Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2023 di Tengah Kondisi Global dan Pemilu
Berdasarkan data historis PDB mulai tahun 2010 yang mencakup Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, pertumbuhan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga, konsisten mencapai puncaknya pada tahun pemilu.
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 diproyeksikan tumbuh di kisaran 5 persen. Hal ini terutama dipengaruhi kondisi perekonomian global yang masih diselimuti ketidakpastian dan momentum pemilihan umum atau pemilu. Indonesia terhitung telah mengadakan dua kali pemilu di tengah gejolak ekonomi global.
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi nasional tercatat 5,17 persen secara tahunan pada triwulan II-2023 atau meningkat dari triwulan I-2023 yang sebesar 5,03 persen secara tahunan. Kendati pertumbuhan ekonomi kuartal II-2023 tidak setinggi periode yang sama tahun lalu, yakni mencapai 5,46 persen secara tahunan, pertumbuhan ekonomi saat ini masih normal di kisaran 5 persen seiring dengan meredanya low-base effect.
Menjelang pengumuman data terbaru pertumbuhan ekonomi oleh Badan Pusat Statistik pada Senin (6/11/2023) ini, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memperkirakan produk domestik bruto (PDB) nasional pada kuartal III-2023 lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya, bahkan di bawah 5 persen.
”Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 di kisaran 5 persen atau 4,9 persen. Ini terutama dipengaruhi oleh iklim perdagangan internasional,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (5/11/2023).
Kendati neraca perdagangan Indonesia September 2023 surplus 3,42 miliar dollar AS, capaian tersebut lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 4,96 miliar dollar AS atau turun 1,54 persen secara tahunan. Hal ini dipengaruhi volume perdagangan yang turun akibat berkurangnya permintaan global karena pertumbuhan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor melambat dan harga komoditas.
Di sisi lain, hajatan lima tahunan sekali yang akan berlangsung pada tahun 2024 di Indonesia dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi domestik. Dari tahun ke tahun, pemilu akan mendorong konsumsi masyarakat, belanja pemerintah, dan pertumbuhan sektor-sektor tertentu, seperti industri percetakan, industri makanan dan minuman, sektor transportasi, serta sektor akomodasi perhotelan dan restoran.
”Namun, pemilu tidak kuat mendorong perekonomian di tahun 2023. Sumbangan pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi 2023 relatif lebih kecil dibandingkan pada tahun 2024. Ini karena banyak perputaran anggaran belanja di luar pemerintah pada tahun 2024, seperti untuk calon presiden dan calon wakil presiden, serta legislatif daerah dan nasional,” imbuhnya.
Meski proyeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, tingkat konsumsi domestik di kuartal III-2023 diperkirakan masih akan tetap kuat.
Dengan demikian, pada tahun 2023, PDB nasional diperkirakan 4,9 persen. Menurut Tauhid, pertumbuhan ekonomi mampu menembus 5 persen apabila iklim perdagangan internasional kembali normal pada akhir tahun 2023.
Senada dengan Tauhid, Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro berpendapat, kinerja ekspor neto akan dipengaruhi oleh penurunan aktivitas perdagangan dunia, sejalan dengan risiko perlambatan ekonomi global. Hal ini terutama akibat penurunan permintaan dari mitra dagang utama Indonesia, seperti China.
Baca juga: Dampak Pemilu 2024: Konsumsi Lembaga Naik, Investasi Pemerintah Turun
Andry menambahkan, PDB nasional pada kuartal III-2023 yang melambat juga disebabkan meningkatnya pola musiman dari aktivitas domestik saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha pada kuartal II dan kemudian melambat pada kuartal III. Andry memperkirakan PDB kuartal III-2023 mencapai 5,01 persen secara tahunan didukung oleh faktor domestik yang kuat di tengah masih adanya risiko dari ekonomi global.
”Meski proyeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, tingkat konsumsi domestik di kuartal III-2023 diperkirakan masih akan tetap kuat. Hal ini dapat dilihat dari Survei Perdagangan Eceran Bank Indonesia yang diperkirakan masih tumbuh positif sebesar 1,2 persen secara tahunan dan Mandiri Spending Index (MSI) yang berada di level 164,8 pada kuartal III-2023,” ujarnya.
Namun, pengeluaran pemerintah pada kuartal III-2023 juga diperkirakan terus tumbuh. Aliran belanja modal pemerintah rata-rata tumbuh 32,6 persen secara tahunan pada kuartal III-2023, terutama untuk belanja modal terkait dengan penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Ibu Kota Negara (IKN). Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,04 persen pada tahun 2023 atau melambat dibandingkan pada tahun 2022 yang sebesar 5,31 persen secara tahunan.
Di sisi lain, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memproyeksikan, produk domestik bruto (PDB) nasional pada kuartal III-2023 diperkirakan tumbuh 5,05-5,09 persen. Secara keseluruhan pada tahun 2023, PDB nasional diperkirakan tumbuh sekitar 5-5,1 persen dan akan stabil di kisaran 5-5,1 persen pada tahun 2024.
Peneliti LPEM FEB UI Teuku Riefky menjelaskan, Indonesia sejauh ini mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik selama paruh pertama 2023. Hal ini merupakan kelanjutan dari akselerasi pertumbuhan ekonomi sejak triwulan-IV 2022 yang sebesar 5,01 persen secara tahunan.
”PDB Indonesia saat ini dalam tren kenaikan yang didorong oleh berbagai faktor musiman, seperti periode Ramadhan dan Idul Fitri dan rangkaian libur nasional. Ke depannya, sangat penting untuk menjaga stabilitas dari keyakinan konsumen, tingkat harga, dan nilai tukar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi jangka pendek di tengah berbagai potensi ketidakpastian,” katanya.
Sebagaimana diketahui, ketidakpastian global tersebut, antara lain, dipicu era suku bunga tinggi negara maju, seperti Amerika Serikat, perlambatan ekonomi global, serta eskalasi konflik geopolitik. Dalam konteks Indonesia, pemilihan presiden pada awal tahun 2024 juga turut meningkatkan ketidakpastian pasar pada paruh kedua 2023 karena investor cenderung memilih berhati-hati (wait and see).
Akibatnya, pada awal Agustus 2023 hingga Oktober 2023, arus modal asing mengalir keluar 4,44 miliar dollar AS sehingga nilai tukar rupiah terdepresiasi di kisaran level Rp 15.900 per akhir Oktober 2023. Walakin, depresiasi rupiah masih relatif lebih baik ketimbang negara-negara lain berkat surplus neraca perdagangan yang masih terus berlanjut.
Baca juga: Menkeu: Stabilitas Sistem Keuangan Terjaga
Pemilu dan ekonomi global
Berkaca dari sejarah sebelumnya, dua kali pemilu di Indonesia diselenggarakan tepat setelah situasi perekonomian global yang tidak menguntungkan, yakni krisis keuangan global pada 2008 dan gejolak ekonomi akibat pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS (taper tantrum) pada 2013.
Menurut Riefky, momentum pemilu serentak dan kondisi moneter global akan menjadi faktor utama yang memengaruhi perekonomian domestik pada tahun 2024. Berdasarkan data historis PDB mulai tahun 2010 yang mencakup Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, pertumbuhan konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) secara konsisten mencapai puncaknya pada tahun-tahun pemilu. Peningkatan ini disebabkan kenaikan belanja partai politik untuk kampanye sepanjang tahun pemilu dibandingkan dengan tahun-tahun nonpemilu.
”Lonjakan ini hanya bersifat sementara. Konsumsi kemudian turun secara signifikan setelah pemilu. Selain itu, rata-rata kontribusi konsumsi LNPRT terhadap perekonomian secara keseluruhan relatif terbatas, hanya menyumbang 2 persen dari total PDB pada tahun 2022,” imbuhnya.
Kondisi berbeda justru ditunjukkan oleh pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang menurun selama periode pemilu. Hal ini karena para investor yang mengambil sikap wait and see dan investasi cenderung akan meningkat setahun setelah pemilu, kecuali pada tahun 2020 akibat adanya pandemi Covid-19.
Terkait dengan kebijakan moneter di tengah momentum hajatan pemilu, tren di Indonesia menunjukkan BI justru menaikkan suku bunga acuan sebelum pemilu lalu menurunkannya pada tahun pemilu. Hal ini tidak lepas dari tekanan global pada tahun 2008-2009, taper tantrum pada tahun 2013, dan perang dagang AS-China pada tahun 2018 sehingga BI terpaksa menerapkan kebijakan moneter yang ketat.
”Ketika periode ketidakpastian berakhir, bank sentral melakukan normalisasi indikator moneter dengan menurunkan suku bunga acuan. Peristiwa guncangan eksternal tersebut terkait dengan data tingkat depresiasi rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun sebelum tahun pemilu dan mengalami moderasi sepanjang tahun pemilu,” tambahnya.
Baca juga: Bisnis Sektor Tertentu Berpeluang Melonjak karena Pemilu 2024