Tidak Semua Lulusan Baru Lekas Diterima Kerja
Fenomena lulusan baru atau ”fresh graduate” lama diterima di lapangan pekerjaan formal masih terjadi karena pasokan dan permintaan yang tidak seimbang. Angka pengangguran yang membesar bisa jadi bumerang,
Sudah setahun lebih sejak lulus dari salah satu perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur, awal 2022, Rachel (bukan nama sebenarnya) mengangggur. Dia sampai tidak bisa menghitung berapa banyak berkas dokumen lamaran kerja yang dia kirim. Tahapan tertinggi sejauh ini adalah wawancara kerja.
”Sejauh ini lamaran yang sampai tahap wawancara itu kurang lebih 50,” ujarnya, Senin (23/10/2023), di Depok. Saat ini, Rachel yang berusia 23 tahun berdomisili di Depok bersama saudaranya. Orangtuanya tinggal di Medan, Sumatera Utara.
Selama kuliah strata satu, dia mengambil jurusan Pendidikan Teknologi Informasi. Kala itu dia berpikir hampir semua kehidupan dipermudah dengan adanya teknologi informasi. Jadi, pekerjaan di bidang teknologi informasi akan selalu dicari. Realitasnya, asumsi itu meleset.
Ada beberapa perusahaan yang Rachel ingin sekali bergabung dan berkontribusi, tetapi lamaran kerjanya ditolak. Dia sampai menduga bahwa keterampilan yang dipelajari selama kuliah tidak terpakai di dunia kerja.
Orangtua Rachel bisa memahami kondisi itu. Sambil terus mencoba melamar pekerjaan, Rachel memilih untuk mengikuti sejumlah kursus keterampilan keras dan lunak. Dia juga mengerjakan beberapa proyek lepasan berskala kecil-kecilan dengan temannya.
Pengalaman serupa dialami oleh Imam (bukan nama sebenarnya). Imam merupakan alumnus jurusan penyiaran/ilmu komunikasi di salah satu perguruan tinggi di Bandung, Jawa Barat. Dia lulus yudisium pada Desember 2022 dan wisuda tak lama setelah itu.
Sama seperti Rachel, dia juga sudah melamar ke banyak perusahaan, tetapi tidak kunjung diterima. Melamar di perusahaan dengan sektor industri yang sesuai dengan latar belakang jurusan kuliah pun tidak diterima.
”Tdak sesuai ekspektasi saya. Setelah saya mencoba mencari pekerjaan yang sesuai bidang saya, saya menemukan bahwa jurusan ilmu komunikasi sudah seperti jurusan yang selalu diperkosa oleh banyak jurusan lain dalam hal mencari kerja. Lulusan jurusan lain yang dalam mata kuliahnya tidak ada berkaitan dengan media pun bisa bekerja di kantor pertelevisian,” kata Imam.
Selama proses mencari dan melamar kerja yang pelik itu, dia mengaku pernah memperoleh tautan penipuan lowongan pekerjaan yang mengatasnamakan korporasi tertentu. Dia juga pernah mencoba mengikuti tes calon pegawai negeri sipil (CPNS), tetapi ternyata minim terbuka untuk lulusan baru (fresh graduate).
Imam mengaku baru sekali sampai ke tahap wawancara kerja di salah satu perusahaan media. Akan tetapi, dia malah diminta harus mampu mengerjakan beberapa uraian pekerjaan (job description) yang berbeda. Saat ini, Imam bekerja serabutan, termasuk pekerja lepas di bidang penulisan konten, untuk bertahan hidup.
Masih banyak contoh serupa yang dialami oleh lulusan baru. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMA umum, SMK, diploma, dan universitas cenderung turun dalam kurun waktu 2020-2022. TPT lulusan SMA turun dari 9,86 persen pada 2020 menjadi 8,57 persen pada 2021. TPT lulusan SMK turun dari 13,55 persen pada 2020 menjadi 9,42 persen pada 2022.
TPT lulusan diploma turun dari 8,08 persen pada 2020 menjadi 4,59 persen pada 2022. Adapun TPT lulusan universitas turun dari 7,35 persen pada 2020 menjadi 4,80 persen pada 2022.
Baca juga: Bagaimana Seharusnya Departemen Sumber Daya Manusia Menyikapi AI?
Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin, saat dimintai tanggapan, mengatakan, tingkat pengangguran muda sudah berkisar di angka 20 persen. Angka ini bisa jadi bumerang bagi populasi penduduk Indonesia di kemudian hari.
”Yang menganggur sejak dini akan jadi akumulatif pada usia produktif untuk tahun-tahun mendatang. Selama ini, keluaran pelatihan pemerintah hanya pelatihan, belum sampai jaminan bisa masuk dunia kerja. Serikat-serikat pekerja juga masih berkutat pada masalah hubungan industrial, belum sampai pada urusan pengembangan keterampilan,” kata Irham.
Serikat-serikat pekerja juga masih berkutat pada masalah hubungan industrial, belum sampai pada urusan pengembangan keterampilan. (Irham Ali Saifuddin)
Laju pertumbuhan
Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta berpendapat, ada dua faktor yang menyebabkan masih sulitnya lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi mendapatkan pekerjaan formal di instansi/perusahaan. Faktor pertama adalah laju pertumbuhan jumlah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi tidak sebanding dengan laju penciptaan lapangan pekerjaan.
Sebagai gambaran, jumlah lulusan SMA/SMK/MA mencapai di atas 3 juta orang per tahun. Jumlah lulusan perguruan tinggi sebanyak 1,5 juta per tahun. Di sisi lain, rata-rata penciptaan lapangan kerja baru saat ini untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 150.000-200.000 lapangan kerja.
Baca juga: Tidak Ada Perubahan Tawaran Gaji di Iklan Lowongan Pekerjaan
Dengan demikian, jika pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5 persen per tahun, lapangan pekerjaan baru yang tercipta hanya 750.000-1 juta lapangan pekerjaan. Maka, penambahan pengangguran tetap terjadi setiap tahun karena ketidaksesuaian jumlah lulusan pendidikan dengan penciptaan lapangan kerja baru.
Sementara faktor kedua yang diduga menyebabkan lulusan baru sekolah menengah ataupun perguruan tinggi masuk ke instansi/perusahaan adalah masih adanya mismatch atau ketidakcocokan keterampilan yang ditawarkan dunia pendidikan dan industri. Fenomena ketidakcocokan ini juga mengakibatkan perputaran karyawan di sejumlah industri berjalan lambat, bahkan ada sejumlah perusahaan yang cenderung memperpanjang masa kerja bagi pekerja-pekerja yang sudah akan pensiun. Mereka biasanya khawatir harus mengeluarkan banyak biaya untuk pelatihan ketika merekrut tenaga kerja baru.
”Fenomena ketidakcocokan suplai dan permintaan keterampilan itu sebenarnya sudah lama terjadi, tetapi belum terselesaikan dengan baik,” kata Agus.
Opsi solusi selanjutnya adalah mendorong kemandirian ekonomi bagi para lulusan baru melalui program kewirausahaan.
Ada beberapa program yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi permasalahan itu. Sebagai contoh, pemerintah memiliki program untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang layak. Sektor-sektor yang perlu didorong oleh pemerintah adalah pengolahan dan sektor agroindustri yang berpeluang menyerap banyak lapangan kerja.
Contoh program lainnya, pemerintah perlu cepat menghubungkan dunia pendidikan dan industri supaya terjadi keselarasan kurikulum yang diajarkan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan industri. Opsi solusi selanjutnya adalah mendorong kemandirian ekonomi bagi para lulusan baru melalui program kewirausahaan.
Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam mengatakan, Indonesia masih membutuhkan investasi yang lebih banyak di sektor industri yang berorientasi kepada teknologi. Misalnya, elektronik, otomotif, alat kesehatan, makanan-minuman, dan farmasi. Sektor-sektor industri tersebut banyak menyerap tenaga kerja.
”Informasi pasar kerja sebenarnya juga harus dibenahi. Beberapa perusahaan kesulitan memperoleh informasi tenaga kerja yang tersedia dan begitu pun sebaliknya,” kata Bob.
Baca juga: Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan Dikhawatirkan Sarat Pungutan Liar