Beban Pemerintah Jaga Inflasi dan Daya Beli Tambah Berat
Inflasi itu sangat fundamental bagi perekonomian negara karena dapat menggerus daya beli masyarakat. Inflasi itu ibarat memajaki masyarakat tanpa perlu Direktorat Jenderal Pajak.
JAKARTA, KOMPAS — Beban pemerintah menjaga inflasi dan daya beli masyarakat bertambah berat hingga awal 2024. Harga empat komoditas pangan dan satu komoditas pakan yang naik hampir berbarengan beberapa bulan jelang akhir tahun ini perlu segera dijinakkan. Jika tidak, daya beli masyarakat bisa semakin tergerus.
Dalam Rapat Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar secara hibrida di Jakarta, Senin (6/11/2023), disebutkan, empat komoditas pangan yang harganya masih tinggi adalah beras, cabai merah, cabai rawit, dan gula pasir. Adapun satu komoditas pakan yang harganya tinggi adalah jagung.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, pada pekan pertama November 2023, harga beras memang cenderung melandai. Kendati begitu, harganya masih tinggi. Untuk cabai merah dan rawit, harganya justru terus meroket. Begitu pula dengan gula pasir, yang harganya belum menunjukkan penurunan sama sekali sejak September 2023.
BPS mencatat, pada pekan pertama November 2023, harga rata-rata nasional beras medium Rp 13.872 per kilogram (kg). Harga beras itu telah melandai sejak Oktober 2023, tetapi masih jauh di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah berdasarkan zonasi, yakni Rp 10.900-Rp 11.800 per kg.
Dalam sepekan, daerah yang mengalami kenaikan harga beras berkurang dari 282 kabupaten/kota menjadi 159 kabupaten/kota. ”Percepatan impor beras, serta pengguliran pasar murah, operasi pasar, dan bantuan beras, perlu terus dilakukan agar harga beras semakin turun,” kata Amalia.
Percepatan impor beras, serta pengguliran pasar murah, operasi pasar, dan bantuan beras, perlu terus dilakukan agar harga beras semakin turun.
Untuk cabai merah dan cabai rawit, harga rata-rata nasional masing-masing komoditas itu Rp 53.908 per kg dan Rp 70.272 per kg. Dalam sepekan, daerah yang mengalami kenaikan harga cabai merah bertambah dari 244 kabupaten/kota menjadi 335 kabupaten/kota. Jumlah kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga cabai rawit juga meningkat dari 282 daerah menjadi 312 daerah.
Adapun gula pasir, harga rata-rata nasional komoditas itu pada pekan pertama November 2023 mencapai Rp 16.386 per kg. Harga tersebut jauh di atas harga acuan pembelian gula konsumsi di tingkat konsumen, yakni Rp 14.500-Rp 15.500 per kg.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengemukakan, meski telah melandai, harga beras harus terus distabilkan hingga awal tahun depan. Hal itu karena produksi beras tahun ini turun dan panen raya diperkirakan baru akan berlangsung pada Maret-April 2024.
Untuk menjaga stabilitas stok dan harga beras, pemerintah telah menambah alokasi impor beras dari 2 juta ton menjadi 3,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 1,712 juta ton telah didatangkan, 550.000 ton dalam perjalanan dan pembongkaran, 600.000 ton sudah selesai kontrak, dan 500.000 ton dalam proses penjajakan dan kontrak.
”Kami juga akan mengimpor 250.000 ton jagung pakan yang akan didistribusikan langsung ke peternak ayam mandiri. Jika harga jagung pakan tidak dikendalikan, nanti akan berpengaruh ke kenaikan harga telur dan daging ayam,” katanya.
Baca juga: Transportasi dan Pangan Jadi Lokomotif Inflasi Akhir Tahun
Berdasarkan data Panel Harga Pangan Bapanas, per 6 November 2023, harga rata-rata nasional jagung pakan di tingkat peternak Rp 7.140 per kg. Harga tersebut meningkat 6,44 persen secara bulanan.
Sementara terkait cabai, Arief mengaku telah memobilisasi cabai merah dan rawit dari daerah surplus ke daerah defisit. Beberapa di antaranya dari Wajo dan Enrekang di Sulawesi Selatan ke DKI Jakarta. Ia berharap daerah-daerah lain yang mengalami defisit cabai bisa melakukan langkah serupa dengan memanfaatkan dana insentif fiskal pengendalian inflasi.
Menjaga daya beli
BPS mencatat, tingkat inflasi nasional pada Oktober 2023 sebesar 0,17 persen secara bulanan dan 2,56 persen secara tahunan. Komoditas penyumbang inflasi terbesar pada bulan tersebut adalah beras, bahan bakar minyak nonsubsidi, cabai rawit, dan tarif angkutan udara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, inflasi di Indonesa tidak hanya disebabkan faktor internal, tetapi juga eksternal. Volatilitas harga pangan dan minyak mentah dunia yang tengah terjadi saat ini berpotensi memengaruhi harga pangan dan energi di dalam negeri.
Sejauh ini, inflasi di dalam negeri masih sesuai sasaran pemerintah, yakni 3-4 persen. Namun, dengan kondisi dunia yang masih penuh ketidakpastian, inflasi bisa bertahan tinggi. Untuk itu, inflasi akibat kenaikan harga komoditas pangan dan energi perlu terus diwaspadai.
Baca juga: Meski Ada Bansos, Daya Beli Masyarakat Tetap Tergerus
Menurut Sri Mulyani, inflasi itu sangat fundamental bagi perekonomian negara karena dapat menggerus daya beli masyarakat. Inflasi itu ibarat memajaki masyarakat tanpa perlu Direktorat Jenderal Pajak.
”Daya beli masyarakat diambil langsung ke kantongnya tanpa berbagai prosedur apa pun. Uang warga yang katakanlah semula bisa untuk membeli 1 kg beras, karena inflasi, uang itu hanya bisa untuk membeli 80 gram beras,” ujarnya.
Inflasi itu sangat fundamental bagi perekonomian negara karena dapat menggerus daya beli masyarakat. Inflasi itu ibarat memajaki masyarakat tanpa perlu Direktorat Jenderal Pajak.
Untuk itu, lanjut Sri Mulyani, pemerintah tidak hanya mengeluarkan dana untuk mengendalikan inflasi, tetapi juga menjaga daya beli. Dalam rangka pengendalian inflasi, pemerintah mengalokasikan insentif fiskal kepada pemerintah daerah senilai total Rp 1 triliun dari total pagu insentif fiskal pada 2023 yang sebesar Rp 8 triliun.
Pemerintah juga mengalokasikan dana perlindungan sosial Rp 476 triliun untuk menjaga daya beli masyarakat. Pemerintah juga telah menebalkan bansos untuk memitigasi dampak El Nino dan menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.
Baca juga: Beras, Fakta atau Angka?
Bantuan pangan berupa beras yang semula dianggarkan Rp 15,9 triliun untuk dua tahap, yakni Maret-Mei 2023 dan September-November 2023, ditambah Rp 2,6 triliun untuk bantuan pada Desember 2023. Pemerintah juga menggulirkan bantuan langsung tunai bagi 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) senilai total Rp 7,52 triliun. Setiap KPM akan menerima masing-masing Rp 200.000 pada November dan Desember 2023.
”Hal ini menunjukkan APBN 2023 kami optimalkan sebagai peredam guncangan (shock absorber). Untuk itu, kami berharap agar pemerintah daerah menggunakan APBD juga sebagai shock absorber jika terjadi kenaikan harga pangan, penurunan daya beli, dan bencana alam,” kata Sri Mulyani.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman mengungkapkan, sepanjang tahun ini, Kemenkeu telah memberikan insentif fiskal senilai total Rp 1 triliun kepada sejumlah daerah untuk mengendalikan inflasi.
Pada periode ketiga, misalnya, insentif yang diberikan senilai total Rp 340 miliar. Insentif itu diberikan kepada 3 pemerintah provinsi, 6 pemerintah kota, dan 25 kabupaten. Beberapa di antaranya untuk Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Morotai, Singkawang, Kutai Kartanegara, Morowali, Paser, dan Sorong Selatan. Dana tertinggi yang diterima Rp 11,9 miliar, sedangkan terendah Rp 8,6 miliar.
”Daerah penerima insentif itu cenderung berubah. Tidak ada daerah yang menerimanya secara berturut-turut sepanjang tahun ini. Hal ini menunjukkan daerah-daerah semakin kompetitif dalam mengendalikan inflasi di wilayah masing-masing,” katanya.
Baca juga: Beras dan Isi Dompet Lima Tahun Terakhir