang meraup hampir 20 ton ikan berbagai jenis dan ukuran.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari, berpendapat, Maluku menjadi target korporasi perikanan dan hal itu sudah terjadi sejak dulu. Hal tersebut dilakukan secara senyap ataupun terang-terangan. Potensi perikanan Maluku kini 4,6 juta ton per tahun setara dengan 36,8 persen dari potensi nasional sebesar 12,5 juta ton per tahun.
Berdasarkan catatan Kompas, sebelum 2014, negara kehilangan pendapatan hingga Rp 40 triliun per tahun akibat penangkapan ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai dengan regulasi (IUU Fishing). Selain itu, ada Banda Sea Agreement tahun 1968 antara Indonesia dan Jepang untuk eksploitasi tuna di Laut Banda. Laporan resmi Japan Fisheries Agency periode 1970-1979 menyebutkan, tangkapan nelayan Jepang di Laut Banda sekitar 40.000 ton tuna dengan nilai 20 juta dollar AS.