Dampak Pemilu 2024: Konsumsi Lembaga Naik, Investasi Pemerintah Turun
Dinamika ekonomi di tahun politik memiliki pola yang sama. Konsumsi lembaga naik. Sementara investasi pemerintah turun.
Belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 2024 juga akan memengaruhi dinamika perekonomian Indonesia. Bahkan, dinamikanya sudah terpolakan. Seperti apa bentuknya?
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal mengungkapkan, ada pola ekonomi makro yang umum, seperti aspek belanja nonpemerintahan yang meningkat. Di sisi lain, belanja modal negara cenderung turun dan bahkan terkontraksi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca juga: Dinasti Politik dan Ekonomi yang Ringkih
Aspek belanja nonpemerintahan itu misalnya dari konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT). Ini menyumbang kenaikan pada konsumsi barang dan jasa, seperti pariwisata, transportasi, dan iklan.
”Kalau dilihat di tahun 2013-2014, lalu 2018-2019, yang tinggi itu memang selalu konsumsi LNPRT. Ini adalah konsumsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga khusus, seperti organisasi kemasyarakatan dan sosial,” ujar Faisal saat dihubungi Kompas, Jumat (27/10/2023).
Di sisi lain, berdasarkan data historis, pemilu diikuti perlambatan belanja pemerintah di investasi fisik. Hal ini diindikasikan realisasi pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang tidak terlalu konklusif pada tahun-tahun politik.
”Yang hampir selalu terjadi adalah penurunan belanja modal dari pemerintah pada dua tahun periode pemilu. Belanja modal pemerintah itu, kan, indikasi investasi pemerintah melalui APBN. Nah, di 2024 ini saya masih terus mempelajari,” ujar Faisal.
Yang hampir selalu terjadi adalah penurunan belanja modal dari pemerintah di dua tahun periode pemilu.
Kenaikan konsumsi LNPRT dan menurunnya investasi pemerintah secara agregat akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kenaikan konsumsi LNPRT akan berkontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, turunnya investasi pemerintah akan menggerus pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah bangkit dari keterpurukan pascapandemi Covid-19. Setelah sempat terkontraksi hingga minus 2,1 persen di tahun pertama pandemi pada 2020, ekonomi Indonesia bangkit ke angka pertumbuhan sebesar 5,3 persen pada 2022. Kini, faktor Pemilu 2024 membayangi pertumbuhan di 2023.
Ekonomi melambat
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko mengasumsikan periode pemilu serentak bisa menambah sekitar 0,1 persen ke proyeksi pertumbuhan ekonomi tahunan yang diperkirakan masih sebesar sekitar 5 persen. Namun, pada saat bersamaan, perlambatan atau menurunnya kinerja investasi bisa menjadi faktor pengurang.
”Mungkin saja konsumsi naik, tetapi investasi turun drastis sehingga memang tahun depan enggak bisa 5,1 persen, bisa jadi tahun depan turun jadi 4,9 persen,” ucap Agustinus ketika dihubungi secara terpisah, Rabu (25/10/2023).
Rendahnya investasi akan dipengaruhi situasi ekonomi dan geopolitik global serta meningkatnya dampak perubahan iklim. Saat ini, dunia dihadapkan pada risiko inflasi tinggi yang membuat suku bunga akan tetap tinggi dalam kurun waktu cukup lama, dengan prediksi hingga 2025.
Mungkin saja konsumsi naik, tetapi investasi turun drastis sehingga memang tahun depan enggak bisa 5,1 persen, bisa jadi tahun depan turun jadi 4,9 persen.
”Isu ekonomi global dan geopolitik membuat investasi mahal karena tidak bisa mendapat hasil yang paling efisien. Lalu, karena isu perubahan iklim, investasi juga akan lebih mahal karena harus mengadopsi atau mengadaptasi perubahan iklim. Karena aspek-aspek itu, investasi akan menyusut signifikan, pasokan investasi ke negara berkembang juga akan terganggu,” kata Agustinus.
Perlambatan investasi juga dipengaruhi situasi politik dalam negeri. Para ekonom sepakat bahwa besarnya ketidakpastian politik di pemilu kali ini dapat memengaruhi iklim usaha di Indonesia.
Ketidakpastian politik
Sementara itu, para pelaku usaha menghitung faktor-faktor ketidakpastian yang muncul menjelang dan selama Pemilu 2024. Ketidakpastian ini terutama muncul karena suburnya kebijakan populis dan kebijakan yang didasari oleh transaksi politik di masa Pemilu 2024.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyampaikan, kebijakan politis bisa menciptakan kerugian dalam bentuk kehilangan peluang usaha (opportunity cost). Pada saat yang sama, kebijakan politik menjelang Pemilu 2024 bisa menjadi beban perusahaan untuk menciptakan kepatuhan (compliance cost) terhadap kebijakan baru.
Baca juga: Kepastian Hukum Diperlukan demi Stabilitas Bisnis
”Ini sifatnya bisa sangat subyektif dan bisa dipersepsikan sangat luas, hingga memengaruhi keseluruhan ekosistem. Akibatnya, perhitungan dampak opportunity cost-nya atau dampak compliance cost-nya menjadi sulit dilakukan atau membutuhkan waktu lama,” ungkap Shinta, Selasa (24/10/2023).
Sementara itu, pelaku usaha tidak dapat berbuat banyak selain melakukan advokasi dan penyampaian opini. Kata Shinta, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang tepat sasaran dan dapat menguntungkan pelaku usaha dan masyarakat.
”Kami sangat ingin kebijakan ekonomi Indonesia setiap saat, termasuk dalam tahun politik, dapat ditetapkan secara profesional melalui proses praktik pembuatan kebijakan yang baik, dengan kajian dampak ekonomi yang layak, komprehensif, dan transparan. Dengan demikian, iklim usaha atau investasi serta lanskap daya saing ekonomi Indonesia akan memiliki tingkat kepastian dan prediktabilitas tinggi,” harapnya.
Ekonom senior Faisal Basri berpendapat, kebijakan politis yang memperlebar ketidakpastian dalam setiap fase pergantian pemimpin negara bisa terjadi jika proses demokrasi tidak sehat. Sehat tidaknya proses demokrasi bukan ditentukan dari janji-janji politik para peserta pemilu.
Dalam hal visi-misi, ketiga pasangan kandidat cenderung melanjutkan strategi pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan berikutnya juga dihadapkan pada tugas dan situasi yang sama. Di antaranya adalah menjalankan Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045.
Sekarang yang perlu dipermasalahkan bukan agenda capres dan cawapresnya karena hampir semua sama. Tapi, proses sampai capres-cawapres itu muncul yang bisa menimbulkan tanda tanya besar.
Siapa pun presiden nanti juga harus menangani situasi di problema sama, seperti pengangguran tinggi, kemiskinan tinggi, industri yang belum optimal, daya saing produk rendah, sampai tingkat korupsi yang berpengaruh pada pergerakan ekonomi.
”Sekarang yang perlu dipermasalahkan bukan agenda capres dan cawapresnya karena hampir semua sama. Tapi, proses sampai capres-cawapres itu muncul yang bisa menimbulkan tanda tanya besar. Proses demokrasi sehat akan menyebabkan perbaikan berkelanjutan,” kata Faisal, Senin (23/10/2023).
Di pihak lain, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, saat dihubungi, Rabu (25/10/2023), menilai, proses demokrasi ditentukan oleh arah ideologi partai. Namun, partai-partai di Indonesia kini tidak memiliki komitmen dalam mengimplemtasikan ideologi yang bisa dipahami publik. Masalah ini tidak hanya berimplikasi secara jangka pendek, tetapi juga jangka panjang.
”Kita wajib mereformasi partai politik karena seluruh simpul kekuasaan negara diisi dan berasal dari parpol. Jadi, kalau parpol belum bisa dibenahi, pemilu kita tidak akan beres, cabang-cabang kekuasaan tidak beres, representasi yang memperjuangkan kepentingan publik juga tidak akan beres,” ujar Feri.
Baca juga: Anies Merevolusi Agromaritim, Ganjar Optimalkan 11 Sektor, Prabowo Andalkan RPJMN
Sesungguhnya reformasi itu tidak hanya bisa dikerjakan oleh partai politik, tetapi bisa dimulai dari masyarakat yang ikut berpartisipasi menentukan pilihan yang tepat dalam Pemilu 2024. Anggota Komisi Pemilihan Umum, Yulianto Sudrajat, saat ditemui di Jakarta, Selasa (31/10/2023), juga mengingatkan agar pemilih mencermati visi-misi para peserta pasangan calon pilpres sebagai fondasi apa yang akan dilakukan lima tahun ke depan.
”Capres dan cawapres ini, kan, putra-putra terbaik yang diusung langsung oleh gabungan partai politik. Maka, dibutuhkan kecerdasan pemilih untuk menentukan pilihannya. Salah satunya, mencermati visi misi dan program paslon bagi perbaikan republik ini. Setiap pemimpin yang terpilih melalui pemilu yang demokratis ini harapannya adalah mampu menyejahterakan rakyat Indonesia,” tutur Yulianto.
Pada akhirnya, negara telah memberikan haknya kepada masyarakat untuk memilih para pemimpin secara langsung. Akankah ongkos demokrasi kali ini dapat menghasilkan pemimpin yang menyejahterakan masyarakat?