DPR belum beri persetujuan atas Perppu Cipta Kerja. Situasi problematik Perppu sudah pernah diprediksi MK. Kritik utama atas pembahasan Perppu Cipta Kerja adalah praktik legislasi kilat dan minus partisipasi bermakna.
Oleh
BAYU DWI ANGGONO
·5 menit baca
Ibarat drama teater, kisah omnibus law Cipta Kerja belum juga mencapai epilog. Rapat Paripurna DPR, 16 Februari 2023, belum memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. Akibatnya muncul tuntutan pencabutan karena dianggap tidak mendapatkan persetujuan.
UUD 1945 dan UU No 12/ 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) menggolongkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perppu) sebagai jenis peraturan perundang-undangan. Konsekuensinya, pembentukannya wajib mengikuti prosedur yang dipersyaratkan (tertib prosedur) dan materi yang diatur memedomani UUD 1945 ataupun putusan pengadilan (tertib substansi).
Acuan prosedur pembentukan perppu adalah Pasal 22 UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi 138/PUU-VII/2009, dan UU P3. Pasal 22 memuat tiga hal pokok: (i) pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat perppu; (ii) kewenangan itu hanya dapat digunakan dalam keadaan kegentingan yang memaksa; dan (iii) perppu harus mendapatkan persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya.
Mengenai makna ”keadaan kegentingan yang memaksa”, Putusan MK 138/PUU-VII/ 2009 memberikan penafsiran, pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan itu belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU, tetapi tak memadai. Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian diselesaikan.
Dalam kasus Perppu Cipta Kerja, dua dari tiga prosedur dalam Pasal 22 UUD 1945 menurut keterangan pembentuknya telah dipenuhi. Klaim tersebut tertuang dalam bagian menimbang perppu ataupun keterangan yang disampaikan kepada publik. Sementara prosedur yang belum dipenuhi adalah persetujuan dari DPR pada persidangan berikutnya.
Makna ”persidangan berikutnya”
Frasa persidangan berikutnya merupakan frasa dari UUD 1945 sebelum perubahan yang tidak turut mengalami perubahan saat UUD 1945 diamendemen. Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan tidak menerangkan dengan jelas pengertiannya, tetapi hanya menyatakan pemerintah tak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan UU, harus disahkan pula oleh DPR.
Prosedur persetujuan DPR diatur dalam UU P3 di Pasal 52, yaitu perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Kemudian DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap perppu. Penjelasan Pasal 52 memberikan pengertian yang dimaksud dengan ”persidangan yang berikut” ialah masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan.
Mengenai pada jenis rapat apakah DPR dianggap memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, secara jelas Pasal 52 menyebutkan pada rapat paripurna. Artinya, pemberian persetujuan sebelum rapat paripurna seperti rapat Badan Legislasi (Baleg), rapat komisi, dan lain-lain tak bisa disebut perppu telah mendapat persetujuan atau penolakan.
Perppu Cipta Kerja yang statusnya pada 15 Februari 2023 telah selesai dibahas di Baleg dengan mayoritas anggota Baleg memberikan persetujuan tidak dapat disebut telah mendapatkan persetujuan DPR. Alasannya, karena rapat Baleg bukanlah rapat paripurna sebagaimana dimaksud Pasal 52.
Mengenai bagaimana nasib hukum perppu yang sudah dibahas dan disetujui di tingkat I (seperti rapat Baleg), tetapi belum disetujui di paripurna, sementara masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan telah berakhir, ternyata jawabannya belum diatur dalam UU P3. UU P3 hanya mengatur dalam hal perppu mendapat persetujuan DPR di rapat paripurna, perppu ditetapkan menjadi UU. Sebaliknya, dalam hal perppu tidak mendapat persetujuan DPR di rapat paripurna, perppu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
Jika demikian adanya, dapat dikatakan terdapat kekosongan hukum dalam UU P3 atas situasi yang dihadapi oleh Perppu Cipta Kerja. Situasi ini perlu dicarikan jalan keluar ketatanegaraan.
Partisipasi bermakna
Situasi problematik perppu ini sudah pernah diprediksi MK. Pertimbangan hukum Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 memberikan pesan konstitusional perppu melahirkan norma hukum sejak perppu disahkan dan nasib dari norma hukum itu tergantung pada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak. Namun, sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui perppu, norma hukum itu adalah sah dan berlaku seperti UU.
Sesuai prinsip negara hukum, perlu adanya jaminan perlindungan hukum bagi para pihak yang terdampak atas keberlakuan perppu. Oleh karena itu, melalui Putusan 138/PUU-VII/ 2009, MK diberi kewenangan menguji perppu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR.
Meski problematik keberlakuan Perppu Cipta Kerja teratasi dengan pesan konstitusional MK di Putusan No 138/ PUU-VII/2009, bukan berarti DPR dapat secara bebas mengabaikan tertib prosedur dan tertib substansi dalam memproses pemberian persetujuan atau penolakan Perppu Cipta Kerja. Kritik utama atas pembahasan Perppu Cipta Kerja di DPR adalah praktik legislasi kilat dan minus partisipasi bermakna.
Situasi problematik perppu ini sudah pernah diprediksi MK.
Legislasi kilat dipraktikkan dari pembahasan yang hanya dilakukan dua hari (Kompas, 16/2/2023), padahal tersedia cukup waktu di masa sidang pertama DPR setelah Perppu Cipta Kerja ditetapkan, yaitu 10 Januari-16 Februari 2023. Konsekuensi pembahasan kilat, partisipasi publik menjadi terabaikan.
Alih-alih hadir partisipasi bermakna (meaningful participation), pembahasan perppu gagal memenuhi syarat dasar partisipasi, antara lain tidak menghadirkan secara berimbang para pihak, seperti serikat pekerja atau kelompok orang yang terdampak langsung yang mendukung ataupun keberatan.
Harapan mewujudkan partisipasi bermakna (hak masyarakat didengarkan, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan atas pendapat yang diberikan) hadir kembali saat ketua DPR menyatakan, sebelum pemberian persetujuan atas Perppu Cipta Kerja, DPR masih akan memperhatikan aspirasi masyarakat (Kompas, 17/2/2023).
Tindak lanjut pernyataan itu sebaiknya dilakukan dengan cara Rapat Paripurna DPR setelah masa reses (17 Februari-13 Maret 2023) memutuskan menunda pemberian persetujuan Perppu Cipta Kerja dan mengembalikan kepada Baleg untuk dibahas kembali berdasarkan prinsip partisipasi bermakna.
Melalui cara tersebut, keputusan DPR dalam memberikan persetujuan atau menolak perppu dapat dikatakan telah sesuai tertib prosedur dan tertib substansi. Hal ini juga sekaligus menghindarkan DPR dari olok-olok sekadar lembaga stempel pemerintah.
Bayu Dwi Anggono Guru Besar Ilmu Perundang-undangan FH Universitas Jember