Meski Sudah Ditetapkan, Formula Penghitungan Upah Minimum Masih Diperdebatkan
Kendati penghitungan upah minimum yang tertera dalam Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 51 Tahun 2023 sudah terbit, perdebatan penentuan upah masih terjadi.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati penghitungan upah minimum, yang tertera dalam Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP No 36/2021 tentang Pengupahan sudah terbit, model formula tetap menuai perdebatan. Kalangan kelompok pekerja sampai sekarang masih menganggap bahwa hasil penghitungan dengan model formula akan kurang mengakomodasi kebutuhan riil pekerja. Sementara kalangan pengusaha menyatakan ketentuan dalam PP perlu dihormati sebagai dasar hukum kepastian berusaha.
Aktivis buruh perempuan, Dian Septi, Minggu (12/11/2023), di Jakarta, berpendapat, kenaikan upah minimum semestinya sesuai dengan kebutuhan riil buruh dan keluarga, bukan lajang. Kalau upah minimum tidak sesuai kebutuhan riil, upah layak jauh dari harapan.
Upah layak berarti harus di atas kebutuhan riil. Pemerintah berulang kali mempertentangkan antara upah minimum dan upah layak. Seolah upah minimum disamakan dengan upah murah.
”Formula penghitungan upah minimum yang diatur PP No 51/2023 pada akhirnya hanya menyesuaikan upah dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” ucap Dian.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menyampaikan pandangan senada. Mayoritas pekerja yang bekerja di bawah satu tahun ataupun bahkan sudah bekerja lima tahun lebih belum memiliki hidup layak. Di antara mereka masih harus membayar kenaikan biaya kontrak rumah yang naik rata-rata 20 persen per tahun.
Pada saat bersamaan, sebagian perusahaan merasa sudah cukup menjalankan upah minimum. Negosiasi struktur skala upah jarang mau dilakukan oleh perusahaan. Akibatnya, setiap tahun menjelang penetapan upah minimum, sejumlah kelompok pekerja memutuskan turun ke jalan atau demo.
Terkait dengan besaran indeks tertentu yang termuat di PP terbaru, Ristadi menyebut, pihaknya sampai sekarang kurang mengetahui alasan di balik penetapan angka 0,1-0,3 untuk menghitung formula perkalian upah. Menurut dia, pemerintah belum menjelaskan alasannya mengapa rentang itu yang diambil.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat Roy Jinto mengklaim, sejak awal draf Rancangan PP No 51/2023 dibuat, pihaknya menolak. Substansi penolakan formula sudah beberapa kali disampaikan kepada pemerintah. Beberapa aksi penolakan sudah dilakukan dan akan mencapai puncak demonstrasi pada 15 November 2023 di sejumlah daerah.
”Kami menilai, adanya variabel indeks tertentu yang berkisar 0,1 hingga 0,3 bukan jadi faktor yang ikut menambah kenaikan upah minimum, tetapi malah mengurangi. Periode angka pertumbuhan ekonomi yang dipakai menghitung untuk upah minimum provinsi dan kabupaten/kota berbeda. Kami khawatir malah memicu diskriminasi,” ujarnya.
Sesuai dengan PP No 51/2023, bagi provinsi atau kabupaten/kota yang telah memiliki upah minimum tahun sebelumnya, maka penetapan upah minimum setiap tahunnya dilakukan lewat penjumlahan upah minimum tahun berjalan dengan nilai penyesuaian upah minimum.
Nilai penyesuaian upah minimum dihitung menggunakan formula penghitungan yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Indeks tertentu yang disimbolkan dengan α (alfa) merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota.
Simbol alfa merupakan variabel yang berada dalam rentang nilai 0,10 sampai dengan 0,30. Simbol alfa ini ditentukan nilainya oleh dewan pengupahan provinsi atau dewan pengupahan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja dan rata-rata/median upah. Selain pertimbangan dua faktor tersebut, dalam menentukan alfa dapat mempertimbangkan faktor lain yang relevan dengan kondisi ketenagakerjaan.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Khamdani mengatakan, ketentuan PP No 51/2023 telah disahkan sehingga semua perlu menghormati ketentuan ini sebagai dasar kepastian hukum dalam berusaha di Indonesia. Akan tetapi, terkait formula pengupahan yang baru, Apindo berharap penentuan indeks tertentu terhadap pertumbuhan ekonomi yang direkomendasikan dewan pengupahan harus mempertimbangkan situasi perekonomian serta kondisi ketenagakerjaan di daerah tersebut.
”Hal seperti itu saya rasa krusial sebagai langkah preventif untuk mencegah dampak terhadap situasi kondisi hubungan industrial yang bisa berpotensi pada penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.
Penentuan indeks tertentu terhadap pertumbuhan ekonomi yang direkomendasikan dewan pengupahan harus mempertimbangkan situasi perekonomian serta kondisi ketenagakerjaan di daerah tersebut.
Shinta juga menambahkan, hal yang perlu sama-sama ditekankan oleh pelaku pasar kerja ialah implementasi ketentuan upah minimum di PP No 51/2023 harus dilandasi semangat kesatuan membangun perekonomian Indonesia. Dengan demikian, musyawarah mufakat lewat dialog sosial penting dilakukan.
”Karena, perbedaan pendapat (soal pengupahan) merupakan dinamika yang mau tidak mau akan terjadi,” ujarnya.
Dalam siaran pers Jumat (10/11/2023) yang disebar ke media tengah malam, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, PP No 51/2023 memberikan kepastian upah minimum akan naik setiap tahun. Kepastian ini diperoleh melalui penerapan formula upah minimum mencakup tiga variabel, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Selain kepastian kenaikan upah minimum, PP yang baru diterbitkan juga bertujuan untuk mencegah disparitas atau kesenjangan upah antarwilayah.
”Selanjutnya, kami meminta para gubernur, kepala dinas yang membidangi ketenagakerjaan, serta Dewan Pengupahan Daerah agar menjalankan tugas sebagaimana amanat peraturan pemerintah ini, dan penetapan upah minimum provinsi ditetapkan paling lambat tanggal 21 November dan untuk upah minimum kabupaten/kota tanggal 30 November,” ujarnya.