Anies, Ganjar, dan Prabowo Belum Tawarkan Solusi Konkret Atasi Pengangguran
Pembukaan lapangan kerja merupakan problem penting yang harus diatasi untuk menuju Indonesia Emas 2045. Masing-masing pasangan bakal capres-cawapres diharapkan punya program konkret mengenai hal itu.
Ketiga pasangan bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mengungkit persoalan lapangan kerja dalam visi-misi dan program kerja, tetapi tawaran mereka dinilai belum menjawab permasalahan pasar kerja yang sesungguhnya.
Dalam dokumen visi, misi, dan program kerja pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar disebutkan, kualitas manusia yang belum memadai, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan krisis iklim adalah masalah utama dari daftar panjang persoalan yang harus segera diselesaikan. Beberapa program yang ditawarkan adalah menciptakan sedikitnya 15 juta lapangan pekerjaan baru, termasuk pekerjaan ramah lingkungan (green jobs) pada 2025-2029; melakukan pemetaan kebutuhan (jumlah dan kompetensi) tenaga kerja; serta membentuk dana pengembangan keterampilan di bawah Kementerian Tenaga Kerja.
Pasangan ini juga menargetkan penciptaan lapangan kerja berkualitas di seluruh sektor, termasuk industri manufaktur guna menurunkan tingkat pengangguran terbuka dari 5,45 persen pada Februari 2023 menjadi 3,5-4 persen di 2029.
”Pertumbuhan ekonomi tidak setara dengan pertumbuhan lapangan kerja. Di Maluku Utara misalnya, produk domestik bruto regional sekitar 22,94 persen, tetapi penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya 0,08 persen,” ujar Anies saat menghadiri Sarasehan 100 Ekonom yang digelar oleh CNBC Indonesia dan Institute For Development of Economics and Finance (Indef), pekan lalu di Jakarta.
Baca juga: Pengangguran Masih Didominasi Lulusan Pendidikan Tinggi
Kemudian, pasangan Ganjar Pranowo -Mahfud MD melalui dokumen visi dan misi mengatakan akan bertekad mengurangi kemiskinan dengan jelas dan progresif melalui konvergensi program pusat dan daerah, serta optimalisasi dana non-APBN. Program Cepat Kerja untuk menciptakan 17 juta lapangan kerja baru, memastikan penyerapan angkatan kerja baru setiap tahun, dan mengurangi jumlah pengangguran hingga mencapai tingkat penyerapan yang optimal supaya semua rakyat dapat bekerja.
”Kurikulum siap kerja juga akan kami dorong. Insentif pajak bagi investor supaya riset dan pengembangan, lapangan kerja naik, dan upskilling pekerja meningkat. Kita masih punya momentum bonus demografi,” ujar Ganjar di acara yang sama.
Adapun pasangan Prabowo Subianto -Gibran Rangkabuming Raka melalui dokumen visi-misi Bersama Indonesia Maju menyebutkan delapan program hasil cepat terbaik. Di antaranya dengan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya dengan mengutamakan tenaga kerja lokal untuk mengurangi tingkat pengangguran dan memperketat masuknya tenaga kerja asing (TKA). Pasangan ini juga bakal membentuk Satgas Pengawasan TKA untuk melindungi tenaga kerja dalam negeri.
Bukan hal baru
Aktivis buruh perempuan Kokom Komalawati, Senin (13/11/2023), di Jakarta, mengatakan, mengangkat isu pengangguran ke masyarakat bukan hal baru. Menurut dia, sampai sekarang belum ada satupun rezim pemerintahan yang mampu menyelesaikan secara optimal masalah pengangguran.
Pada awal gagasan Undang-Undang Cipta Kerja mengemuka ke masyarakat sekitar tahun 2019-2020, lanjut Kokom, rezim pemerintahan saat itu menyatakan UU Cipta Kerja akan mampu membuka banyak lapangan pekerjaan. Faktanya, regulasi perundangan-undangan tersebut memicu kemudahan praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pesangon semakin kecil. Di beberapa daerah terjadi PHK besar-besaran. Fenomena seperti itu menyumbang daftar panjang jumlah pengangguran, selain sistem kerja kontrak pendek yang dilegalkan.
Baca juga: Tidak Semua Lulusan Baru Lekas Diterima Kerja
Menurut dia, upaya yang harus menjadi perhatian pemerintah ke depan adalah mengentaskan masalah yang dihadapi oleh penganggur. Misalnya, masalah pungutan liar (pungli) saat melamar pekerjaan yang sudah jadi rahasia umum. Sebagai contoh, melamar pekerjaan di salah satu pabrik di Tangerang, calon pekerja harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 5 juta-Rp 10 juta per orang. Nilai pungli akan lebih mahal jika pelamar adalah laki-laki.
Contoh lainnya yaitu persyaratan melamar pekerjaan yang masih juga diskriminatif mulai dari ada batasan usia, syarat penampilan fisik, dan pengalaman pekerjaan. Praktik diskriminasi seperti ini membuat tidak semua angkatan kerja mudah mencari pekerjaan.
Rezim pemerintahan yang sudah ada sebelum-sebelumnya pernah mencetuskan program pemagangan dan pelatihan melalui balai lapangan kerja/lembaga pelatihan kerja. Gagasan ini bagus untuk mengatasi masalah pengangguran, tetapi implementasinya belum ideal. Misalnya, pekerja magang yang harus bekerja selayaknya pekerja pada umumnya tetapi tidak diupah layak.
Buruh serabutan hingga pekerja kemitraan, seperti mitra pengemudi ojek daring, sudah pernah disebut oleh rezim pemerintahan sebelumnya. Namun, mereka tidak kunjung menerima jaring pengaman sosial.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menambahkan, semua pasangan bakal capres-cawapres tidak memberikan solusi atas deindustrialisasi yang terjadi selama ini. Sektor pertanian yang membuka lapangan kerja besar tetapi tidak dilirik untuk diperbaiki masalahnya. Hampir semua pasangan calon hanya mengandalkan hilirisasi sumber daya alam untuk membuka lapangan pekerjaan.
Baca juga: Krisis Pengangguran Usia Muda di Indonesia
Sejumlah substansi visi-misi dan program yang dikumandangkan oleh masing-masing pasangan, menurut Timboel, masih belum ada gebrakan yang signifikan dari rezim pemerintahan sebelumnya. Sebagai gambaran, dalam dokumen visi-misi pasangan Ganjar-Mahfud disebutkan strategi untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah yaitu dimulai lewat peran koperasi dan UMKM, hingga mengejar pertumbuhan industri manufaktur 7,5-8 persen. Pertumbuhan ekonomi ditarget mencapai rata-rata 7 persen.
Subtansi seperti itu sudah pernah ditawarkan oleh rezim pemerintahan sebelumnya. Akan tetapi, dalam era Joko Widodo menjadi presiden, realisasi pertumbuhan ekonomi seperti 7 persen tidak tercapai.
Contoh lainnya dalam dokumen visi-misi Anies- Muhaimin disebutkan ingin menegakkan peraturan ketenagakerjaan untuk menata peran TKA dan memberantas TKA ilegal. Lalu, mendorong dunia usaha merekrut dan menstimulasi lebih banyak tenaga kerja lokal, memberantas, dan disinsentif penggunaan TKA yang berlebihan.
Timboel memandang, janji seperti itu juga selalu ditawarkan di setiap pilpres, tetapi kerap kali tidak direalisasikan. Investor lebih mengutamakan tenaga kerja asal negara mereka. Apalagi, jika investasi yang ditanamkan investor memuat pinjaman kepada pemerintah.
Contoh berikutnya, salah satu program terkait ketenagakerjaan yang muncul dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran yang mendorong perusahaan untuk menempatkan angkatan kerja berusia 18-24 tahun sebagai karyawan tetap melalui subsidi premi asuransi selama 12 bulan. Program seperti ini rentan menciptakan diskriminasi bagi pekerja yang sudah berusia 24 tahun ke atas.
”Harapan masyarakat sebenarnya adalah agar pemerintah menstimulus pembukaan lapangan kerja formal yang lebih banyak. Dengan begitu, jumlah angkatan kerja yang muncul setiap tahun sebesar 3,5 juta orang bisa mudah terserap,” imbuh Timboel.
Memanusiakan manusia
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal berpendapat, masing-masing pasangan bakal capres-cawapres belum menawarkan solusi nyata apa yang dibutuhkan pekerja. Di antara mereka menyebut mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi belum menyinggung pertumbuhan itu harus dilihat dari upah layak pekerja.
”Jika ada upah layak, maka pekerja punya daya beli. Alih daya yang sekarang marak berkembang seharusnya jadi perhatian. Kontrak-kontrak kerja bersifat jangka pendek dan tidak jelas pun semestinya jadi fokus perhatian,” kata dia.
Baca juga: Sulut Minta Bantuan Jepang untuk Serap Lulusan SMK
Said menekankan, konsep pertumbuhan ekonomi rezim pemerintahan selanjutnya tidak melulu berbasis pasar barang, tetapi memanusiakan manusia secara beradab.
Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam berpendapat, keberhasilan indikator kinerja yang paling penting bagi negara yang sedang membangun, seperti Indonesia, adalah employement. Negara maju bahkan menempatkan employement sebagai indikator penting dalam keberhasilan kebijakan ekonominya, seperti Amerika Serikat.
”Tingkat pengangguran terbuka memang berkisar 5 persen, tetapi pengangguran tertutup jauh lebih besar lagi,” tuturnya.
Menurut dia, siapapun kandidat bakal capres-cawapres seharusnya perlu mengungkapkan secara gamblang strategi mengatasi pengangguran nasional. Strategi hilirisasi yang dikumandangkan semestinya tidak hanya berbasis tambang atau industri supaya Indonesia tidak melulu mengirim tenaga kerja bernilai tambah rendah atau tenaga kerja magang ke luar negeri.
Adapun praktisi hukum ketenagakerjaan Tadjuddin Noer Effendi, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, bonus demografi masih akan dialami Indonesia. Puncaknya pada tahun 2030-2032. Di antara pasangan bakal capres-cawapres juga menggaungkan topik bonus demografi berkali-kali, seperti pasangan Ganjar-Mahfud. Namun, dia menilai para pasangan tersebut belum memiliki program konkret untuk mengatasi persoalan dari bonus demografi yang sedang terjadi.
”Sesuai Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS pada Agustus 2023, tingkat pengangguran terbuka berkisar 5 persen. Sementara di level ASEAN, tingkat pengangguran terbuka berkisar 3 persen. Mayoritas di antara penganggur terbuka di Indonesia berasal dari generasi muda, terutama dari lulusan SMK dan SMA,” kata dia.
Problem yang sudah lama ini semestinya ada tawaran solusi dari rezim pemerintahan yang baru. Dengan kata lain, pasangan bakal calon capres-cawapres yang ada perlu membahas solusi, bukan sekadar mendengungkan jargon keadilan.
Ekonom Indef Eisha Maghfiruha Rachbini menambahkan, pengangguran usia muda belum bisa diserap karena tidak ada keterhubungan antara keterampilan yang dimiliki oleh pekerja dan diminta oleh perusahaan. Peningkatan kapasitas pencari kerja usia muda seharusnya melalui pelatihan secara berkelanjutan.