Dompet negara yang bertahan surplus sampai menjelang akhir tahun ini tidak lumrah meski bukan pertama kali terjadi. Surplus APBN tidak selalu kabar baik karena menggambarkan belanja pemerintah yang tertahan.
Oleh
AGNES THEODORA
·5 menit baca
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama jajarannya saat akan memulai konferensi pers APBN KiTa Edisi Oktober 2023 di Jakarta, Rabu (25/10/2023). Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani menyampaikan jika realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali mencatatkan kinerja positif, yaitu surplus Rp 67,7 triliun per September 2023.
JAKARTA, KOMPAS — Kabar mengenai kondisi keuangan negara yang masih surplus sampai menjelang akhir tahun membuat waswas. Di satu sisi, hal itu menunjukkan penerimaan negara masih terjaga. Di sisi lain, itu tanda belanja pemerintah lambat dieksekusi. Pada tiga bulan terakhir tahun ini, realisasi belanja negara lagi-lagi bakal dikebut. Di waktu yang mepet itu, kualitas belanja kembali dipertanyakan.
Sampai akhir September 2023, APBN 2023 masih mencatat surplus Rp 67,7 triliun atau 0,32 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Surplus APBN terjadi ketika pendapatan negara lebih besar daripada belanja. Pada September 2023, pendapatan negara mencapai Rp 2.035,6 triliun (82,6 persen dari target), sementara belanja negara Rp 1.967,9 triliun (64,3 persen dari target).
Kondisi dompet negara yang masih bertahan surplus sampai akhir tahun ini bukan sesuatu yang lumrah meski bukan pertama kali terjadi. Tahun lalu, APBN juga masih mengalami surplus sampai September 2022 sebesar Rp 60,9 triliun atau 0,33 persen terhadap PDB. Hal ini tidak terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, di mana APBN biasanya sudah mulai mengalami defisit sejak Januari.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, surplus yang terjadi sampai akhir September 2023 itu merupakan kombinasi dari dua hal. Pertama, penerimaan pajak memang masih tinggi di tengah perlambatan kinerja ekspor dan ketidakpastian ekonomi global. Kedua, belanja pemerintah masih relatif rendah dan baru akan dikebut di tiga bulan terakhir sesuai pola tahunan selama ini.
”Pola musiman seperti ini (belanja dikebut di akhir tahun) semestinya tidak boleh terulang, tetapi nyatanya itu masih terus terjadi. Yang dikhawatirkan itu, kalau belanja selalu menumpuk di triwulan IV, kualitas belanjanya jadi tidak optimal karena sekadar demi mengejar target penyerapan,” kata Josua, Selasa (21/11/2023).
Surplus APBN akibat belanja yang masih tertahan itu juga tampak dalam struktur pertumbuhan ekonomi triwulan III-2023. Sepanjang Juli-September, konsumsi pemerintah terkontraksi 3,76 persen. Meski sumbangannya terhadap pembentukan PDB tidak terlalu besar, kinerja belanja negara yang lambat itu turut membuat laju pertumbuhan ekonomi tertahan di bawah 5 persen.
”Semestinya belanja pemerintah bisa membantu menggerakkan perekonomian. Namun, belanja pemerintah tidak cukup cepat. Sampai September baru terpenuhi 60-an persen, dan itu akhirnya terbukti lewat PDB kita yang melambat di triwulan III,” kata Josua.
Selama Oktober-Desember 2023 akan ada peningkatan belanja negara hingga Rp 1.155,7 triliun demi mengejar target.
Ia menilai, pola belanja yang dikebut di akhir tahun itu membuat belanja nonproduktif meningkat di akhir tahun. Sebut saja, belanja pegawai, seperti gaji dan tunjangan pegawai negeri, atau belanja barang operasional dan non-operasional, seperti biaya rapat dan dinas kunjungan kerja di akhir tahun.
Meski bisa menyerap anggaran sesuai target, belanja-belanja seperti itu kurang memberi nilai tambah bagi ekonomi. Sebaliknya, belanja produktif, seperti belanja modal untuk penambahan aset negara dan pembangunan infrastruktur, masih terbatas. ”Yang pasti belanja di triwulan IV ini akan melonjak cukup tinggi sehingga defisit APBN akan mulai terjadi per akhir Oktober 2023,” katanya.
Terbantu paket kebijakan
Josua menilai, kualitas belanja di akhir tahun ini akan sedikit tertolong oleh dikeluarkannya paket kebijakan bantalan ekonomi untuk menyikapi El Nino dan tekanan ekonomi global. Kebijakan yang terdiri dari bantuan sosial dan insentif fiskal untuk kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah itu menurut rencana berlaku sepanjang November-Desember ini.
Pemerintah sudah menganggarkan total Rp 3,2 triliun untuk paket kebijakan tersebut. Di sisi lain, rencana pemerintah mengebut pembangunan proyek-proyek strategis nasional (PSN) sebelum akhir masa jabatan juga bisa mendorong belanja lebih kencang pemerintah di triwulan IV. ”Jadi, setidaknya belanja bansos yang berdampak ke konsumsi rumah tangga masih bergerak,” katanya.
Kementerian Keuangan memperkirakan, selama Oktober-Desember 2023 akan ada peningkatan belanja negara hingga Rp 1.155,7 triliun demi mengejar target belanja di APBN 2023. Itu terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 901,3 triliun dan transfer ke daerah Rp 254,4 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, belanja yang baru meningkat di akhir tahun itu sudah sesuai pola siklus anggaran. ”Kita sudah perkirakan belanja pasti akan melonjak di akhir tahun karena biasanya memang kementerian/lembaga itu semuanya mulai membayarkan kontrak-kontraknya itu pada November-Desember,” kata Sri Mulyani.
Defisit semakin rendah
Di sisi lain, penerimaan negara yang masih terjaga, belanja yang lambat, serta utang yang ditekan sepanjang tahun 2023 diperkirakan membuat defisit APBN 2023 bisa ditekan lebih rendah di bawah proyeksi 2,3 persen terhadap PDB. Pemerintah berkali-kali menyatakan optimistis defisit bisa dicapai lebih rendah, bahkan dengan penyaluran bansos dan insentif di akhir tahun sekalipun.
Peneliti Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, mengatakan, target defisit APBN 2,3 persen terhadap APBN realistis dapat dicapai melihat laju penerimaan negara sejauh ini dan kemampuan pemerintah menekan penerbitan utang baru sepanjang tahun.
Peluang untuk defisit APBN tercapai lebih rendah lagi dari 2,3 persen masih ada.
”Salah satu faktor pendorong yang akan membuat defisit adalah penyaluran bansos yang cukup ekspansif nanti mendekati akhir tahun. Namun, peluang untuk defisit tercapai lebih rendah lagi dari 2,3 persen itu masih ada,” kata Riefky.
Sebagai gambaran, setelah membengkak akibat pandemi Covid-19, pemerintah secara bertahap, tetapi cepat mampu menurunkan defisit APBN kembali ke level prapandemi. Pada 2022, defisit sudah kembali ke 2,35 persen terhadap PDB, lebih rendah dari defisit fiskal tahun 2017 sebesar 2,48 persen terhadap PDB meski lebih tinggi dari tahun 2018 (1,72 persen) dan tahun 2019 (2,2 persen).
Peneliti pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA), Fajry Akbar, optimistis target defisit APBN yang rendah itu bisa tercapai. Pasalnya sampai akhir September 2023, pertumbuhan penerimaan negara masih aman meskipun tidak sekencang tahun 2022 ketika ada ledakan harga komoditas. Bahkan, penerimaan pajak tahun ini diperkirakan dapat mencapai target 100 persen atau melampaui itu.
”Yang sedikit lesu mungkin cukai akibat ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) yang gagal dieksekusi (seperti cukai minuman berpemanis dalam kemasan dan cukai plastik) dan lesunya industri hasil tembakau. Proyeksinya, untuk penerimaan cukai mungkin hanya tercapai 94 persen. Namun, secara keseluruhan saya melihat target bisa tercapai,” ujarnya.